Jurnal Suficademic | Artikel No.96 | September 2023
PROFESOR TANPA PEMIKIRAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Kita khawatir akan muncul sebuah masa, dimana jumlah profesornya banyak sekali. Tapi pemikirannya tidak ada. ISBN dan klaim hak ciptanya banyak sekali. Tapi isi pikirannya tidak tau harus kita telusuri dimana.
Memang, untuk menjadi profesor, itu harus punya nilai kredit intelektual hampir 1000. Nilai ini sebagai bukti bahwa mereka “berpikir”. Tapi, khawatir kita, itu bukan murni nilai pemikiran. Melainkan hanya sekedar nilai “administrasi” kepangkatan.
Pemikiran sebagai “Nilai” vs. Pemikiran sebagai “Administrasi”
Ada perbedaan mendasar antara pemikiran sebagai “nilai” (bagi perubahan), dengan pemikiran sebagai “administrasi” (untuk kepangkatan).
Pemikiran sebagai sebuah nilai, itu lahir dari kedalaman jiwa. Sesuatu disebut sebagai pemikiran, ketika apa yang Anda pikirkan itu punya resonansi yang tinggi. Pemikiran bukanlah point. Melainkan power. Ketika yang ditulis dan bicarakan bergulir sebagai sebuah dialektika yang mencerahkan, itulah pemikiran. Pemikiran adalah untaian ’emas’, bukan setumpuk sampah yang keluar dari ujung pena dan lisan.
Sesuatu disebut pemikiran, kalau punya nilai inovatif dan memiliki dampak bagi masyarakat. Pemikiran adalah cahaya, sesuatu yang menghidupkan pembaca. Pemikiran adalah sebuah spirit yang tertulis, yang memantik perubahan. Sesuatu disebut pemikiran, ketika menjadi “magnum opus”, menjadi dalil dan motivasi untuk melawan kejumudan.
Oleh sebab itu, seorang profesor, idealnya adalah seorang “intelektual organik”. Harus banyak bicara. Harus banyak menulis. Harus banyak tampil di muka publik. Punya keberanian untuk mengungkap kebenaran. Dan apa yang dia ucap dan tulis, menjadi ‘gizi’ untuk dikonsumsi. Pernyataan-pernyataannya mengguncang arasy Ilahi. Pengajarannya memicu proses perbaikan sebuah kondisi. Kalimat-kalimat yang ia keluarkan membuat takut para pemilik status quo kekuasaan dalam sebuah negeri.
Intelektual organik bukanlah sosok profesor yang mengunci diri di menara gading. Ataupun yang bersembunyi di belakang meja. Juga bukan para peneliti yang takut bersuara, dan sengaja menyembunyikan pemikirannya dalam jurnal-jurnal terkunci. Yang tulisannya hanya bisa dibaca oleh elit akademisi. Yang papernya hanya dipresentasikan di forum-forum mewah di luar negeri.
Intelektual adalah mereka yang ruhani dan pemikirannya sangat dekat, dan mudah diakses oleh kaumnya. Amanat-amanatnya menjadi kerangka pikir bagi para muridnya. Profesor adalah para ‘nabi’ disetiap tempat dan masa, yang hidup dam bergerak bersama masyarakatnya.
***
Ketika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, pemikiran kita tidak ada bedanya dengan kotoran yang kita buang setiap pagi ke dalam jamban. Ngomongnya banyak sekali. Tapi tidak berguna. Seorang nabi, setiap berbicara menjadi “hadis”. Kita, justru jadi “hadas”. Tidak menarik dan tidak mencerahkan.
Setiap semester kita melakukan ‘onani’ pemikiran. Sengaja kita tulis dan publikasi, untuk dilupakan. Jangankan orang lain, kita yang tulis saja malu untuk membacanya. Entah berapa puluh atau ratus artikel telah terbit di jurnal-jurnal milik Yahudi, yang terindeks hantu belawu. Tapi tak berguna sama sekali, selain hanya jadi kutipan dan basa-basi untuk artikel penulis berikutnya.
