CIRI-CIRI SESAT

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No. 92 | Agustus 2023

CIRI-CIRI SESAT
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRAHMANIRAHIM. Seringkali isu “sesat” mencuat dalam diskusi-diskusi agama. Sehingga muncul istilah-istilah seperti “aliran sesat”, “orang-orang sesat”, “kelompok sesat” dan sebagainya. Terkadang kita suka memberi label dan kriteria sesat kepada orang-orang yang berbeda dengan kita. Seringkali, yang menuduh orang lain sesat, kalau kita periksa, ia juga masih sesat.

***

Pertanyaannya adalah, apa yang dimaksud dengan “sesat”?

Sederhana saja. “Sesat” adalah hidup yang berputar-putar. Tidak pernah sampai ke tujuan. Ibarat seseorang yang menempuh jalan, tapi tidak pernah tiba di tempat yang ingin dituju. Mungkin ia terjebak di suatu wilayah, atau bisa juga salah arah. Mungkin juga ia lalai pada sesuatu yang tidak menjadi pokok tujuan.

Sebenarnya apa sih “tujuan” manusia? Jelas, tujuan kita adalah Allah. Semua orang punya kerinduan, bahkan sejak di dunia, untuk dekat/berjumpa dengan Allah.

Pertanyaannya, Apakah kita semua sudah sampai kepada Allah? Kalau iya, berarti kita sudah tiba di tujuan. Kalau tidak, berarti anda ataupun kita semua -apapun mazhab dan alirannya- masih dalam keadaan tersesat!

Jadi, tidak perlu sibuk-sibuk mencari yang mana kelompok sesat. Perhatikan saja diri sendiri. Kalau jiwa kita belum sampai kepada Allah, kitalah orang sesat itu. Itulah tugas kita sekarang, memperbaiki diri dan menemukan jalan yang “lurus”, agar tidak lagi tersesat dan cepat sampai kepada Allah.

***

Siapa contoh orang-orang yang tidak tersesat?

Contohnya adalah para nabi dan wali-walinya. Mereka adalah orang-orang yang telah sampai kepada Allah. Sejak di dunia, mereka sudah sampai kepada Allah. Sejak masih hidup di muka bumi, mereka sudah bisa melakukan kontak dan hubungan komunikatif dengan Allah. Mereka bisa berinteraksi secara langsung (laduniah) dengan Allah. Itu pertanda bahwa sejak hidup di dunia mereka telah wushul, ruju’, liqa atau terhubung dengan Allah. Itulah ciri-ciri orang yang tidak lagi tersesat.

Karena itulah disebutkan dalam Alfatihah ayat 6, para nabi dan wali-walinya adalah contoh orang-orang yang telah diberi “nikmat” berjumpa dengan Wajah Tuhan, telah tiba ditujuan, karena menempuh jalan yang lurus. “.. Shiratal mustaqim. Shiratal ladzina an’amta ‘alaihim..” (QS. Fatihah: 6-7).

Makna “jalan lurus” adalah jalan yang bisa membawa kita secara langsung ke tujuan. Tanpa harus berputar-putar, tidak bias dan tidak bertele-tele. Para nabi, sejak muda sudah memiliki pengalaman-pengalaman spiritual yang luar biasa. Karena mereka menemukan “jalan lurus”. Jalan yang dapat membawa mereka cepat untuk tiba di tujuan. Karenanya, muda-muda sudah memiliki karomah dan mukjizat dari Tuhannya. Sejak muda sudah mengenal Allah.

Kalau kita belum mengalami hal ihwal spiritual yang serupa dengan mereka, berarti kita masih berada di jalan yang berbeda, jalan yang tidak sama dengan mereka. Sebab, siapapun yang menempuh perjalanan Jakarta-Bandung melalui jalur yang sama, apa lagi dengan kereta yang sama, pasti lebih kurang akan memiliki pengalaman dan melihat hal-hal yang sama. Kalau menempuh jalan yang sama dengan Nabi, sudah pasti akan “mewarisi” pengalaman Nabi. Siapapun yang mengikuti jalan lurus para nabi, pasti sejak di dunia akan sampai kepada Allah.

