ISLAM: AGAMA WAHYU ATAU AGAMA PEMIKIRAN?

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No. 85 | Juli 2023

ISLAM: AGAMA WAHYU ATAU AGAMA PEMIKIRAN?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Islam, agama wahyu atau agama pemikiran?

Untuk menjawab ini, kita bedakan dulu antara wahyu dengan pemikiran. Wahyu adalah pengetahuan “langsung” dari Tuhan. Dalam berbagai variannya; ada ilham dan informasi intuitif laduniah lainnya (yang disalurkan langsung dari sisi Allah).

Sedangkan pemikiran adalah; segala bentuk ide (ideologi), ilmu atau pengetahuan yang lahir dari proses kreatif akal yang secara mandiri punya kemampuan untuk menalar sesuatu. Berbagai produk intelektual, ijma, qiyas dan tafsir; masuk dalam kategori hasil ijtihad metode tekstual-filosofis-empiris ini.

Jadi, pemikiran bukanlah sesuatu yang langsung berasal dari Tuhan. Melainkan murni muncul dari alam rasio. Sementara wahyu, itu “langsung” diperoleh dari Tuhan. Berikut kami berikan ilustrasi untuk membedakan antara pemikiran dengan wahyu.

Suatu ketika anak Anda sedang duduk di rumah. Lalu terlintas dipikiran, bertanya, dimana Ayah yang sudah beberapa jam tidak pulang. Lalu terpikir di otaknya, bahwa orang tuanya sedang duduk di warung kopi. Sejenak kemudian, si Ayah menelpon dan memberitahu bahwa dia sedang di masjid. Mungkin sambil video call, ia memperlihatkan kepada si anak, bahwa benar ia sedang disana.

Sekarang perhatikan. Apa yang tersimpulkan di otak si anak, bahwa ayah ada di warung kopi, itu masuk kategori konsepsi “pemikiran”. Sementara, ketika si ayah menelpon dan secara “langsung” memberi tau bahwa ia sedang di masjid, itu namanya ‘wahyu’ Pemikiran si anak menjadi benar, setelah dibimbing oleh ‘wahyu’ (konfirmasi kebenaran secara aktual dan langsung, dari si pemilik/objek kebenaran).

Boleh jadi, apa yang ada di pikiran manusia sesuai dengan realitas kebenaran yang sesungguhnya. Bisa jadi salah. Bisa jadi pemikiran kita sejalan dengan wahyu. Boleh jadi tidak. Karena itu, sebaik-baik pemikiran (pengetahuan) adalah yang “terkonfirmasi” kebenarannya. Alat konfirmasi terbaik adalah wahyu. Artinya, Allah Maha Tau. Dia yang “langsung” mengatakan benar atau salah, halal atau haram; dengan hasil ijtihad dan pemikiran kita.

Manusia adalah “makhluk berpikir”. Setingkat lebih canggih dari binatang, manusia sudah mulai mencari dan merumuskan kebenaran melalui persepsi akal. Namun, kebenaran yang ia peroleh sifatnya cenderung “relatif”. Karena kebenaran ia gali dari kecerdasan alamiahnya. Sedangkan kebenaran yang absolut, itu datangnya dari Allah.

Boleh jadi pemikirannya “benar” secara rasional. Tapi belum tentu disenangi Allah. Tidak semua yang baik dan benar, dalam konteks tertentu akan disenangi Tuhan. Ingin menjadi caleg DPRD misalnya, itu secara secara umum boleh-boleh saja. Itu hak demokratis setiap warga. Apalagi jika dikaitkan dengan niat ingin membela rakyat dan sebagainya itu. Menurut Anda itu bagus. Tapi bagaimana sikap Tuhan, apakah ia setuju dengan niat Anda? Banyak hal dalam hidup yang secara legal dan etis harus dikonfirmasi terlebih dahulu kepada Tuhan, apa yang sebenarnya paling Dia senangi untuk kita. Itu dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar bertuhan.

