MPU ACEH PERLU MEREKONTRUKSI PEMAHAMAN TENTANG TARIQAH, KHUSUSNYA TERKAIT “RABITHAH”

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.100 | Oktober 2023

MPU ACEH PERLU MEREKONTRUKSI PEMAHAMAN TENTANG TARIQAH, KHUSUSNYA TERKAIT “RABITHAH”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Ini adalah tulisan kami yang ke 100 pada tahun 2023 ini terkait sufisme dan spiritualitas.

***

Kali ini, secara khusus kami menyampaikan rekomendasi untuk pengembangan iklim yang lebih positif bagi dunia spiritual di Aceh dan juga Indonesia. Sebab, Aceh adalah tempat bersemainya Islam dan spiritual di Nusantara. Namun, seiring waktu, gerakan spiritual agak redup. Tidak hanya di Aceh, tapi juga diberbagai belahan dunia lainnya. Ini diakibatkan beberapa hal.

Pertama, fokus kolonial sejak abad 18-19 usaha mengeliminasi para tokoh dan gerakan sufisme. Di banyak wilayah dalam dunia Islam, penentang utama penjajahan adalah para penganut tarikat. Kaum abangan cenderung berkompromi dengan penjajah. Sementara ulama spiritual tidak demikian.

Kedua, runtuhnya imperium Islam terakhir paska perang dunia pertama (1914-1918), Ottoman, yang sejak awal hampir sepenuhnya diback-up sufi.

Ketiga, munculnya state of wahabism pada awal abad 21 yang disponsori Inggris, yang berusaha mengeliminir pengaruh sufisme di Tanah Suci. Wahabisme tumbuh pesat sampai belakangan ini. Pemikiran tekstual-lahiriah mereka ikut mempengaruhi cara pikir banyak ulama dan intelektual di kemudian hari. Sehingga, belakangan banyak yang tidak respek bahkan curiga dengan keberadaan tarikah dan sufisme. Bahkan, butir-butir pemikiran yang keliru terkait tarikat ikut tertuang dalam fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU/MUI) Aceh Nomor 3 Tahun 2010.

Disatu sisi kita menilai fatwa MPU Aceh ini sebagai langkah menjaga kemurnian aqidah. Tapi, disisi lain, jika tidak direvisi akan menjadi landasan untuk mencurigai; bahkan mempersekusi keberadaan tarikat dan sufisme. Karena itu perlu usaha bersama untuk menciptakan iklim yang baik bagi kebangkitan kembali Aceh secara kaffah, dalam bingkai syariat, juga tarikat tentunya.

***

Kami mengamati, ada hal-hal terkait dalil dan amalan khas tarikat yang perlu ditelaah kembali oleh MPU Aceh. Sehingga MPU Aceh tidak keliru dalam memahami dan memutuskan sebuah hukum terkait keberadaan sebuah tarikat di Aceh.

Sebab, sebagaimana tercantum dalam Fatwa MPU Aceh Nomor 3 Tahun 2010, tentang “Kriteria Thariqat Mu’tabarah”, pada poin ke-6 misalnya, disebutkan: “tidak menghayalkan guru ketika berzikir”. Poin seperti ini sama sekali keliru dan bertentangan dengan pemahaman tariqah mu’tabarah dalam lingkup An-Nadliyyah. Kata “menghayal”, dalam hemat kami, menunjukkan ketidakpahaman sumber rujukan MPU Aceh dalam merumuskan poin ini.

Fatwa MPU Aceh Nomor 3 Tahun 2020

Sebab, sebagaimana ditegaskan dalam Konferensi IX Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Muktabarah an-Nadhliyyah (JATMAN) tahun 2000, yang dipimpin Habib Muhammad Luthfi bin Yahya, “rabithah mursyid” adalah metode khas yang dianjurkan dalam tarikat. BACA: “Membayangkan Guru saat Berzikir, Syirikkah?”

Untuk lebih memahami tarikat, penting bagi MPU Aceh untuk berkonsultasi dengan JATMAN misalnya, yang menjadi sebuah “otoritas” tariqah An-Nadhliyyah di Indonesia. Muktamar Sufi Internasional tahun 2023 juga mengamanahkan kehati-hatian dalam menyikapi khilafiyah serta menjaga persatuan dalam keragaman. Usaha untuk mengembangkan sektor-sektor publik penting lainnya seperti ekonomi dan pendidikan; harus lebih difokuskan, daripada membuat program-program yang bertujuan mencari perbedaan di tengah umat.

***

Karena itu, rekomendasi ini juga kami teruskan kepada semua otoritas keagamaan lainnya di Indonesia, termasuk MUI Pusat. Mungkin saja ada daerah lain yang masih memiliki pemahaman yang keliru tentang sufisme dan berbagai amalan khusus mereka (khawash lil khawash). Kita semua perlu melakukan pembenahan pemahaman, agar lebih bijak memahami keragaman amalan dalam dunia spiritual keislaman. Perdebatan terkait amaliah membuat kita lelah dan terus terpecah. Sehingga sulit bagi kita untuk mencapai kemajuan dalam berbagai sektor publik lainnya, khusunya di Aceh.

Sejauh ini kita sangat apresiatif atas sikap toleran dan moderat yang telah ditunjukkan oleh sejumlah ulama di Aceh. Ini modal baik untuk memperkuat pembangunan Aceh dimasa yang akan datang. Sementara, kewaspadaan terhadap kemungkinan tumbuhnya sikap-sikap ekstrim harus ditingkatkan. Apalagi, itu sering ditujukan terhadap pengamal tarikat dan sufisme.

