SUFISME DAN BAHASA SIMBOLIK

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No. 86 | Juli 2023

SUFISME DAN BAHASA SIMBOLIK
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Dalam tulisan ini akan kita kupas, kenapa Quran dan syair-syair sufisme punya kandungan bahasa yang sangat simbolik.

Ragam Bahasa: Muhkamat dan Mutasyabihat

Ragam bahasa itu berjenjang. Semakin awam target audien, penggunaan bahasa yang “muhkamat” akan semakin baik. Untuk masyarakat umum, gunakan bahasa yang sama dengan makna lahiriahnya teksnya. Kalau kita sebut “gunung”, maka maknanya juga gunung. Jangan paksa orang awam untuk berpikir lebih abstrak. Nanti bisa gagal paham mereka. Karena itu, bahasa hukum untuk awam harus mudah dicerna. Tidak boleh multi tafsir.

Tapi berbeda jika target audiennya kelas intelektual menengah ke atas. Semakin hiperbolik bahasa yang digunakan, akan semakin menyentuh aspek kesadarannya. Orang cerdas, daya khayalnya aktif. Semakin “mutasyabihat” kosa katanya, akan semakin menyentuh pusat imajinasinya. Pemahamannya akan semakin luas dan tajam, ketika daya cerapnya difasilitasi melalui kata-kata yang kaya makna.

“Matikan dirimu, sebelum engkau mati”, kata kaum sufi. Kata “mati” di awal kalimat tidak bermakna bunuh diri. Melainkan metode untuk menghibernasi ego, untuk diaktifkan energi positif batiniahnya. Dengan hidupnya Ruh, akan memungkinkan seseorang untuk terkoneksi dengan Tuhannya. Itu contoh kata yang mutasyabihat (tersamar), tapi juga punya kandungan nilai hukum bagi para pencari kebenaran.

Jadi, semakin ke bawah, bahasa itu semakin “tekstual”. Semakin ke atas, bahasanya semakin “simbolik”. Karena itulah, Quran harus dipahami lewat dua struktur ini.

Sebenarnya, Quran itu bahasa siapa dan untuk siapa?

Kalau Quran dipahami sebagai “bahasa Tuhan”, sudah pasti ungkapannya sangat simbolik. Sebab, Tuhan itu Wujud yang Maha Tinggi. Wujudnya tidak diketahui. Misterius sekali. Keberadaannya sangat “simbolik”. Karenanya, bahasa yang turun dari sisi-Nya pasti penuh simbolisme.

Disisi lain, karena diturunkan untuk manusia, Quran memiliki bahasa yang harfiyah (tekstual/lahiriah). Banyak ayat yang dianggap mudah dipahami. Artinya dianggap sesuai teks. Ayat-ayat ini menjadi petunjuk hukum bagi kalangan umum. Walau demikian, ayat yang dianggap muhkamat sekalipun, tidak terlepas dari tafsir. Terkadang butuh hadis untuk memahaminya. Ada usaha berpikir untuk mengurai maknanya. Sehingga lahir berbagai argumentasi hukum. Alhasil, Quran itu, hampir seluruhnya mutasyabihat. Butuh tafsir!

Kenyataannya begitu. Alquran memang tekstual (lahiriah). Sekaligus simbolik (batiniah). Quran merupakan pesan Tuhan, yang disampaikan dalam bahasa manusia. Pesan dari Yang Maha Tinggi, untuk makhluk yang sangat rendah. Karena itulah, Quran memiliki kedua dimensi ini. Tinggi, sekaligus rendah. Qadim, sekaligus baharu. Terpilihnya bahasa Arab yang kaya makna, juga diyakini sebagai penampung kekayaan pesan Tuhan.

