KENDURI, SYIRIK?

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No. 83 | Juli 2023

KENDURI, SYIRIK?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Apa hukum memberi makan kucing, dengan menu istimewa, disajikan dengan cara santun, sambil berdoa agar Allah menambahkan rejeki kepada kita?

Ok. Bagi saya itu “boleh”, “halal”. Bahkan menjadi satu kebajikan besar untuk memberi makan setiap makhluk yang hidup bersama kita. Itulah kenapa orang tua kita dahulu, suka melakukan kenduri. Makanan tidak cuma dibagikan untuk sesama manusia. Tapi juga ikut dinikmati oleh hewan.

Saat akan turun ke sawah misalnya, kenduri diadakan. Itu mekanisme masyarakat tradisional untuk berkumpul dan membangun kebersamaan di awal masa tanam. Tidak sebatas itu, disela acara berbagi makanan semacam ini, ada doa yang secara khusus dipanjatkan. Agar proses tani berjalan mudah. Agar hasil melimpah.

Lebih serius lagi, orang tua kita merasa, bahwa manusia bukanlah makhluk tunggal di alam semesta. Ada makhluk lain yang punya peran dalam hukum alam. Mereka punya fungsi dalam mata rantai produksi. Ada semut. Ada tikus. Ada burung. Ada macam-macam. Masyarakat tradisional punya kehalusan jiwa. Seperti Nabi Sulaiman as, semua makhluk Tuhan dianggap bagian dari “keluarga”-nya di alam semesta.

Karena itu, apa yang dikendurikan, juga disisihkan untuk makhluk lainnya. Disajikan secara santun. Biasanya diletakkan di pinggir-pinggir sawah. Juga ada pesan-pesan yang mereka komunikasikan ke alam, juga ke semua binatang. Agar, misalnya, tidak mengganggu proses cocok tanam. Itulah “local wisdom”. Kearifan spiritual. Ada kesatuan jiwa antara semua aktor di alam. Bahwa semua saling terkait dan saling menghormati.

Ruh atau rasa saling terkoneksi inilah yang hilang dewasa ini. Karena itu alam menjadi rusak. Hutan dibabat sembarangan. Binatang diburu sampai punah. Turunnya gajah dan satwa liar ke lahan-lahan pertanian, bahkan sampai merusak perkampungan; itu indikasi hilangnya kesadaran kosmik sesama makhluk Tuhan.

***

Kenduri turun ke laut juga bertujuan membangun relasi dengan Tuhan, dengan alam. Masyarakat berdoa dan berbagi makanan di pinggir pantai. Bentuk syukur sudah dimulai sejak sebelum bekerja. Atau mungkin juga, kenduri dilakukan setelah panen selesai. Ada makanan yang terkadang dihanyutkan ke laut dengan rasa suka cita. Tujuannya sama. Makanan itu nanti akan dimakan oleh burung. Ataupun, yang tumpah ke laut akan dinikmati oleh ikan dan makhluk kecil lainnya.

Itu bentuk apresiasi kepada Tuhan, yang disalurkan melalui pemberian kepada para makhluk-Nya. Saling berbagi. Sebab, ketika para nelayan memperoleh tangkapan melimpah dari laut, itu juga dipahami karena adanya bantuan dari seluruh makhluk dan kekuatan yang ada di samudera.

Manusia tidak mungkin hidup sejahtera, banyak tangkapan ikannya, jika alam tidak mendukungnya. Ada “ruh” di alam ini, yang bekerja siang malam untuk manusia. Karena itu, kenduri bukan hanya diniatkan kepada orang. Tapi kepada Tuhan dan semua elemen ruhiyah di alam ini, yang telah mensupport manusia dalam memperoleh rejeki.

Kepercayaan kepada adanya elemen-elemen malakut dan ruh juga diajarkan melalui kearifan memberi “salam”. Saat masuk rumah misalnya, kita dididik untuk mengucapkan “As-salamu’alaikum”. Walaupun di dalam tidak ada orang. Tapi diyakini, ada ‘kekuatan’ lain yang hidup di dalamnya. Rumah kita bukan hanya tempat kita tinggal. Tapi juga tempat bersemayamnya esensi spiritual ketuhanan lainnya.

***

Bentuk relasi spiritual dengan Tuhan dan alam, itu sudah lama ada dalam kehidupan manusia. Bahkan telah eksis sejak zaman Adam as. Tradisi ini dapat disimak misalnya, pada kisah Habil dan Qabil yang membuat “persembahan” hasil panen dan ternak mereka. Tujuannya sebagai tanda syukur dan bentuk kedekatan (qarib) dengan Allah:

۞ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَ ۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ

Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti akan membunuhmu.” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Mā’idah: 27).

Menurut Anda, bagaimana Habil dan Qabil membuat persembahan kepada Allah? Apakah hasil panen dan ternak mereka diantar langsung ke surga? Atau Allah turun dari langit untuk mengangkut hasil panen dan ternak mereka? Apakah Allah memakan itu semua?

Tentu tidak. Mana ada Allah datang untuk memungut hasil pertanian Qabil atau hewan qurban Habil. Kita pun tiap Idul Adha tidak pernah berqurban dengan tujuan untuk langsung di berikan kepada Allah. Tidak sempat Allah mengurusi persembahan kita. Darah dan dagingnya tidak pernah sampai kepada Allah. Yang sampai adalah “ketaqwaan” kita (QS. Al-Hajj: 37). Qurban memang ditujukan kepada Allah. Tapi konsumsi dagingnya diwakilkan oleh makhluk Allah yang ada di alam semesta.