Sekarang ada diskursus tentang Bank Syariah dan Bank Konvensional. Ada ulama dan cendekiawan yang mengatakan, “Bank konvensional haram!”. Ada juga ulama dan akademisi yang mengatakan, “Bank konvensional halal”. Pertanyaannya, mana yang benar? Masing-masing bertahan pada pemikirannya. Semua sepakat, riba itu haram. Ada ayatnya. Tapi tidak semua sepakat, bahwa bank konvensional itu riba. Bahkan ada juga yang punya pemikiran, dengan mengajukan bukti dan dalil-dalil pendukung, bahwa sistem dan pola perbankan syariah sama dengan perbankan konvensional. Hanya namanya saja yang diubah.

Pertanyaannya, pemikiran mana yang benar? Yang mengatakan itu riba, ada ayatnya. Yang tidak setuju itu riba, juga memakai ayat yang sama. Keduanya sama-sama schoolars dan ulama terkenal. Bukan orang kafir. Yang saling berdebat itu (bahkan ada yang saling mengkafirkan) adalah sama-sama muslim, dengan kecerdasan logika dan tafsir masing-masing.

Pertanyaannya, mana yang benar? Sederhananya, tanya saja secara “langsung” kepada Allah. Apa jawaban Allah, itulah kebenaran.

Masalahnya, tidak ada yang kenal Tuhan. Tidak ada yang tau dimana Tuhan. Tidak ada yang bisa berkomunikasi dengan Tuhan. Itu saja masalah umat Islam. Akhirnya, dari sumber ayat yang sama, kita akan terus berdebat menurut tafsir akal (dan nafsu) masing-masing.

Pemenangnya adalah, siapa yang secara “politik” paling berkuasa. Sepanjang sejarah, mazhab yang benar adalah yang punya kekuasaan “politik”, atau didukung oleh penguasa. Pada akhirnya, politiklah yang menentukan kebenaran. Bukan lagi Tuhan. Realitas Islam sejak dulu seperti itu. Karena itu sejumlah agamawan punya interest untuk merapat dengan kekuasaan. Sebab, kebenaran cenderung ada pada level itu. Sebuah pemikiran bisa dipaksa menjadi “benar” lewat jalur kuasa. Lawan politik, pemikiran yang berbeda, bisa diusir melalui sebuah keputusan politik.

***

Karena sedikit orang yang bisa “berkomunikasi” dengan Tuhan dalam proses memverifikasi kebenaran, maka Islam menjadi “agama pemikiran”. Padahal, Islam itu hakikinya adalah “agama wahyu”. Yaitu, agama yang kebenarannya secara mutlak harus datang dari sisi Allah.

Berislam menjadi mutlak benar, sejauh ada koneksi “langsung” dengan Allah. Kalau putus hubungan dengan Allah, langsung berubah menjadi “agama relatif”. Agama relatif adalah agama pemikiran. Agama dugaan. Agama hipotesis. Agama teoritis. Sejauh belum terkonfirmasi kebenarannya, semua masih relatif.

Karena itu, memiliki hubungan “langsung” dengan Allah menjadi penting. Dengan cara itulah seseorang memperoleh konfirmasi secara laduniah atas segala tafsir, dugaan, persepsi dan pemikiran yang telah dibangun. Apa yang dipikirkan tinggal ditanyakan kepada Allah, benar atau salah. Kalau Allah jawab “benar”, maka benarlah ia. Jika Allah katakan “salah”, salahlah itu. Jadikan Allah sebagai penolongmu (QS. Aali Imran: 173; An-Nisa: 45, 75; Al-Maidah: 56; dll). Jadikan Allah sebagai pengambil keputusan benar salah dari sebuah pemikiran. Jangan diputuskan sendiri walau dirasa sudah benar.