Tafsir Isyarah (Tafsir Sufi)

Begini. Kalau didalami secara serius, dengan menggunakan kacamata ruh, isi Quran itu hampir sepenuhnya “simbolik”. Ketika Quran dalam ayat tertentu menyebut kata “gunung”, itu belum tentu artinya gunung. Boleh jadi maknanya “ego/nafsu”. Ketika ayat tertentu menyebut “mutiara”, “lautan” “air”, “api”, “angin”, “tanah”, “matahari”, “bintang”, “bulan”, dan sebagainya itu; Anda harus berhenti sejenak untuk memahami maknanya. Sebab, mayoritas kata-kata itu tidak selalu menggambarkan makna lahiriah dari teks.

Bayangkan, baru kita buka Quran sudah berhadapan dengan ayat: “Alif-Lam-Mim” (QS. Al-Baqarah: 1). Langsung di catatan kakinya ditulis, “Hanya Allah yang tau”. Tidak ada yang tau artinya apa. Konon lagi, ayat tersebut dilanjutkan dengan kalimat: “Dzaalikal Kitaabula raiba fiihi..” (QS. Al-Baqarah: 2). Artinya, “Itulah Kitab……”. Artinya apa? Alif Lam Mim adalah Kitab! Disini saja, sejak di halaman muka Quran, kita sudah diberikan petunjuk, bahwa “Kitab” bukanlah lembaran buku cetak yang ada di tangan kita. Melainkan sesuatu yang sangat misterius, yaitu Alif Lam Mim. Kata “Kitab” saja yang kita anggap muhkamat (jelas), ternyata mutasyabihat (tersamar)!

BACA: “ALIF-LAM-MIM, ITULAH KITAB!”

Karena itu, ada namanya “tafsir sufi” atau “tafsir isyarah”. Mereka mentakwil nash ayat berbeda dengan makna zahirnya. Kenapa bisa begitu?

Bagi sufi, pada dimensi Qadim, Quran itu Kalamullah. Pesan-pesannya terintegrasi langsung dengan Dunia Ilahi. Quran adalah “spirit hidup” (Ruh) yang diturunkan ke dalam jiwa manusia. Quran adalah sebuah “Esensi Suci”, yang pada malam Qadar turun ke “langit dunia”. Ke qalbu Muhammad SAW. Pada dimensi tinggi, Quran adalah Kitab yang tersimpan dalam lembaran jiwa. Yang tidak berhuruf dan bersuara. Oleh sebab itu, bahasa jiwa (anfusi) berbeda dengan bahasa material (teks/kitabi). Bahasa jiwa adalah bahasa “rasa”. Simbolik sifatnya.

Sebenarnya tidak ada bahasa yang bisa menampung ketinggian pesan dan rasa dari Tuhan. Tapi, dengan segala keterbatasannya, bahasa dan huruf berusaha menampung wujud dari Kalam. Firman Tuhan akhirnya menzahir dalam teks. Teks dan kata-kata tentu punya keterbatasan untuk mengungkapkan keseluruhan makna yang disampaikan Tuhan. Manusia sekalipun sering mengungkapkan rasa yang ada dalam dadanya dalam kalimat, seperti: “Aku cinta kamu”. Kata “cinta” itu sendiri tidak sepenuhnya mampu mengungkapkan keseluruhan rasa yang ada dalam diri seseorang. Huruf atau kata juga sangat simbolik. Huruf hanya menjadi alat bantu, untuk menzahirkan sesuatu yang sebenarnya tidak sepenuhnya bisa diungkap. Konon lagi, Tuhan sering mengamanatkan sesuatu yang di luar nalar manusia. Tentu tidak ada bahasa yang mampu menampung itu semua. Kecuali bahasa qalbu (QS. Al-Ahzab: 72).

