Jurnal Suficademic | Artikel No.76 | Juni 2023
“IHSAN”: MELIHAT DAN DILIHAT
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ibadah terdiri dari dua bentuk: “syariat” dan “hakikat”. Pada bentuk syariat, ibadah adalah gerak dan bacaan-bacaan lahiriah, yang dilaksanakan sesuai petunjuk dan doktrin agama (teks Quran, hadis dan pemikiran masing mazhab). Shalat misalnya. Dalam versi syariat, itu adalah perbuatan yang dimulai dari, katakanlah, berdiri; sampai diakhiri dengan salam. Di dalamnya ada doa dan bacaan-bacaan.
Sementara, pada bentuk hakikat, ibadah adalah “perjumpaan” (liqa’), “ketersambungan” (wushul), “keterkoneksian” (ruju’) atau “keakraban” (qarib); antara seorang hamba dengan Tuhan. Jika dalam syari’at bentuk ibadah masih “pasif” (hanya manusia saja yang bergerak dan berbicara dalam ibadah), dalam bentuk hakikat, Tuhannya telah ikut “aktif”. Allah telah nimbrung ikut berbicara dengan si pelaku ibadah. Allah mulai mengamati dan merespon apa yang dilakukan oleh seorang hamba. Allah telah memberi petunjuk arah dan gerak saat seseorang sedang beramal.
Dalam hal ini, bukan si hamba lagi yang beribadah. Allah sendiri yang telah aktif mendampinginya dalam beribadah. Allah sendiri yang langsung membimbing seseorang saat beribadah. Pada hakikatnya, kita tidak mampu menyembah-Nya. Kecuali Dia sendiri yang hadir untuk membimbing kita. Sebagaimana seruan untuk shalat dan berjuang. “Hayya ‘Alash Shalah”. “Hayya ‘alal Falah”. Kita jawab, “La haula wala quwwata illa billah”. Tidak mampu kita. Kecuali Allah ikut hadir bersama kita.
Yang terakhir inilah yang disebut “ihsan”, ibadahnya ahli hakikat. Definisi “ihsan” dalam tasawuf dijelaskan oleh hadis, “Beribadahlah seakan-akan engkau melihat Allah, jika tidak, yakinlah bahwa Allah melihatmu” (HR. Muslim):
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Hadis ini dapat dipahami dalam dua level, “syariat” dan “hakikat”. Pada level syariat, pemahaman “melihat” dan “dilihat” oleh Allah hanya dalam bentuk perseptif (dugaan/keyakinan/kira-kira/seakan-akan). Kita hanya sekedar (pura-pura) merasa, atau secara teoritis diyakinkan bahwa Allah melihat kita (ilmul yakin). Bagus juga. Paling tidak kita punya rasa baik sangka, bahwa Allah Maha Melihat.
Pada level “hakikat”, perbuatan “melihat” dan “dilihat”, kejadiannya sudah konfirmatif. Bukan lagi sekedar merasa (hipotetis). Tapi secara objektif dan dalam ukuran-ukuran yang pasti, dapat dibuktikan bahwa Allah sedang melihat. Ini ibadahnya, atau bentuk melihat dan dilihat sudah pada level “pasti” (‘ainul dan haqqul yakin). Seperti kata Imam Ali, “Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat”. Ia benar-benar melihat-Nya dengan mata batinnya.
Contohnya begini. Anda punya Hp. Lalu menekan tombol tententu, seolah-olah seperti sedang menghubungi presiden. Lalu Anda mulai ngomong sendirian di Hp. “Apa kabar pak Presiden? Apakah Anda sehat? Bisakah Anda membantu kami? Bapak Presidenlah orang terbaik di negeri ini”, dan seterusnya. Anda terus bicara, ayat demi ayat, kalimat demi kalimat dengan bapak Presiden. Masalahnya, Presiden tidak pernah menjawab. Kita saja yang merasa seolah-olah dia mendengar, melihat dan menjawab. Itulah contoh ibadah (shalat dan lainnya) pada level syariat. Mungkin fasih dan santun berbicara. Kita berkomunikasi. Tapi tak dijawab oleh Tuhan. Tidak konek!
Berbeda halnya, kalau seseorang benar-benar “terhubung” dengan Presiden. Akan terjadi komunikasi yang efektif. Anda melihat Dia. Dia juga melihat Anda. Anda mendengar Dia. Dia juga mendengar Anda. Dialogis sekali. Inilah “ihsan”, beribadah dalam pola dua arah. Melihat dan dilihat. Mendengar dan di dengar. Berbicara dan dijawab.
Para nabi telah beribadah pada level dialogis. Pada level “pertemuan”, “perjumpaan”. Jika nabi beribadah dalam bentuk yang wushul/liqa’, kenapa kita tidak? Bukankah kita disuruh menauladani ibadah nabi? Memang, pada level syariat, disuruh lihat bagaimana bentuk-bentuk lahiriah dari shalat. “Shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat” (hadis). Namun, pada level hakikat, kita harus ikut “mikraj” seperti Nabi. Sebab, ibadah adalah “perjumpaan” (perjalanan jiwa), melampaui gerak dan bacaan lahiriah.
