Jurnal Suficademic | Artikel No.73 | Juni 2023
SYARIAT DAN TARIKAT: DUA JALAN MENUJU PENGETAHUAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. “Jalan” menuju Tuhan, untuk memperoleh pengetahuan/kebenaran, itu ada dua: syariat dan tarikat. Keduanya satu jalan, dalam dua tahapan yang berkesinambungan.
Baik syariat maupun tarikat, artinya sama-sama “jalan”. Kedua kata ini merupakan sinonim dari “Islam”. Dari dua kata inilah kita paham, Islam itu sebuah agama yang dinamis. Artinya, kalau ingin memperoleh kebenaran, ingin berislam, kita harus terus berjalan. Ada langkah-langkah, atau jalan, yang harus ditempuh agar bisa sampai kepada puncak Kebenaran/Pengetahuan (Tuhan). Manusia adalah makhluk yang “terlempar” ke dunia. Untuk bisa sampai kembali ke alamat aslinya, ke Tuhan, ia harus melakukan safar (perjalanan), dengan syariat dan tarikat.
Berikut kami jelaskan “jalan” percarian kebenaran ini, melalui 3 bab (atau lengkapnya 5 bab) dalam tradisi komunitas ilmiah.
BAB 1: “Muqaddimah”, Manusia adalah Makhluk Empirik dan Rasional
Islam adalah “agama ilmiah”. Dalam tradisi agama ilmiah, sebagaimana halnya dalam dunia riset ilmiah, pencarian kebenaran selalu diawali dari observasi empirikal-inderawi terhadap sebuah fenomena fisik/material. Afala tubshirun? -Apakah kamu tidak melihat? (Az-Dzariyat: 21), Afala tasma’un? -Apakah kamu tidak mendengar?
Alam ini penuh “tanda-tanda empirik” (ayat qauni). Ada sesuatu dibelakang ini semua. Tidak semuanya bisa dipahami secara langsung oleh manusia. Harus diteliti. Harus dicari tau kebenarannya.
Manusia sebagai makhluk berakal, tentu penuh tanya. Ia punya insting untuk mengejar kebenaran. Fitrahnya begitu. Ia menggunakan segenap potensi akal untuk memahami dunianya. Kemudian, pengamatan terhadap berbagai fenomena diformulasikan dalam berbagai rumusan masalah, dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sederhana.
Dalam tradisi ilmiah, semua drama ini terangkum di Bab 1, yang diberi judul “Pendahuluan”. Bab 1 adalah muqaddimah, yang mengambarkan manusia sebagai makhluk berfikir, yang rasional dan empirik. Manusia adalah hayawanun nathiq, yang hidup di tengah alam yang penuh misteri dan punya insting untuk mencari kebenaran. Dan, objek pengetahuan paling misterius yang paling dicari manusia adalah Tuhan. Sejarah manusia sejak awal, khususnya sejarah para nabi, adalah sejarah tentang riset dan pencarian asal usul dari segala keberadaan, yaitu Tuhan.
Bab 2: “Syariah”, Jalan Awal menuju Kebenaran
Ini adalah langkah pertama untuk mencari kebenaran. Karena manusia buta terhadap wujud asli (realitas hakiki) yang ada dibalik sebuah fenomena, mulailah ia merangkai pengetahuan secara mandiri. Manusia sejak awal sudah punya akal. Dengan itu ia berfikir. Ia menggunakan potensi akal dan pikiran untuk menalar kebenaran. Afala ta’qilun? -Apakah kamu tidak berakal? (Al-Baqarah: 44, 76; Aali Imran: 65; Al-An’am: 32; Al-Araf: 169; Yunus: 16; Hud: 51; Yusuf: 109; Al-Anbiya: 10, 67; Mukminun: 80; Al-Qashash: 60; Shaffat: 138)? Afala tatafakkarun? -Apakah kamu tidak berfikir? (Al-An’am: 50).
Melalui potensi intelek, ia mulai membangun ide dan konsep. Mulai memberi nama dan memaknai dunianya. Manusia berusaha membangun “landasan berfikir” secara rasional dan filosofis. Disinilah muncul filsafat, mulai dari bentuknya yang paling kuno. Jauh sebelum muncul kitab suci, manusia sudah mulai berfikir. Agama juga mengadopsi ilmu serupa, yang disebut kalam atau teologi (ilmu tauhid yang bersifat rasional). Semua ini adalah kemampuan alamiah untuk menjangkau kebenaran (keberadaan Tuhan) melalui logika atau rasio, atau sering disebut sebagai dalil ‘aqli (argumentasi).