***

Karena itu, kita perlu mengecek kembali. Apakah jalan yang kita tempuh sudah sama dengan jalannya para nabi atau tidak? Sebab, kalau belum sampai ke tujuan, belum merasakan vibrasi kehadiran Tuhan, besar kemungkinan kita sedang tersesat. Kita kira, kita berada di jalan yang sama dengan Nabi. Padahal tidak. Atau malah jangan-jangan kita termasuk kelompok yang dimurkai. Sehingga tidak diperkenankan untuk bertemu dengan-Nya.

Jadi, kita tidak perlu terpesona dengan banyaknya amal ibadah kita. Banyaknya hafalan Quran kita. Kita tidak perlu lalai dengan salat, puasa, sedekah, haji dan sebagainya. Pertanyaannya, apakah itu semua telah membawa kita sampai kepada Allah? Jika tidak, maka semua amal ibadah kita itu tidak menjadi wasilah yang bisa membawa kita sampai kepada Allah.

Kami tidak mengatakan bahwa amal ibadah itu tidak perlu. Sangat perlu! Hanya saja, perlu dipastikan, apakah amal itu dilakukan di jalan yang lurus atau justru di jalan yang berputar-putar. Sebab, banyak sekali atribut dalam agama. Banyak sekali ritual dan amalan dalam agama. Banyak sekali doa dan hafalan. Tetapi tidak semuanya bisa membawa kita kepada hubungan yang akrab dengan Allah. Kalau kita tidak menemukan “teleporter” (jalan yang efektif dan lurus) untuk mengantarkan semua amal ibadah itu.

Oleh sebab itu dikatakan:

فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاۤءَ رَبِّهٖ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَّلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهٖٓ اَحَدًا

“… Siapa yang ingin berjumpa dengan Tuhannya, maka kerjakan amal shaleh. Dan janganlah mempersekutukan Tuhan dalam beribadah” (QS. Al-Isra: 110). Kalau kita sudah pontang-panting beribadah, tapi belum sampai kepada Tuhan, berarti jalan yang kita lalui masih penuh dengan anasir. Masih menumpang dan berwasilah kepada ego dan nafsu. Masih musyrik.

Oleh karena itu, jalan peribadatan tersebut harus dibersihkan terlebih dahulu. Itulah yang disebut dengan “tazkiyatun nafs”. Jiwa kita harus disucikan dulu. Jalan yang lurus adalah jalan kejiwaan yang bersih dari segala motif dan anasir. Inilah juga yang disebut sebagai “tariqah”, jalan lurus menuju Tuhan. Jalan yang mendidik bagaimana cara menjadikan Rasul sebagai satu-satunya “sekutu” (wasilah) dalam menuju kepada-Nya. Karena itulah perlu seorang waris Rasul sebagai Guru.

Boleh jadi, pada sisi formalitas “syariah”, kita merasa sudah rajin sekali beribadah. Rukuk pagi petang, sampai hitam dahi. Tahajud tiap malam, sampai hitam mata. Puasa senin kamis, sampai kurus. Pertanyaannya, apakah setelah mengerjakan itu semua, kita menjadi dekat dengan Allaj? Apakah amal-amal itu telah membawa kita kepada Allah? Apakah kita sudah bersama Allaj? Apakah mata, telinga dan lisan Anda sudah terhubung dengan Allah? Seperti para nabi dengan segala amal mereka, seperti juga tersebut dalam Al-Isra ayat 110 di atas; apakah kita dengan segala amal kita sudah bisa membawa kita berjumpa dengan-Allah?

Jika belum, berarti amal kita masih bertele-tele. Masih berputar-putar. Belum menemukan jalan yang lurus, jalan yang bisa membawa kita untuk berjumpa dengan-Nya. Selama belum menemukan jalan yang lurus ini, kita akan terus tersesat. Walaupun kita beribadah tanpa henti; siangnya kita berpuasa dan malamnya bertahajud. Tetap tidak akan membawa kita kepada keterbukaan hijab, untuk berjumpa dengan Tuhan kita. Berapapun banyaknya ibadah, Tuhan tetap tidak akan muncul kehadapan kita.