Inti agama adalah “kehadiran Allah”, dalam semua bentuk perbuatan dan bacaan. Itulah “khusyuk”, keterhubungan dengan Allah secara qalbi. Melalui “mata bashirah” (Gamma consciousness), Allah bisa dilihat. Ada teknik untuk melihat-Nya. Di tarikat diajarkan metode itu. Dia, secara azali dan dalam wujud Ahadiyah, memang tidak bisa dijangkau. Tapi, dalam dimensi Wahidiyah, ada esensi cahaya yang memancarkan “Rupa”-Nya. Dengan teknologi spiritual, Dia bisa ditemui. “Wajah”-nya bisa dijangkau.
Wajahnya merupakan pancaran dari Dzat-Nya. Dia bertajalli pada berbagai lapisan alam. Ada “ayat”, tanda-tanda kehadiran-Nya di ufuk alam. Tapi alam ini; langit, bumi dan gunung tidak kuat menampung-Nya. “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya, lalu dipikullah amanat itu oleh manusia” (QS. Al-Ahzab: 72). Hanya “hati yang tenang” yang mampu menyerap keseluruhan dari Wujudnya. “Tidak dapat memuat dzat-Ku bumi dan langit-Ku, kecuali hatu hamba-Ku yang mukmin lunak dan tenang (HR. Abu Dawud).
Hati adalah ‘Arasy, singgasana tempat bersemayamnya Allah. Oleh sebab itu, jika ingin melihatnya, lihatlah ke dalam diri Anda. Melalui bimbingan Guru, tembusi tujuh lapis langit dan bumi dari wujud diri, sehingga bisa sampai ke ‘Arasy Tuhan. “Siapa yang mengenal diri, maka akan mengenal Tuhannya” (hadis).
Nabi Musa as misalnya, pernah menempuh jalan untuk menjumpai Tuhan. Setelah berjumpa, ia diperintahkan menegakkan shalat sebagai media untuk kembali “berjumpa” atau untuk “mengingat”-Nya. “Sungguh, Aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha: 14). Karenanya, bagi seorang mistikus, setiap akan mengerjakan sesuatu, mereka akan terlebih dahulu berusaha “melihat”-Nya di ‘Arasy. Tidak cuma melihat, tapi juga mendengar apa “kata”-Nya. Itulah zikir (shalat) yang mereka lekatkan secara daim pada semua aspek kegiatan.
Aplikasi begini. Saat mau bekerja, temui Dia dulu. Tanyakan, boleh berangkat atau tidak. Ketika Dia menjawab “boleh”, silakan berangkat. Kalau Dia menjawab “jangan”, maka jangan berangkat, atau paling tidak tunda dulu. Saat mau makan juga begitu, jumpai dan minta izin Allah terlebih dahulu. Kalau Allah menjawab “silakan”, baru baca bismillah dan makan. Kalau Allah melarangnya, maka jangan di makan, bisa haram hukumnya kalau dikerjakan.
Itulah kenapa, salah satu kebahagiaan para ahli tasawuf saat berbuka puasa adalah bisa “berjumpa Allah”. “Orang yang berpuasa akan meraih dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka puasa, dan kegembiraan ketika bertemu Tuhannya” (HR Muslim). Bukan cuma saat berbuka puasa, bagi ahli makrifat (telah mengenal Allah), Allah bisa dijumpai kapanpun, dimanapun.
Para ahli sufi menjelaskan, salah satu bentuk “ihsan” (kemampuan berjumpa, melihat atau menghadirkan Allah) adalah “muraqabah”. Ada teknik zikir (kontemplasi) untuk mengasah ketajaman muraqabah. Harus diajari oleh Guru Ruhani yang sangat ahli. Intinya, Allah bisa di observe di awal sebuah ibadah/pekerjaan. Bisa juga di tengah proses. Ataupun di akhir. “Dia pada prinsipnya adalah awal, pertengahan, sekaligus akhir”.
Boleh jadi, saat akan memulai pekerjaan, kita berusaha untuk “melihat” atau menghadirkan-Nya. Dalam kasus ini, berarti kita yang duluan aktif untuk menjumpai Allah. Bisa jadi, Allah sejak awal sudah hadir untuk meridhai (ataupun melarang) apa yang akan kita kerjakan. “God’s Decision” (izin Tuhan) sudah diperoleh sejak awal sebuah tindakan. Ini disebut “memulai ibadah dengan melihat-Nya”.
Pada kasus lain, boleh jadi, saat kita sedang bekerja atau beribadah, tiba-tiba Allah hadir dalam bahasa, gelombang atau penampakan ruhaniah tertentu. Dia hadir, boleh jadi untuk menjelaskan baik/buruk sesuatu yang sedang kita kerjakan. Dalam kasus ini, justru Dia yang spontan hadir untuk “menyapa”; untuk memberi nasehat, ilham atau petunjuknya kepada seorang hamba. Ini disebut: “Allah melihat kita”.