Sebab, sebagaimana diketahui, dunia sedang mengalami gelombang spiritualisasi. Dunia sudah terlalu lama kering dengan formalitas lahiriah dalam beragama. Keinginan masyarakat untuk memperkuat akidah; khususnya lewat tarikah, zikir dan suluk semakin menguat. Maka, dengan adanya pemahaman yang baik tentang sufisme dan tarikat, akan tercipta ruang publik yang tawasuth, tawazun, i’tidal dan tasamuh terhadap keragaman pemikiran dan pengamalan keagamaan di Aceh dan juga Indonesia.

***

Poin-poin lain terkait kriteria tarikat yang mu’tabarah dalam Keputusan MPU Aceh No.3/2010 juga perlu dipahami dengan baik oleh semua kita. Misalnya, kita setuju dengan poin pertama: “Sesuai Al-qur’an, hadis, amal sahabat, ijma’ dan qiyas”. Hanya saja, metode pengamalan Quran dan Hadis juga berjenjang, dari bentuk-bentuk dalil formal/umum ke motode-metode amalan yang khas (khawash). Sehingga membentuk aspek syariat, tarikat, hakikat dan makrifat dalam Islam:

الشَّرِيْعَةُ أَقْوَالِيْ ، وَالطَّرِيْقَةُ أَفْعَالِيْ ، وَالْحَقِيْقَةُ حَالِيْ ، وَالْمَعْرِفَةُ رَأْسُ مَالِيْ

Sebagaimana dikatakan Nabi SAW: “Syariat adalah perkataanku, dan tarikat adalah perbuatanku, dan hakikat adalah keadaan (batin/penglihatanku)-ku, dan makrifat adalah pangkal hartaku (Kasyf al-Khafa’, juz 2, halaman: 7). Dengan demikian, syariat tetap menjadi awal dari beragama, sebagaimana ditekankan pada poin 4 Fatwa MPU tersebut (“tidak meninggalkan syariat”). Namun, keislaman kita tidak sempurna; jika tidak sampai kepada pengamalan tarikat. Dari proses bertarikat inilah terbuka wawasan hakikat dan pengetahuan makrifat.

Karena itu, adanya berbagai amalan khusus dalam tarikat dan sufisme jangan dicurigai sebagai bentuk menyelewengkan Al-Quran dan hadis. Atau usaha untuk menerjemahkan quran dan hadis secara berbeda. Justru lahirnya banyak mazhab tarikat dalam Islam merupakan bentuk spirit dan dinamika pengamalan berbagai ayat dan hadis yang bernilai esoteris, yang itu tidak diajarkan secara khusus dalam mazhab fikih. Tentunya kita setuju dengan fatwa MPU Aceh Nomor 3/2010, poin kedua. Bahwa semua warisan amalan ini harus diajarkan oleh guru yang bersanad (bersilsilah), tanpa terputus pada sosok-sosok sahabat yang bersambung sampai ke Rasulullah.

Poin nomor 3 juga begitu: “tidak mengkultuskan guru secara berlebihan”. Ini juga terkait dengan poin nomor 7: “tidak menyamakan guru sederajat dengan Allah dan Rasul-Nya”. Itu sudah benar. Semua sufi paham bahwa guru bukan Tuhan. Guru bukan Rasul. Guru adalah waris Rasul. Namun, ketaatan kepada Allah juga dibuktikan dengan ketaatan kepada Rasul, juga ketaatan kepada guru/syaikh yang menjadi ulil amri pewaris Rasul (QS. An-Nisa’: 59).

Disinilah kemudian terbangun adab yang ketat dalam dunia spiritual. Adab-adab inilah yang banyak hilang dalam dunia Islam moderen. Sehingga lahir berbagai kenakalan dan kejahatan. Namun, jangan dibuat tafsir secara “ghuluw” (berlebihan), jika sikap takzim murid kepada seorang syeikh dituduh sebagai bentuk kultus atau penuhanan kepada manusia.

Artinya, semua kriteria tariqah mu’tabarah dalam keputusan MPU No.3/2010 itu perlu dipahami secara arif. Selain perlunya untuk segera merevisi poin yang keliru, seperti poin “tidak menghayalkan guru ketika berzikir” (rabithah). Dengan lahirnya pemahaman yang arif, maka tidak akan muncul sikap-sikap radikal yang akan digunakan oleh pihak tertentu guna mempersekusi keberadaan sufi dan tarikat, atau kelompok-kelompok yang dianggap berbeda dengan mereka.

Dalam semua mazhab sufisme dalam lingkup Ahlussunnah Waljamaah, sebenarnya tidak ada masalah dengan amalan seperti rabithah dan lainnya. Kecuali bagi sekelompok kecil ekstrimis, yang belakangan memahami agama hanya pada dimensi lahiriahnya saja. Mereka tidak hanya anti dengan “rabithah” ataupun adab-adab takzim seorang murid kepada syeikh. Mereka malah menuduh sufi sebagai bid’ah dan sesat.

BACA: APA HUKUM “MENGKHAYAL”?

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala Aalihi wa Shahbihi wasallim.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
 tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

"TALI ALLAH": MENEMUKAN JARINGAN MEDIA KOMUNIKASI YANG EFEKTIF DENGAN ALLAH

Tue Oct 24 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.