Pada dimensi tinggi, Qur’an itu bahasa qalbu. Quran tidak turun dalam bentuk buku. Quran adalah elemen malakut dan Ruh yang “dibenam” ke dada penerima (QS. Al-Qadar: 1-5). Quran yang esensi awalnya adalah pesan-pesan dalam wujud gelombang malakut dan Ruh (anfusi), kemudian menjadi teks (kitabi). Jadi, Quran itu teks; tentang “spiritualitas” Muhammad. Quran itu lahir dari pencapaian spiritual penerimanya. Karena itu, untuk memahami ayat pada level hakiki, seseorang harus meminjam bahasa jiwa (bahasa spiritual). Bahasa jiwa adalah bahasa simbolik, bahasa iluminatif. Karena itu, butuh kecerdasan spiritual agar seseorang bisa menjangkau Quran pada makna-makna batiniahnya.

Quran dan Kisah-Kisah Simbolik

Pesan-pesan batiniah yang disampaikan melalui bahasa simbolik bisa berbeda dengan makna zahirnya. Perhatikan kasus Musa as dengan Khizir as. Petunjuk yang diberikan Khizir berbeda sekali dengan makna zahir dari hukum-hukum Ilahi. “Membocorkan perahu”, “membunuh anak kecil”, “merubuhkan rumah”; semua itu kiasan. Semua pekerjaan yang tersebut itu hukumnya terlarang (haram) dalam perspektif umum. Tapi halal dalam kacamata spiritual.

Gaya bahasa serupa digunakan dalam banyak literatur sufi. Ketika seseorang berbicara “kefanaan”, dilukiskan dalam istilah “mabuk”. Untuk jatuh cinta kepada Tuhan melalui zikir, ungkapkan dengan meneguk “anggur”. Para sufi terkadang menggambarkan diri sebagai “pelacur”. Semua ini istilah dari perbuatan-perbuatan “haram” dalam dunia fikih. Tapi halal dalam prosa dunia sufi.

Kisah Musa as dan Khizir as di atas diuraikan dalam QS. Al-Kahfi: 61-82. Disepanjang ayat juga diberitahukan metode pembelajaran spiritual yang melampaui nalar dan konsep-kosep standar. Untuk masuk ke pesan-pesan batiniah, seseorang harus menanggalkan banyak sekali observasi dan kebiasaan lahiriah.

Karena itu, jangan langsung percaya kepada narasi lahiriah tentang penciptaan dan pengusiran Adam dari surga. Juga kisah Nabi Yunus as ‘ditelan ikan’, dan lain sebagainya. Belum tentu begitu. Seringkali ada pesan melampaui zahirnya cerita. Kisahnya penuh kiasan. Realitas kebenarannya disamarkan dalam bungkusan lahiriah cerita. Kisah “unta” Nabi Saleh, jangan langsung diyakini sebagai unta betulan. Kisah “anjing” Ashabul Kahfi, juga tidak serta merta harus dipahami sebagai anjing sungguhan. Mungkin, bagi kaum awam, unta ya unta. Anjing ya anjing. Bagi para spiritual observer, maknanya jauh melampaui itu.

Cerita-cerita dalam Quran punya signifikansi “spiritual”, ketimbang sekedar kisah pengantar tidur. Bagi kaum sufi, semua cerita Quran ditujukan untuk orang dewasa, untuk digali aspek batinnya. Karena itu, Quran menjadi pengantar bagi mereka untuk wushul dengan Allah SWT. Ketika ditemukan kekuatan ruhiyah dari sebuah ayat, mereka bisa “mikraj” ke dimensi ukhrawi dengan itu. Setiap ordo sufi berwasilah kepada ayat-ayat tertentu dalam menapaki jalan spiritual. Sementara, bagi kaum lahiriah, ayat-ayat cenderung berfungsi sebagai teks hukum dalam peribadatan pada dimensi duniawi.

Kisah menarik lainnya, misalnya, tentang Maryam sang perawan suci. Satu surah secara khusus membahasnya. Cerita Maryam tidak dipahami oleh para mistikus sebagai pelajaran sejarah semata. Melainkan ada pesan simbolik tentang ritual tadzkiyatun nafs, yang kejadiannya bisa diulang di sepanjang zaman. Kisah Maryam yang “ditemui” oleh Ruh (Jibril), sampai periode “mengandung” dan “melahirkan” Isa as dengan “rasa sakit”, bukan cerita empirik di masa silam. Melainkan sebuah pelajaran metodologis, cara bagi setiap kita, baik laki atau perempuan, untuk “melahirkan” Ruh Suci.