Kedua bentuk hubungan ini, “melihat” dan “dilihat”, selalu terjadi. Bisa jadi kita yang memulai proses “ingat” kepada Allah. Ataupun Dia yang “ingat” kepada kita. Seorang mistikus akan selalu berupaya untuk mengingat Allah. Kalaupun dia lupa, terkadang Allah yang ingat kepadanya. Ia selalu berusaha “memantau” Allah. Namun, ia juga selalu dalam “pantauan” Allah. Inilah yang disebut “muraqabah”, pantau memantau, intip mengintip, atau lihat melihat. Muraqabah adalah wujud nyata keaktifan mata ruhani sebagaimana Firman Allah: “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu” (QS. Al-Baqarah: 152).
Untuk mencapai level hubungan yang “hidup dan aktif” (ihsan) dengan Allah, itu ada metodologinya. Ada tarikahnya. Ada pembimbing spiritual yang sudah profesional dalam bidang itu. Anda biasanya akan mengawali proses ini dengan zikir yang sangat banyak kepada Allah. “Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan zikir sebanyak-banyaknya” (QS. Al-Ahzab: 41). Zikir ya bisa berhari-hari. Karena itu ada khalwat/suluk. Sang Guru akan mengajari tekniknya. Sampai pada suatu titik, ketika “gunung” ego telah luluh; Allah akan berkenan untuk hadir. Jika awalnya Anda yang berzikir kepada Allah, pada fase tertentu, Allah sendiri yang akan berzikir kepada Anda. Awalnya Anda yang berusaha mengingat Allah. Ketika Allah sudah mengenal Anda, Allah sendiri yang akan mengingat Anda. Awalnya Anda yang berusaha “melihat” Allah. Jika sudah sering melihat Allah, Allah sendiri yang akan sering-sering “melihat” Anda. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Baqarah 152 di atas, “Kau ingat Aku, Kuingat engkau”. Kau lihat Aku, Kulihat engkau. Melihat dan dilihat.
Bagaimana cara Allah melihat kita? Bisa jadi; saat Anda lagi duduk, lagi berjalan, lagi bekerja, lagi berbicara, bahkan lagi tidur; Allah hadir untuk menyapa. Untuk memberi peringatan, ataupun kabar gembira. Kuat atau tidaknya kehadiran, sering atau tidaknya Allah hadir pada diri seseorang, tergantung level amalnya. Semakin fana seorang mistikus dalam kesadaran Ilahi, semakin kuat muraqabahnya. Semakin baqa’ kesadarannya dalam lautan Ilahi, semakin kekal muraqabahnya.
Dalam riset spiritual, kami menemukan. Di Dayah Sufimuda misalnya, sebuah kamp zikir yang berpusat di Aceh, sebagian murid sudah mampu mengakses vibrasi “muraqabah” (memiliki visi spiritual: “melihat” dan “dilihat”), setelah 3 atau 4 kali suluk. Beberapa lainnya ada yang baru bisa menjangkaunya setelah bersuluk lebih dari jumlah itu. Ada juga yang hanya dalam beberapa kali suluk saja, karena kesungguhannya dalam bermujahadah, sudah mendapat rahmat besar untuk merasakan khazanah “ihsan” ini. Ini membuktikan, bahwa Islam itu, jika bisa dibawa ke level tasawuf yang hakiki, masih menjadi “agama dialogis”.
BACA: BERAGAMA, DARI MONOLOG KE DIALOG
Kesimpulan
Ibadah, baik “mahdhah” (ibadah formal) maupun “ghairu mahdhah” (muamalah); punya dua bentuk. Dari bentuk syariat sampai ke hakikat. Bentuk syariat ibadah adalah gerak perbuatan dan bacaan-bacaan lahiriah. Sedangkan bentuk hakikatnya adalah “kehadiran Allah” (hudhuri) dalam semua bentuk-bentuk itu. Kehadiran Allah merupakan “Ruh” dari formalitas ibadah.
Karenanya, inti dari ibadah adalah “syahadah”. Syahadah merupakan fondasi keislaman. Syahadah adalah kemampuan menyaksikan (syuhud) dan merasakan kehadiran Allah (hudhuri). Syahadah menjadi dasar bagi semua bentuk ibadah. Syahadat adalah “zikir”, kemampuan membangun relasi, ingatan, kedekatan dan perjumpaan dengan Allah. Termasuk di dalamnya adalah kemampuan “melihat”, atau “dilihat” oleh-Nya. Tauhid dalam dunia sufi adalah melatih kemampuan untuk mencapai keahlian ini.
Betapa banyak manusia yang bekerja dan beribadah siang malam, tanpa henti. Tapi itu semua tidak memperbaiki akhlaknya. Sebab, dia tidak merasakan kehadiran hakiki Tuhannya dalam semua tingkah laku dan perbuatannya. Sekiranya kita sadar, bahwa Dia melihat, ataupun kita mampu melihat-Nya, mustahil kemungkaran akan terjadi. Mampu merasakan “kehadiran Allah” (ihsan) merupakan langkah awal untuk menjadi manusia suci, yang memiliki perilaku terpuji. Inilah jalan para nabi, jalan para wali, yang coba direplika dan tauladani oleh para mistikus dalam dunia Islam.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.