Qurban setahun sekali, ataupun kenduri dan tasyakuran yang dilakukan pada momen tertentu; semuanya bentuk “persembahan” untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maksudnya, kita ingin mengakui, bahwa apa yang kita peroleh bukanlah murni atas usaha kita sendiri. Melainkan sepenuhnya “anugerah” dari Yang Maha Kuasa, melalui berbagai Sunnatullah yang ada di alam semesta.

Karena itu, kenduri adalah cara untuk membangun relasi (akhlak) dengan Allah, manusia dan alam semesta. Kenduri diniatkan kepada Allah. Tapi disajikan kepada manusia dan berbagai makhluk Tuhan yang ada di sekitar kita.

Kalau niatnya bersih (suci) untuk Allah, serta persembahan juga dilakukan secara bagus, itu pasti akan diterima. Itulah “taqwa”. Jika tidak, Allah Maha Tau isi hati kita, dan pasti akan di reject-Nya. Oleh sebab itu, kenduri biasanya dilakukan secara “serius”. Seperti maulid misalnya. Masyarakat dengan segala kearifannya akan mengeluarkan makanan terbaik, serta memotong hewan terbagus yang mereka punya. Diniatkan untuk Allah dan Rasulnya. Tapi dinikmati bersama. Makanan yang tumpah pun akan dimakan oleh makhluk-makhluk yang ada di tanah. Sisanya bisa untuk ternak, dan sebagainya. Tidak ada yang mubazir sebenarnya. Kecuali memang sengaja dibuang-buang.

Kalau sejak awal niatnya sudah salah, itu yang berbahaya. Misalnya, diniatkan untuk iblis dan setan, atau untuk jin yang ada di alam. Tapi saya tidak yakin kalau orang tua kita dulu adalah para penyembah setan. Mereka saya lihat cerdas secara spiritual. Lebih paham agama daripada kita. Mereka sengaja melaksanakan kenduri yang diniatkan untuk memuliakan para aulia dan nabi; para pemilik Arwah Suci (Ruhul Muqaddasah Rasulullah). Ruh yang dipercaya, sengaja diutus Allah untuk membawa Rahmat bagi sekalian alam disepanjang masa (QS. Anbiya: 107). Nilai-nilai esoterisme mereka dalam beragama tinggi sekali.

Memang ada juga yang bertuhan kepada kekuatan iblis, jin dan setan. Sampai sekarang juga masih ada. Itu yang disebut “syirik”. Mungkin itulah yang menyebabkan sebagian kita tergiring untuk percaya bahwa semua kenduri adalah warisan “hinduisme”. Walaupun Hindu sendiri sebenarnya tidak sepenuhnya seperti itu. Mereka juga percaya kepada “Kekuatan” yang maha besar yang menguasai alam. Atau yang disebut “Tuhan”. Masyarakat Hindu pada kadar tertentu termasuk orang-orang yang paling respek terhadap alam. Mereka menganggap semua yang ada di alam punya “jiwa”. Bahkan memotong sebatang pohon pun ada yang masih sungkan untuk melakukannya.

Tapi, karena terlalu vulgar menghormati pohon, dicurigai menyembah “jin” yang ada disana. Mirip model-model animisme dan perdukunan. Pada level ini, “sesajen” menjadi semacam idolatry (pemberhalaan). Orang-orang bahkan ada yang lebih mengharapkan bantuan “makhluk halus” setempat, daripada pertolongan Allah dan Rasulnya. Di dunia ini banyak yang bingung, tidak tau cara menjangkau Allah dan Rasulnya secara presisi. Sehingga memilih jalan pintas untuk bersekutu dengan jin.

Sama halnya dalam dunia bisnis dan pemerintahan. Sogok menyogok, “uang rokok” dan berbagai persembahan lainnya; juga masih sering dipraktikkan. Saya kira itu juga “syirik”. Sogok menyogok adalah bentuk “sesajen”, “kenduri”, “gratifikasi” atau “kedermawanan” yang secara sengaja dipersembahkan kepada jin, iblis dan setan dalam rupa manusia.

Jadi, “persembahan” (kenduri) bisa mengarah ke tauhid, bisa juga ke musyrik. Kenduri bisa menjadi wasilah amal shaleh kepada Allah. Atau sebaliknya, bisa menjadi bentuk pertalian hubungan dengan iblis dan jin. Bedanya cuma di niat tujuan dan adab pelaksanaannya.

Sebenarnya, semua tindakan yang kita lakukan tanpa menyertai Allah sebagai sumbu sentral peribadatan, akan mengarak ke “riya” (syirik). Semua ibadah, yang tidak punya wasilah untuk terkoneksi dengan Allah, pasti akan bersetan. Ritual peribadatan yang terhenti pada “jiwa partikular”, objek dan simbol-simbol lahiriah tertentu, itu berpotensi syirik. Kecuali, kita punya wasilah untuk mempertautkan jiwa secara lebih lanjut sehingga sampai kepada Allah. Menghormati dan sujud ke arah Kakbah, kalau terputus di bentuk itu, bisa syirik. Kecuali, peribadatan ke arah itu bisa menteleportasi Ruhani kita untuk sampai kepada Allah.

Sekumpulan adat dan tradisi bisa berubah menjadi “ibadat”, jika ditemukan pertalian ruhaniahnya dengan usaha untuk mengagungkan Allah. Karena itu, amal shaleh tidak terbatas pada contoh-contoh tertentu di masa lalu. Wujud amal shaleh bisa melampaui zaman dan tempat. Bentuk-bentuk kebajikan yang sejalan dengan prinsip-prinsip Qurani bisa menemukan wujudnya dalam aneka kreatifitas dan kearifan masyarakat.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on “KENDURI, SYIRIK?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

"QURB": MEMAHAMI MAKNA DEKAT DENGAN ALLAH

Tue Jul 11 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.