Semua manusia, termasuk kaum laki-laki, punya dimensi feminin. Yaitu kemampuan untuk melahirkan dirinya kembali, dalam wujud fitrah. Bagi kaum sufi, kisah Maryam menjadi patron penting terkait teknik mujahadah. Dimulai dari pengasingan diri, kemudian didatangi oleh “Ruh”. Sampai kemudian mengalami proses “kelahiran” Jiwa yang suci.

Ada rasa “sakit” yang luar biasa saat melewati tahapan suluk dan zikir itu. Di akhir proses, akan lahir sebuah jiwa baru (Logos), yang digambarkan seperti Isa as. Bisa “berbicara” dan “terkoneksi” dengan Tuhannya. Para sufi akan mendapatkan muraqabah, kecakapan berinteraksi dengan Allah, saat terlahir kembali dalam “jiwa taqwa” (sebagai ruhullah).

Jadi, kisah Maryam dan kelahiran “Ruh Suci”, adalah sesuatu yang direplika berulang-ulang oleh para nabi dan sufi sesudah, maupun sebelumnya. Memang tidak ada proses interaksi “biologis” untuk melahirkan Ruh Suci ini. Ini murni rekayasa spiritual. Karenanya, sejak awal dibutuhkan perjumpaan dengan “Ruh” (Jibril/Mursyid) untuk mengaktivasi proses kelahiran Ruh Kamaliyah dalam setiap diri insan.

Maryam diangkat dalam Quran sebagai prototipe agung yang mampu “melahirkan” Ruh yang kamil mukammil. Memang dibutuhkan dimensi feminin dari kekuatan Ilahi untuk mensucikan/melahirkan sebuah jiwa yang sempurna. Kisah Maryam; dari saat melakukan uzlah (khalwat) dengan memasang kelambu (tabir/hijab), didatangi oleh Ruh Basyaran Sawiyya (Manusia Sempurna/Mursyid), sampai sakitnya melahirkan; diceritakan dalam surah Maryam ayat 16-25.

Bagi para mistikus, ada makna berbeda yang ditemukan dari kisah yang termaktub dalam Kitab Suci. Bagi mereka, semua kisah penuh hikmah yang sarat muatan metodologis untuk pensucian jiwa. Pun, setiap kata yang terkait objek alam (i.e., bintang, bulan dan lainnya), bisa ditarik ke dalam makna-makna kejiwaan. Semua dianggap berhubungan. Sebab, sebagaimana diketahui, manusia adalah makhluk makro sekaligus mikro. Semua konsep yang ada di alam, bisa dilekatkan pada manusia. Sehingga, seperti tersebut dalam surah Fussilat 53, setiap kata dalam Quran bisa memiliki dua realitas makna: (1) “realitas luar” (afaqi/melekat pada objek alam selain manusia), sekaligus (2) “realitas dalam” (anfusihim/melekat pada manusia).

Ketika pada ayat tertentu Quran menyebut “matahari”, bisa bermakna matahari sebagai benda langit. Bisa juga sebagai “Ruh” (entitas cahaya otonom). Ketika disebut “bulan”, bisa berarti bulan sebagai benda angkasa. Bisa pula sebagai “hati” (yang memantulkan sinar yang ia terima dari matahari/Ruh). Bahasa Quran sangat simbolik. Punya realitas yang beragam, “eksternal” (makrokosmos/alam) sekaligus “internal” (mikrokosmik/jiwa). Signifikansi pesan internal inilah yang dikejar kaum sufi. Sehingga, semua ayat menjadi relevan bagi riyadhah ruhani.