Jadi, efektifitas ibadah bukan terletak pada banyaknya amal. Melainkan pada “metode” (cara/jalan/tarikah) untuk membawa amal-amal itu bisa sampai kepada Allah. Itulah “rahasia” perjumpaan dengan Tuhan.

***

Jadi, sekali lagi, sebelum menuduh orang lain sesat; lihat ke dalam diri. Apakah kita sendiri secara faktual sudah sampai kepada Allah? Jika belum, berarti kita juga masih sesat. Cari jalan lurus, agar kita semua bisa sampai kepada Allah.

Sebenarnya tidak harus mengaji sampai 9 tahun di pesantren untuk sampai kepada Allah. Tidak harus sekolah ke Mesir dan Madinah, sampai dapat gelar profesor doktor, untuk bisa berjumpa Allah. Tidak harus sampai menjadi ustadz dan ulama, baru mengenal Allah. Tidak harus hafal 30 juz baru merasakan kehadiran Allah. Semuanya bagus dan sah-sah saja untuk dilakukan. Tapi itu semua jalan “birokratis”, “panjang” dan “berbelit”, kalau hanya sekedar untuk berjumpa dengan Allah.

BACA: Tasawuf, Menyederhanakan Cara Beragama

Sebenarnya Islam itu jalan yang sangat “sederhana”. Lihat kasus Musa as. Cukup hanya perlu 40 hari mujahadah, dengan amalan dan jalan tertentu, ia bisa berjumpa Allah (QS. Al-‘Araf: 142-143). Semua nabi begitu. Artinya, apapun mazhab dan manhaj Anda, selama menemukan jalan yang “lurus”, metode yang benar, pasti berjumpa dengan Allah.

Kita semua diciptakan berbeda, dengan qiblat dan jenis amalan yang memang tidak pernah bisa diseragamkan. Kita disuruh berlomba dengan keaneka ragaman ini. “Bagi setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka, berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 148). Banyak pintu untuk memasuki surga. Banyak pintu menuju Tuhan (QS. Yusuf: 67). Selama masing kita menemukan metode/wasilah “jalan lurus”, pasti akan sampai kepada Allah. Jangan khawatir. Surga itu sangat luas.

Kesimpulan

Seandainya kita paham, bahwa yang dimaksud “sesat” adalah belum wushulnya jiwa kita dengan Allah; maka kita tidak sempat memikirkan/memantau kesesatan orang lain. Semua akan sibuk membenahi kesesatan masing-masing. Karena hampir semua kita masih memiliki masalah dengan itu.

Karena itu, yang disebut “aqidah” (‘aqada, al-‘aqdu) adalah “keterikatan”, “ketersambungan”, “keterkoneksian”, “keterintegrasian” ruhani kita dengan Allah. Aqidah adalah wushul ilallah. Sempurnanya tauhid seperti itu. Dan itu hanya mungkin terjadi pada level sufistik.

Selama ini, aqidah hanya dipahami sebagai “teori” ketuhanan menurut mazhab atau pemikiran keagamaan tertentu. Boleh saja kita mampu menghafal berbagai konsep tentang Tuhan. Tapi, selama ruhani kita tidak terhubung dengan Allah, aqidah kita tetap dangkal. Aqidah adalah “pertalian” batin dengan Allah. Jauh dari sekedar kemampuan mengetahui konsep-konsep tentang Allah. Aqidah itu bukan sekedar secara rasional/tekstual kita percaya Dia itu ada. Melainkan bertemu dengan-Nya.

Semua orang punya teori tentang Tuhan. Siapapun bisa menyusun kitab teori tentang Tuhan. Pertanyaannya, sudah ketemu atau belum, dengan-Nya? Kalau belum; maka cari metode, jalan lurus dan tercepat untuk menjumpai-Nya. Jangan terus “tersesat” dan berputar-putar dalam hafalan, pemikiran dan teori.

BACA: Beragama secara Ilmiah, dari Bangunan Teori (Syariat) ke Metodologi Pembuktian (Tarikat)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
 tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on “CIRI-CIRI SESAT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

MENGUNGKAP TUHAN MELALUI ANEKA KECERDASAN

Sun Aug 27 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.