Boleh jadi ia tidak hanya bersandar pada alam pikirannya sendiri. Melainkan ikut mengumpulkan pendapat-pendapat, yang mungkin sudah pernah dipaparkan oleh orang-orang terdahulu. Baik itu berupa catatan, riwayat, ide, pengalaman, fatwa, dan berbagai referen lainnya yang beredar di tengah masyarakat. Termasuk dokumen yang dianggap paling suci, yaitu Quran dan hadis. Ini semua disebut dalil naqli (teks/skrip). Sehingga; pada tahap ini lahir serangkaian teori, definisi, hukum, dalil atau kumpulan pemikiran; yang kemudian diolah untuk kepentingan sebuah penelitian.
Inilah yang disebut “syariat”, jalan pertama untuk menjangkau kebenaran. Syariat adalah kumpulan referensi untuk memahami kebenaran. Syariat merupakan rujukan, mazhab, hukum, argumen, teori, dalil, konsepsi, atau kerangka berfikir tentang kebenaran. Pada level syariat, kebenaran hanyalah serangkaian “cerita”, “ide”, “riwayat”, “gagasan”, “proposisi”, “aksioma”, “definisi operasional”, “abstraksi teoritis” serta “hipotesis” tentang kebenaran. Pada konteks syariat, wujud/realitas kebenaran hanya ada dalam bentuk dalil/konsep. Dalam tradisi ilmiah, semua ini ada di Bab 2 yang berjudul “Landasan Teoritis”.
Ketika hendak menempuh jalan menuju Tuhan, orang-orang sering menggunakan dalil, hukum, teori, argumentasi tentang Tuhan; baik yang berasal dari Quran, hadis, serta berbagai hasil ijitihad (fatwa/pemikiran) para pakar. Semua itu kebenaran, tapi pada level ide dan teori. Wujud kebenarannya masih dalam bentuk bayan (teks) dan burhan (argumen). Kebenaran pada level ini masih berbentuk “dogma”, yang bertujuan untuk sekedar membentuk “cara berfikir”. Kita boleh saja banyak mengetahui teori dan punya logika tentang Tuhan. Sementara, Tuhan yang asli (Tuhan dalam realitas nyata) tidak berada dalam semua wujud teks (naqliyah) dan teori (aqliyah). Tafakkaru fi khalqillah, wala tafakkaru fi Dzatillah. Tuhan yang asli; itu melampaui teks, konsep, imajinasi dan persepsi.
Tentu, syariat hanya sebuah “landasan teoritis”, kebenaran awal yang coba diungkap dalam bentuk “konsep-konsep”, yang biasanya telah menjadi kepercayaan umum di tengah masyarakat. Manusia cenderung tidak puas dengan kebenaran yang bersifat teoritis. Sebab, kebenaran masih berada pada tataran ide, atau kepercayaan an sich. Kebenaran pada level syariat, itu masih sesuatu yang bersifat eksternal/transenden (hushuli). Tuhan masih sebuah objek pengetahuan yang entah dimana. Laitsa kamislihi syai-un.
Manusia ingin terkoneksi dengan wujud/esensi dari kebenaran. Kita ingin, kebenaran adalah sesuatu yang nyata, imanen, terinternalisasi dan menyatu dalam diri (hudhuri). Apalagi yang namanya Tuhan. Banyak yang ingin merasakan langsung Realitas wujud dan kehadiran-Nya. Bagi banyak orang, “Allah” itu bukan sekedar nama dan tulisan. Allah itu Wujud Hakiki dibalik teks. Para spiritual researcher semacam nabi dan wali-walinya, ingin berjumpa dan berbicara langsung dengan-Nya. Mereka ingin bertuhan secara “ummi”, melampaui metode syariat yang cenderung menekankan pola kajian teks dan tulis-baca.
Untuk mencapai level itu, butuh mujahadah lebih jauh. Ada the next stage dari beragama yang harus ditempuh. Tapi paling tidak, sejauh ini, melalui aneka ragam teori yang telah dikumpulkan, Anda sudah punya kerangka pikir dan keyakinan awal (hipotesis) tentang Tuhan. Hanya saja, teori dan referensi yang berkembang pun belum tentu satu perspektif. Boleh jadi saling bertentangan, dalam aneka ragam agama dan mazhab pemikiran.