Simbolisme Mimpi

Selain ayat dan kisah-kisah dalam Qur’an, bahasa simbolik lainnya juga ditemukan dalam kasus “mimpi”. Terkadang Allah hadir lewat pesan-pesan dalam mimpi. Bahasa mimpi berbeda dengan bahasa zahir sehari-hari. Ketika seseorang bermimpi dikejar/dipatuk ular misalnya, bukan artinya akan digigit ular. Seringkali maknanya akan mendapat jodoh. Ataupun, ada seseorang yang diam-diam menyukainya. Ada juga mimpi copot gigi. Artinya juga bukan akan tanggal giginya. Melainkan, seringkali bermakna akan ada anggota keluarganya yang meninggal. Banyak sekali makna dari mimpi. Sejauh mimpi itu benar datangnya dari Allah. Ada cara mendeteksi apakah mimpi itu datang dari alam Tuhan, ataupun dari alam lainnya (sekedar bunga tidur ataupun akibat faktor psikologis yang terganggu).

BACA: “MIMPI

Lihat kasus Yusuf as, ahli mimpi. Yusuf sering mendapatkan wahyu lewat mimpi. Sekaligus ahli dalam menafsirkan mimpi. Contohnya mimpi melihat 11 bintang, matahari dan bulan yang sujud kepadanya (QS. Yusuf: 4). Atau keahliannya dalam mentakwil mimpi raja terkait tujuh ekor sapi gemuk dimakan tujuh ekor sapi yang kurus, serta tujuh tangkai (gandum) yang hijau (dan tujuh tangkai) lainnya yang kering (QS. Yusuf: 43). Bahasa mimpi adalah salah satu bahasa simbolik dari wahyu. Pesan Tuhan, ketika turun ke dalam kesadaran mental, itu maknawi sekali. Butuh takwil. Bandingkan dengan kasus Yusuf as, dalam pencarian Tuhan, Ibrahim as juga melihat bintang, bulan dan matahari (QS. Al-An’am: 76-78). Pertanyaannya, haruskah semua objek alam itu langsung diartikan secara lahiriah?

Alam Semesta adalah “Simbol-Simbol”

Lebih lanjut lagi, selain Allah, semuanya -sebenarnya- hanya “simbol-simbol”. Semua fana (simbolik). Kecuali Allah (QS. Ar-Rahman: 26-27). Allah itu wujud mutlak (Wajibul Wujud). Selebihnya hanya pola, wujud simbolik (mumkinul wujud) untuk menggambarkan Eksistensi Allah. Alam semesta ini hanya sebatas “ayat” (tanda-tanda/fenomena). Semuanya simbolik. Karena itu, untuk mencerap hakikat Allah, seseorang harus memahami berbagai isyarah atau “kode” alam.

Melalui filsafat penciptaan, kita akan paham. Selain Tuhan, semuanya merupakan simbol yang “turun” (memancar) dari-Nya. “Allah adalah Cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35). Allah itu Wujud Ahad. Lalu Dia memancarkan Dirinya, hingga tercipta berbagai ufuk alam, juga jiwa manusia. Dia bergradasi, menampakkan tanda-tanda kehadiran-Nya dalam aneka lapisan alam. Allah, dari dimensi ketunggalan mutlak (Ahadiyah), memancarkan diri-Nya pada Alam Pola Dasar (‘Ayan Tsabitah). Lalu Dia “turun” lebih lanjut, memanifestasikan Dirinya ke Alam Ide (Alam Mitsal). Dari alam inilah kemudian tercetak bentuk-bentuk material pada dimensi duniawi. Kita semua adalah makhluk yang muncul secara bertahap dari pancaran kemanunggalan Tuhan.

Karena itu, memahami bahasa simbol akan memudahkan seseorang dalam memahami kehadiran Tuhan. Bahkan, bahasa seperti matematik sekalipun, itu bahasa simbolik dari ide (alam mitsal), yang menjelaskan tentang “kehadiran”. Betapa banyak kasus dan fenomena di tengah masyarakat dan alam semesta yang bisa dijelaskan oleh bahasa simbolik dari angka-angka, dalam bentuk statistik dan sebagainya. Matematik adalah bahasa universal, bahasa rasional dari alam mitsal ketuhanan, yang berguna bagi kita untuk memahami-Nya dan ciptaan-Nya.