Seringkali, apa yang kita anggap baik, belum tentu baik menurut Allah. Seindah dan sebagus apapun itu. Begitu juga sebaliknya. Apa yang kita anggap buruk, itu justru baik menurut Allah. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al Baqarah: 216). Di ayat lain dikatakan, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 216).

Kesimpulan

‘Perang internal’ dalam agama adalah perang tafsir. Perang pemikiran. Terkadang banyak yang menjadi radikal gara-gara itu. Karena agama, selain bermain pada wilayah pemikiran, juga melibatkan emosi.

Kita sebenarnya punya problem dalam beragama. Banyak orang yang mencintainya agamanya. Tapi sulit mengakses Tuhannya. Lalu menjadikan pemikiran (tafsir) sebagai “Tuhan”. Alih-alih ayat berbicara untuk dirinya sendiri, seseorang justru menggunakan ayat untuk mendukung pemikirannya. Seharusnya, tafsir kebenaran terhadap sebuah ayat dikonfirmasi terlebih dahulu kepada Tuhan sebagai Pemilik Ayat. Tapi, kemampuan “konfirmatif” inilah yang hilang dari dunia keilmuan Islam. Kemampuan konfirmatif merupakan kecerdasan “makrifat”.

BACA: SYARIAT-TARIKAT-HAKIKAT-MAKRIFAT, METODE ILMIAH DALAM BERAGAMA

Ini siklus lengkap dalam beragama: Tauhid-Syariat-Tarikat-Hakikat-Makrifat. “Tauhid” itu percaya kepada adanya Tuhan secara rasional. “Syariat” adalah dalil-dalil keberadaan Tuhan dan aneka teori tentang tata cara menyembahnya. Tauhid dan syariat hanyalah dalil teks dan pemikiran hukum, yang penuh tafsir akal dalam bentuk ijmak, qiyas, fatwa sampai ke qanun.

Tauhid dan syariat harus diuji kebenaran aktualnya pada level yang hakiki. Harus dikonfirmasi kepada Allah. Apakah benar seperti teori dan riwayat yang kita dapatkan. Shalat misalnya, ada dalil yang menyebutkan bahwa tangan harus bersedekap (dilipat). Ada juga yang lurus ke bawah (dilepas). Yang bersedekap, ada yang meletakkannya tepat di pusar. Ada yang di atasnya, agak ke dada. Ada juga yang meletakkan di bawah pusar. Masing-masing berkutat pada dalil yang dipunyai.

Kasus lain. Hanafiyah mengatakan, menyentuh perempuan bukan mahram tidak membatalkan wudhuk. Syafi’iyah mengatakan, menyentuh perempuan batal wudhuk. Malikiyah dan Hambaliyah menegaskan, menyentuh perempuan tidak batal wudhuk. Kecuali dibarengi syahwat. Masing-masing punya dalil yang dianggap sahih. Semua percaya pendapat ulamanya yang terbaik. Silakan saja.

Pertanyaannya, dari berbagai pendapat yang berbeda itu, menurut Allah mana yang benar?Apakah benar semua, benar beberapa diantaranya saja, atau jangan-jangan salah semua. Bagaimana kebenaran kasus itu menurut Allah?

Itu baru satu atau dua kasus. Konon, ada ribuan kasus perdebatan pemikiran dalam agama. Terpecah dalam berbagai mazhab dan aliran. Dalam berbagai bidang. Baik ibadah maupun muamalah.

Agama, kalau sudah tidak lagi diperoleh konfirmasi kebenarannya dari Tuhan, itu sudah menjadi “agama budaya”. Agama yang ‘terputus’ dari Allah. Agama Islam, sebagaimana agama lainnya, cenderung berubah menjadi “agama budaya”, “agama pemikiran”. Karena itu, apa yang disebut sebagai mazhab pemikiran, sebenarnya sudah mengarah ke agama budaya, hasil kerja otak manusia. Bukan lagi murni wahyu. Kecuali hasil pemikiran dalam beragama, dan aneka tindakannya bisa diperoleh kembali konfirmasi kebenarannya dari Tuhan lewat instrumen ‘wahyu’ (i.e., ilham, iluminasi jiwa, gerak muraqabah, pengetahuan hudhuriah dan aneka bahasa esoteris ketuhanan lainnya).