Karena itu, perlu dilakukan pembuktian lebih jauh terhadap semua itu. Untuk itulah ada “metode khusus” pembuktian hipotesis/teori, sebagaimana Bab 3 pada setiap penelitian ilmiah. Kebenaran adalah kesesuaian antara ide (konsep/teori) tentang sebuah wujud ontologis, dengan realitasnya. Ide dan teori (hipotesa) harus diuji untuk dilihat kesesuaian dengan realitasnya.
Jadi, syariat (dalil/hukum/teori/kepercayaan/hipotesa) merupakan Bab 2 dalam beragama; dari sejumlah bab yang harus ditempuh. Karenanya, beragama tidak boleh terhenti di syariat. Masih ada Bab 3, yang disebut “metodologi” atau jalan pembuktian (Arab: tariqah). Agama harus menjadi kebenaran yang dapat dibuktikan secara berulang-ulang. Sebuah riwayat atau teori harus dapat diuji secara terus menerus. Apa yang dulu dialami dan rasakan oleh para nabi, harus dapat dibuktikan, bahwa itu juga dapat dialami dan rasakan oleh manusia seperti kita di akhir zaman. Jika tidak, kebenaran hanya eksklusif milik segelintir nabi, tidak bersifat universal. Agama yang baik adalah ilmiah. Yaitu, agama yang “salih li kulli zaman wal makan”. Kebenarannya dapat diulang dan berlaku sepanjang tempat dan zaman. Kalau Qur’annya sama, maka mukjizat yang dimiliki para nabi, juga harus menjadi mukjizat manusia-manusia di akhir zaman.
Bab 3: “Tariqah”, Jalan Akhir menuju Kebenaran
Bab selanjutnya adalah “tariqah”. Tariqah/tarikat artinya “jalan” atau “metode pembuktian”. Sebagaimana layaknya Bab 3 dalam sebuah metode ilmiah; ada langkah, adab, prosedur, cara dan mekanisme yang terstruktur dan rapi untuk mengkonfirmasi kebenaran (pembuktian kepercayaan/hipotesis).
Saat mengerjakan Bab 3 dalam sebuah metode ilmiah, Anda tidak akan lagi bertumpu pada teori. Tidak lagi membuka referensi. Tidak lagi membaca. Semua sudah bersifat “ummi”. Semua sudah berbentuk praktik dan pembuktian. Yang Anda lakukan adalah mengumpulkan data. Lalu menempuh satu metode pengujian, sehingga muncul hasil untuk dianalisis dan pahami. Dalam tahap ini, mungkin Anda akan lebih banyak diam untuk mengamati (an indepth focus). Itulah yang dalam tradisi esoteris islam disebut “zikir”. Afala tadzakkarun? -Apakah kamu tidak berzikir? (An-Nahal: 17).
Zikir merupakan alat uji dalam “tariqah”. Bagi para spiritual researcher, kebenaran bukan hanya sebuah realitas eksternal. Tuhan dan segala pengetahuan tentangnya, itu bukan hanya sesuatu yang ada dan meliputi seluruh ufuk alam (afaqi). Melainkan juga sesuatu yang hadir dalam setiap “realitas internal”(anfusihim). Cosmos dengan segala dimensi ketuhanan adalah sebuah ontologi pengetahuan, yang bersifat makro (“di luar sana”) sekaligus mikro (“di dalam sini”). Al-Haqq (Kebenaran) adalah sesuatu yang transenden sekaligus imanen, hushuli secara teori, sekaligus hudhuri secara dzati:
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kehadiran) Kami di penjuru alam (afaqi) dan dalam diri mereka sendiri (anfusihim) sehingga jelaslah bagi mereka bahwa ia itu adalah Kebenaran. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?” (QS. Fuṣṣilat [41]: 53)
Tuhan dengan segala cakupan ilmu-Nya, selain melekat pada ufuk alam, juga hadir dan ber-tajalli dalam diri manusia. Artinya, Tuhan sebagai adalah sesuatu yang selain dapat dilacak Wujudnya pada sisi eksternal alam, juga melekat pada sisi internal jiwa manusia. Karena itu, “zikir” menjadi instrumen utama untuk mengakses kebenaran sang Wujud yang hidden dalam diri manusia. Kemampuan mengakses diri, akan membawa manusia kepada perjumpaan dengan Realitas Tuhan.