Akuntansi juga begitu. Sebagai turunan matematik, accounting merupakan “the language of business”. Lewat simbolisme angka-angka, ia berusaha mengungkap berbagai hal pelik dalam dunia bisnis (i.e., laba, modal, kekayaan, arus kas dan lainnya). Begitulah juga dengan fungsi huruf, kata dan kalimat dalam Qur’an. Penuh dengan simbolisme untuk mendisclose sesuatu yang terkadang terlalu Agung untuk dibahasakan.

Instrumen musik dengan berbagai nada dan ritmenya, juga bahasa simbolik untuk menjelaskan sesuatu yang kadang-kadang tidak bisa diungkap oleh angka dan kata-kata. Seni dan arsitektur Islam; seperti kaligrafi, geometri dan pola-pola arabesk juga memainkan fungsi serupa. Sebagai simbol untuk menjelaskan sesuatu yang tersembunyi.

Simbolisme Syair Sufi

Karena itu, sufi (dan seniman) cenderung bermain pada bahasa simbolik untuk menjelaskan sesuatu. Sebab, sufi mencoba melihat esensi ontologi (wujud) yang lebih tinggi dari materialitas alam fisika. Sufi mencoba menelaah kenyataan-kenyataan hakiki (metafisis) dari sesuatu. Sehingga ditemukan ragam bahasa sufisme, termasuk syair dan puisinya, dalam gaya simbolik. Juga karena tidak lagi mengungkap ego dan ke-aku-an (sebagaimana umumnya puisi-puisi sensual moderen), puisi sufi bisa menjadi jembatan bagi siapapun untuk merasakan kehadiran objek-objek Ontologis yang suci. Syair sufi, ketika dibaca, bisa menjadi wasilah untuk menghidupkan kesadaran nurani.

Banyak penyair sufi, yang terkenal dengan karya dan ungkapan-ungkapan simboliknya. Termasuk Rabiah Adawiyah (713-717), Abu Nuwas (756-814), Hakim Sanai (1080-1141), Fariduddin Attar (1145-1221), Nizami Ganjavi (1186-1209), Sa’adi Shirazi (1210-1292), dan Hafiz Syirazi (1310-1390). Termasuk Jalaluddin Rumi (1207-1273), yang tahun 2007 -bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 800- secara khusus dikukuhkan UNESCO sebagai “Tahun Rumi”. Karena gaya bahasa Matsnawi-nya; penuh pesan cinta dan kemanusiaan. Rumi banyak meminjam ‘bahasa Tuhan’. Pesannya sederhana, tapi “bersayap”. Dalam sekali kandungan dari setiap kata atau kalimat yang dipilihnya.

Kisah-kisah sufi menawarkan value spiritual dalam cara berbeda. Ciri kisah sufi, itu maknanya sering terbalik dengan ungkapan zahirnya. Ada pesan lain yang ingin disampaikan, yang jauh lebih dalam dari sekedar teks ceritanya. Begitulah, seandainya kita paham apa itu Quran. Kisah dan kosa katanya simbolik sekali. Ketinggian gaya bahasa juga menandakan tingkat “noble” atau tidaknya seseorang. Begitu juga Quran, sastranya tinggi. Menandakan itu bahasa kiriman Tuhan. Kandungannya berlapis. Dari makna zahir, sampai kepada makna-makna batin. Kemampuan menggali isinya sangat tergantung pada kecerdasan spiritual masing-masing.