Karena itulah ada metode pembuktian kebenaran ke level hakikat. Ada yang namanya “tariqat”. Tariqat adalah metode untuk memproses dalil tauhid dan syariat ke jenjang hakikat. Sehingga ditemukan kebenaran-kebenaran yang esensial dari berbagai dalil hukum dan teori. Jalan inilah yang ditempuh para nabi dan mistikus Islam, sehingga mereka mengalami mukasyafah atau musyahadah. Lalu diperoleh pandangan utuh “langsung” dari dimensi Tuhan terhadap apa yang diperdebatkan.

Kebenaran pada level ini bukan lagi murni “pemikiran”. Tapi pemikiran yang telah mendapat “celupan”, telah memperoleh konfirmasi pada level fitri dari Tuhan. Ada mata “bashirah” yang harus dihidupkan dalam memahami dan mencapai kebenaran yang disalurkan secara “langsung” dari sisi Tuhan. Jika tidak, kita akan terus berdebat dan membangun argumentasi dalam keadaan tuli, bisu dan buta; dan sama sekali tidak akan sampai kepada hakikat-Nya (QS. Al-Baqarah: 18).

“Kecerdasan bashirah” (makrifah) ini yang kelihatannya hilang dalam dunia intelektual Islam. Semua merujuk ke teks ayat dan kitab. Tidak lagi punya interaksi “langsung” dengan Allah. Padahal Allah masih hidup, masih mendengar dan masih berbicara. Kita memang butuh ayat, kitab dan akal; sebagai instrumen dasar dalam menggali teori dan informasi. Kita perlu merujuk ke Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Syekh Albani dan syekh lainnya. Tapi, sebagai orang bertauhid, Tuhannya mau kita bawa kemana? Kenapa kita tidak langsung bertanya kepada-Nya?

Ketika seseorang beragama dengan kecerdasan “bashirah”, ia punya kemampuan untuk tembus ke langit. Itulah yang disebut “agama samawi”, agama ruhani. Aliran “wahyu/ilham” masih aktif mengalir dalam diri. Hubungan seseorang dengan Tuhannya masih aktif dan interaktif. Sebaliknya, Islam bisa berubah seketika menjadi “agama ardhi” atau agama materi, kalau hanya teks, akal dan inderawi saja yang berfungsi. Akal, teks dan indera tidak punya kemampuan berkomunikasi dengan Dzat Tuhan.

Karena itu, ruhani umat Islam harus dihidupkan kembali, agar mampu membangun hubungan secara “langsung” dengan Allah. Agar segala hasil pemikiran terhubung, diterima dan terverifikasi oleh Allah. Disatu sisi, pemikiran umat wajib untuk terus diaktifkan. Itu bentuk aktualisasi dari kecerdasan akal. Manusia wajib memaksimalkan potensi akal. Tapi, disisi lain, jangan lupakan Tuhan. Bawa semua hasil ijtihad intelektual kehadapan-Nya. Biar dia yang putuskan baik-buruk, benar-salah, serta boleh atau tidak untuk diterapkan pada konteks lokal dan kondisi tertentu. Apa yang kita sebut sebagai Islam kaffah, adalah Islam yang arif. Islam yang utuh, dari level tauhid sampai ke makrifatnya. Dari level akal pemikiran kita, sampai terhubung ke Akal Tuhan.

BACA: POSISI AKAL DALAM HUKUM ISLAM, TIGA LEVEL AKAL

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on “ISLAM: AGAMA WAHYU ATAU AGAMA PEMIKIRAN?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

SUFISME DAN BAHASA SIMBOLIK

Thu Jul 20 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.