Tool riset ini digunakan oleh semua nabi dan sufi. Melalui proses inkubasi dalam laboratorium spiritual tertentu, dalam keheningan waktu yang bermalam-malam, mereka melakukan ritual tertentu untuk mengumpulkan dan mengolah data-data spiritual yang masuk dalam dirinya. Tuhan yang ingin diobserve bukan lagi dalam bentuk nama atau objek material lainnya. Karena yang ingin dijangkau adalah jenis data bersifat “numena” (metafisik), maka digunakan instrumen yang lebih tinggi dari akal dan persepsi, yaitu: Ruh. Melalui alat ukur tertentu, data-data ini diolah dan dicerap, sehingga melahirkan berbagai pengalaman dan pengetahuan baru.
Pengalaman-pengalaman spiritual inilah yang disebut sebagai “hakikat”. Hakikat asal katanya “Haqq”, artinya: Kebenaran. Yaitu kebenaran yang diperoleh langsung melalui proses interaksi dengan alam ketuhanan. Tuhan langsung yang hadir untuk memperkenalkan berbagai esensi kebenaran. Berbagai temuan kebenaran ini kemudian dituangkan dalam Bab 4 yang berjudul “Analisa Hasil”. Pengalaman-pengalaman ini kemudian disimpulkan dalam Bab 5 “Kesimpulan”. Kesimpulan merupakan “makrifat”, pengetahuan atau teori-teori baru terkait kebenaran. Teori dan pengetahuan ini tentunya diperoleh dari pembuktian dan pengalaman secara langsung. Pada level makrifat ini, sebuah teori syariat telah dapat dibuktikan kembali kebenarannya lewat pengujian yang dialami secara langsung. Pada level makrifat, Tuhan telah dapat “disaksikan” sendiri, melampaui dogma dan teori. Karenanya, kebenaran yang diperoleh pada level makrifat bersifat Haqqul Yaqin.
Sufisme: dari Syariat, Tarikat ke Hakikat
Para sufi, itu bersyariat. Mereka juga punya landasan filosofis dan dalil-dalil teoritis dalam menjalankan praktik. Kajian-kajian sufisme, itu syariat. Mereka menjadikan nabi, khususnya riwayat-riwayat terkait ritus spiritual, sebagai referensi ketauladanan dalam beragama. Semua doktrin Qur’an dan arahan para imam sufi terkait jalan spiritual, itu syariat. Pengetahuan spiritual yang diperoleh pada level doktrin teoritis keilmuan ini disebut sebagai “pengetahuan yang meyakinkan” (ilmul yakin).
Kelebihan para sufi, mereka menempuh langkah metodologis ilmiah lebih lanjut (tariqah) untuk secara khusus menemukan kebenaran secara langsung. Dalam proses ini, mereka akhirnya mampu melihat sesuatu yang lebih agung dari yang selama ini didengar dan dibaca. Pengetahuan-pengetahuan yang dilihat secara laduniah (langsung) lewat metode tarikah, disebut “penglihatan yang meyakinkan” (‘ainul yakin).
Pada puncaknya, melalui teknik “integrasi spiritual”, pengetahuan itu akan menyatu dan terinternalisasi dalam diri. Pada saat itulah, seorang ilmuan sufi mampu merasakan dan mengalami apa yang secara hakikat dialami dan rasakan para nabi pada level ruhiyah/spiritual. Pengetahuan menyatu dalam dirinya. Allah hadir dalam jiwanya, bahkan lebih dekat dari urat lehernya. “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (Qaaf : 16). Inilah yang disebut “Kebenaran yang meyakinkan” (Haqqul Yakin).
Kumpulan semua pengetahuan dan pengalaman inilah yang disebut makrifat. Jadi, sebenarnya kaum sufi itu sangat saintifik. Mekanisme kerja dunia spiritual (islamic mysticism); itu sangat detil, halus, hati-hati, objektif dan ilmiah. Realitas pengetahuan diperoleh secara bertahap; mulai dari dimensi “mengetahui” secara teoritis, sampai kepada “mengalami” (eksperensial) secara langsung. Untuk menemukan bom atom saja perlu langkah metodologis yang ketat. Konon lagi untuk menjangkau Wajah Allah, pasti butuh langkah kerja yang lebih konsentratif.