VIDEO PUISI: “MUNAJAT QURANI” (MUSIKALISASI PUISI SUFISTIK OLEH SAID MUNIRUDDIN PADA PENUTUPAN MTQ ACEH KE-35 DI BENER MERIAH)

BACA & NONTON, PUISI VIRAL SAID MUNIRUDDIN: “BUBARNYA AGAMA”

BACA: LIST PUISI SAID MUNIRUDDIN

Memahami Pesan-Pesan Simbolik

Bagi kita yang awam, kisah-kisah di Quran mungkin hanya sebagai flashback masa lalu. Bagi sufi, itu semua mengandung pesan-pesan “rahasia” dan petunjuk praktis untuk masa sekarang. Para mistikus berusaha men “de-code” petunjuk-petunjuk mistis yang terkandung pada setiap pesan Tuhan. Karena kemampuan meditatif yang tinggi, memungkinkan bagi para sufi melalui mata bashirahnya untuk menangkap berbagai “isyarah” dan petunjuk simbolik dari potongan wahyu. Sufi itu sudah semacam Tom Hanks dalam The Da Vinci Code, yang bekerja menguak misteri dari ayat-ayat.

Ibnu Arabi (1165-1240) misalnya, merupakan salah satu “syaikh akbar” yang mampu mengurai secara ilmiah dan filosofis, berbagai dimensi esoteris dari ayat-ayat. Demikian juga Mulla Sadra (1572-1641). Bagi kaum lahiriah, karya-karya mereka atau sufi lainnya akan dianggap bid’ah. Kaum tekstual cenderung terjebak pada sisi lahiriah dari teks. Bagi mereka cukup dengan pesan syariahnya saja. Sufi tidak terhenti disitu. Mereka menguji ayat sampai ke ruang tariqah, hingga menemukan wujud haqiqah, sampai diperoleh pemahaman makrifah dari sebuah pesan wahyu.

Kaum sufi tidak mau terhenti di hadapan ayat, yang sangat simbolik. Mereka berusaha menempuh jalan, untuk mengalami mukasyafah dan musyahadah. Sehingga bisa sampai kepada pertemuan dengan si Pemilik Ayat. Karena tendensi “simbolik” inilah, pesan-pesan Tuhan harus dicermati secara intuitif. Harus dibawa ke level “reflektif”, agar sebuah ayat dapat mengungkapkan diri-Nya.

Gaya bahasa para syaikh sufi juga cenderung begitu, simbolik. Anda harus cermat menyimak pembicaraan mereka. Kalau Anda bertemu dengan seorang wali Allah misalnya, usahakan diam dan jangan berbicara. Juga jangan menyela. Dengarkan baik-baik. Pesannya “bersayap”. Bisa jadi, pesannya susah Anda pahami pada saat itu. Terkadang lama kemudian baru terungkap maknanya.

Para murid yang menyimak ceramah seorang Mursyid, juga akan menangkap makna berbeda dari apa yang disampaikan. Mereka mendengar cerita yang sama. Tapi pemahamannya berbeda. Ada yang memahami dalam makna lahiriah. Ada pula yang terkoneksi secara langsung dengan informasi-informasi bernilai Ilahiyah. Daya serap tergantung wadah masing-masing. Begitu pula cara Quran (Allah) menampakkan dirinya. Tergantung kedewasaan spiritual masing kita.

Kesimpulan

Quran; dengan aneka kisah, kalimat dan susunan kata yang terkandung di dalamnya; bersifat multi dimensi. Kaya makna. Ada makna lahiriah (muhkamat). Juga makna batiniah (mutasyabihat). Makna-makna lahiriah dijadikan sebagai landasan hukum formal dalam peribadatan (syariah). Sementara, makna-makna batiniah menjadi petunjuk metodologis untuk menempuh jalan lebih lanjut untuk menuju Allah (tariqah). Idealnya, selain mampu melihat ayat-ayat dalam perspektif tekstual an sich, seseorang juga harus bisa menemukan rahasia-rahasia spiritual yang latent di dalamnya.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

4 thoughts on “SUFISME DAN BAHASA SIMBOLIK

  1. Pingback: SPIRITUAL HEALTHY

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

SPIRITUAL CHECK-UP

Mon Jul 24 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.