Itulah pemikiran yang hanya bernilai “administratif”. Sekedar untuk memenuhi kum kredit kenaikan pangkat. Untuk selanjutnya mendongkrak penghasilan. Perjuangan menjadi guru besar, terkadang hanya sebuah misi kapitalisme akademik. Para profesor akan sejahtera secara personal. Di tengah kemiskinan masyarakat yang seperti tidak ada lagi jalan keluar. Apalagi ketika iklim kampus telah berubah menjadi “perusahaan”. Semua menjadikannya murni sebagai tempat untuk mencari uang.
Banjirnya jumlah profesor dan intelektual terkadang menjadi gambaran dari kondisi apatisme akademik. Kaum terdidik seperti sudah mati akal. Mereka tidak sanggup lagi memikirkan kondisi bangsa yang sudah 78 tahun merdeka, tapi masih miskin dan tertinggal. Sementara, negara serumpun seperti Singapore dan Malaysia sudah melaju entah kemana.
Negara NKRI ini dianggap seperti tidak peduli lagi dengan nasib rakyatnya. Para penguasa, dari pusat sampai daerah, dari satu periode ke periode berikutnya, hanya bekerja untuk memperkuat jaringan oligarki. Semua sibuk berbisnis dalam negara. Intelektual kampus tidak mau kalah. Lalu mengikuti langkah yang sama. Masing-masing berlomba untuk hanya memikirkan nasib diri dan keluarganya.
Akibatnya, di kampus-kampus, diskusi bagaimana cara mengisi laporan IKU dan kinerja, lebih dominan daripada diskusi tentang isu-isu sosial dan angka kemiskinan yang baru dirilis oleh lembaga statistika. Iklim akademik telah berubah menjadi sangat administratif.
Saya curiga. Ini seperti sudah di disain dari atas, agar para profesor dan intelektualnya sibuk dengan “poin”. Sehingga kehilangan “power” dan tidak sempat lagi berpikir kritis terhadap kondisi bangsa. Orang-orang cerdas di kampus digiring untuk fokus hanya pada pemenuhan indikator akreditasi lembaga. Para dosen di disain menjadi buruh berdasi, yang diupah berdasarkan keringat yang ia keluarkan saat mengisi kolom-kolom OBE.
Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan orang-orang. Banyak profesor yang tidak diketahui apa keahliannya. Pangkat profesor tidak lagi menjadi prestise, bahwa seseorang telah menjadi “pemikir paripurna” dan penggerak perubahan di tengah masyarakatnya. Melainkan sekedar bukti bahwa mereka adalah sosok yang tertib administrasi.
Makanya, hampir tidak pernah kita dengar lagi pemikiran-pemikiran jenius dari para profesor doktor pimpinan kampus, terkait ide-ide perubahan sosial. Semua sibuk dengan regulasi dan administrasi. Dengan pertemuan disana-sini, sampai ke luar negeri. Semua padat dengan aktifitas mengumpulkan SK, agar tinggi nilai amprahan remunerasinya.
Konon lagi, kampus-kampus dengan status badan hukum perlahan menjelma jadi “korporasi”. Tentu fokusnya sudah pada penguatan bisnis. Tidak lagi murni mengusung ide-ide keberpihakan sosial. SPP membumbung tinggi. Inilah yang kita sebut pada judul di atas, profesor semakin banyak. Tapi pemikiran organiknya tidak ada. Bahkan, orang-orang baik, perlahan menjadi drakula.
Penutup
Semoga catatan ini menjadi cambuk bagi kita semua, untuk kembali kepada track sejati kaum intelektual sebagai pewaris nabi. Yang berfikir dan bergerak bersama kaumnya. Yang lebih banyak melihat wajah kaumnya daripada menatap layar laptopnya. Yang memiliki semangat untuk memperbaiki kehidupan rakyatnya. Untuk kaya dan sejahtera bersama mereka.
Saya juga mengucapkan selamat kepada para kolega, atas anugerah profesor yang telah diterima. Berat sekali perjuangan untuk menjadi profesor. Kita harus hargai itu. Kita harus hormati kawan-kawan kita. Tetapi jauh lebih berat lagi untuk menjaga nilai-nilai “suci” dari ilmu; sebagai amanah Tuhan untuk membawa manfaat bagi alam semesta. Semoga kita semua, para intelektual dan ulama, tetap bersemangat dan tidak kehilangan komitmen untuk terus mendedikasikan ilmu untuk perbaikan diri, keluarga dan juga masyarakat kita.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Mantap, betul itu