BACA: ‘ILM, ‘AIN DAN HAQQ, TIGA LEVEL PENGETAHUAN
Kesimpulan
Jadi, “jalan” menuju kebenaran ada 2. Pertama, “syariah” (rasio dan teori). Kedua, “tariqah” (praktik/mujahadah). Ini merupakan satu jalan, dengan dua tahapan berkelanjutan. Syariat merupakan “wadah” atau “kerangka teori” yang perlu dibangun sebelum masuk ke pembuktian dan isi. Melalui syariat kita membangun dalil, hukum, argumen, kerangka konseptual dan hipotesis tentang kebenaran (ilmul yakin).
Lalu, melalui langkah-langkah metodologis (tarikat); kita mulai membuktikan realitas nyata dari wujud objek pengetahuan, mulai dengan cara melihat (‘ainul yakin) sampai merasakannya secara langsung (haqqul yakin). Melalui tarikat, isi dan rahasia (sirr) dari pengetahuan akan terkuak. Bukan tidak mungkin akan lahir berbagai teori dan hukum baru dari pengalaman tersebut. Quran itu “ayat-ayat” (hukum) yang lahir dari pengalaman hakikat seorang Nabi. Fatwa-fatwa seharusnya juga lahir dari pengalaman diskusi dengan Tuhan. Bukan hasil kajian teoritik an sich dengan sesama manusia. Tarikat membawa pengetahuan yang bernilai syariati (teoritis/hushuli) ke level makrifati (spiritual-empirik/hudhuri/enlightened). Sebagaimana yang dialami Nabi SAW:
الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ
“Syariat adalah perkataanku [teori],
tarekat adalah perbuatanku [langkah/metodologi],
haqiqat adalah keadaan (batin)-ku [pengalaman spiritual],
dan makrifat adalah pangkal harta-ku [kumpulan pengetahuan]
– Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman : 7 –
Dalam beberapa tulisan sebelumnya telah kami terangkan, metode ilmiah dalam dunia akademik ini digagas oleh Ibnu Haitsam, atau di Barat dikenal sebagai Al-Hazen (965-1040 M). Beliau seorang Ilmuan muslim yang hidup sezaman dengan Albiruni dan Ibnu Sina. Dari beliaulah dunia saintifik moderen mengambil kerangka kerja ilmiah dalam format 5 bab, yang kelihatannya mengadopsi mainstream hadis Nabi di atas. Dimulai dari “Pendahuluan” terkait fenomena/masalah (Bab 1), “Landasan Teoritis/Syariat” (Bab 2), “Metodologi/Tarikat” (Bab 3), “Analisis dan Pembahasan/Hakikat” (Bab 4), dan “Kesimpulan/Makrifat” (Bab 5).
Keseluruhan bab ini mencerminkan aspek lengkap dari epistemologi (cara memperoleh pengetahuan). Di Bab 1, seorang peneliti memperoleh pengetahuan dasar melalui pengamatan empirikal inderawi atau observasi sederhana terhadap fenomena sebuah objek pengetahuan. Lalu di Bab 2 diperoleh pengetahuan melalui pendekatan rasional-filosofis, sekaligus tekstual. Sehingga terbangun ide, dalil atau konsep-konsep terkait objek selidikan. Baru kemudian di Bab 3 dilakukan penelitian lebih dalam terkait objek melalui metode khusus, sehingga diperoleh pengetahuan esensial tentang wujud/realitas. Dalam dunia sufi, ketika hendak meriset lebih lanjut tentang ontologi ketuhanan, metode yang digunakan adalah “iluminasional” (zikir/kontemplasi terfokus). Sedangkan Bab 4 dan 5, itu sudah memaparkan results (hakikat) dan konklusi (makrifat) dari penelitian.
BACA JUGA: “SYARIAT-TARIKAT-HAKIKAT-MAKRIFAT”: METODE ILMIAH DALAM BERAGAMA; “ONTOLOGI TAUHID”: MEMBANGUN PARADIGMA SUFISTIK DALAM RISET SAINTIFIK; RELASI AGAMA DAN SAINS DALAM EMPAT LEVEL ONTOLOGI; “SPIRITUAL AND SCIENTIFIC OBSERVATION”, USAHA MENEMBUS PETALA LANGIT DAN BUMI; “ILM, ‘AIN DAN HAQ”: TIGA LEVEL PENGETAHUAN: KITAB SUCI, “KARYA ILMIAH” PARA NABI; RELIGION IS TECHNOLOGY
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.
Subhanallah. Terima kasih.