Jurnal Suficademic | Artikel No.101 | Oktober 2023
“TALI ALLAH”: MENEMUKAN JARINGAN MEDIA KOMUNIKASI YANG EFEKTIF DENGAN ALLAH
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Untuk bisa berkomunikasi dengan Allah yang Maha Gaib, seseorang harus menempuh cara-cara ilmiah, yang sudah umum diajarkan dalam “ilmu komunikasi”. Segaib apapun lawan komunikasi kita, di bagian dunia manapun dia berada, kalau kita menemukan “alat/media” komunikasi yang tepat, maka kita pasti akan terhubung secara efektif dengan-Nya.
Pentingnya “Alat/Media” Komunikasi
Dalam ilmu komunikasi, ada yang namanya “komunikator” (pihak penyampai pesan), dan ada yang namanya “komunikan” (penerima pesan). Kedua mereka berinteraksi melalui penyampaian “pesan”. Sementara, agar pesan bisa sampai ke pihak penerima, perlu adanya “media” (jalur penyampaian pesan).
Artinya apa?
Tidak ada yang namanya hubungan yang benar-benar “langsung” antara dua pihak yang sedang berkomunikasi. Pasti ada “media”, yang mengantarkan pesan. Artinya; hubungan antara variabel x dengan y, antara komunikator dengan komunikan, selalu “dimediasi” oleh sesuatu. Itu sesuatu yang alamiah.
Dalam tubuh kita, misalnya, pun berlaku hukum alam yang sama. Setiap informasi akan sampai ke otak, setelah dimediasi oleh jaringan saraf. Rangsangan yang kita terima akan di encode menjadi gelombang pesan dalam bentuk impuls elektrik, yang kemudian dikirim oleh jaringan saraf untuk dipahami (decode) oleh otak. Boleh dikatakan; hampir semua bentuk interaksi, hubungan atau komunikasi antara dua hal, itu dimediasi oleh sesuatu. Tidak ada yang betul-betul langsung.
Kita bisa menangkap/melihat sebuah objek yang ada di depan, itupun bukan kerja mata secara langsung. Melainkan karena adanya “media” cahaya, yang membawa/memantulkan wujud gelombang dari sebuah objek. Kita kira, mata kita bisa “langsung” melihat sesuatu. Padahal, itu terjadi karena dimediasi oleh cahaya. Tanpa cahaya, tak ada yang terlihat.
Begitupun saat mendengar atau berbicara. Kita mengira, bahwa itu adalah bentuk komunikasi yang bersifat langsung. Padahal, ada “media” yang menjembatani kelangsungan hubungan komunikasi. Dan itu adalah “udara”. Tanpa udara, suara tidak akan sampai ke telinga kita.
Begitu juga saat Anda menelpon teman. Komunikasinya memang terkesan langsung. Tapi difasilitasi oleh sesuatu. Tanpa teknologi hp yang menjadi “perantara”, hubungan itu tidak akan terjadi.
Begitu juga ketika Anda menonton siaran “langsung” pertandingan bola, Barcelona Vs. Real Madrid. Itu juga tidak langsung. Melainkan ada media sebagai “wasilah”, sehingga siaran itu menjadi langsung. Media itu adalah TV, dan juga satelit ataupun jaringan Wifi, yang secara keseluruhan bekerja untuk mentransmisikan gambar, suara atau pesan dari bagian dunia lainnya sehingga sampai kepada Anda.
Begitu juga kalau Anda berbicara dengan seseorang secara berhadap-hadapan. Anda kira itu komunikasi “langsung”. Padahal tidak. Ada “media” yang mengantar, pesan Anda ke telinga receiver. Media itu adalah gas/udara. Benda padat dan cair juga bisa menjadi “media” untuk merambatkan bunyi untuk sampai ke tujuan. Kita butuh “media” tertentu untuk menyampaikan, memantulkan atau membiaskan pesan. Pesan tidak akan sampai lewat “kekosongan” atau “ruang hampa”. Perlu “wasilah” atau “media”.
Jadi, apa yang kita anggap sebagai hubungan “langsung”, itu tidak benar-benar langsung. Melainkan ada “media” (wasilah) yang melangsungkan atau “menyatukan” Anda dengan sesuatu. Karena itulah, dalam dunia spiritual juga memungkin terjadinya “kesatuan” dan kelangsungan hubungan antara subjek dengan Objek pengetahuan. Antara hamba dengan Tuhan, melalui media dan format tertentu.
Karena itu dikenal istilah wahidiyah dalam relasi Tuhan dengan hambanya. Dalam dunia komunikasi atau hubungan spiritual, dikenal adanya “kesatuan wujud”. Baik dalam istilah wahdatul wujud ataupun wahdatusy syuhud. Yang “menyatu” adalah wujud ruhani dengan Ruhani, wujud gelombang dengan Gelombang, wujud cahaya dengan Cahaya. Peran “media” (wasilah) membuat hubungan menjadi tidak berjarak (Ahad).
Saat kita meninggal pun, dimensi fisik kita akan terkubur di bumi. Tidak kembali ke Allah. Hanya dimensi spiritual (wujud “encode” dari diri kita) yang akan kembali ditransmisikan ke alam Tuhan. Itu pola alami dalam dunia relasi komunikasi. Pun ketika sebelumnya dikirim ke dunia, wujud kita juga masih berupa spiritual encode (ruh), sebelum di coding dalam dimensi material.
Alat/Media adalah “Wasilah”
Jadi, tidak ada yang namanya hubungan langsung, antara manusia dengan Allah. Iya, kita bisa berhubungan secara langsung. Tapi perlu “media” untuk bisa melangsungkan hubungan.
Itulah yang disebut “wasilah”. Wasilah adalah “message carrier”, “messenger” atau “rasul” (pembawa pesan). Tanpa memiliki wasilah, hubungan kita dengan Allah tidak akan pernah berlangsung. Tanpa wasilah, doa-doa kita tidak sampai. Tanpa wasilah, kita terputus (tercerai berai) dengan Allah. Karena itu ada perintah untuk beragama (membangun komunikasi transendental) melalui “tali” Allah:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali Allah dan jangan tercerai berai..” (QS. Aali Imran: 103)
“Tali” inilah yang dapat menyambungkan atau melangsungkan hubungan kita dengan Allah. Sebab, fungsi tali adalah untuk “mengikat” atau “menyambungkan”. Jika diumpamakan Allah ada diujung sebuah tali, maka dengan memegang ujung tali lainnya, anda menjadi terhubung dengan Allah.
“Tali” itulah media penghubung, atau jaringan komunikasi antara kita dengan Allah. Tanpa “jaringan” (network system), komunikasi yang efektif tidak akan pernah terjadi.
Dulu, “tali” jaringan masih berbentuk “wire” (fisik kabel). Sekarang, jaringan penghubung sudah berwujud “wireless” (nirkabel). Artinya, pesan dapat dirambatkan via jaringan dalam bentuk kabel ataupun nirkable. Yang jelas, pesan-pesan itu sendiri (apakah suara, gambar dsb) sudah diubah dalam bentuk gelombang. Karena itulah bisa ditransmisikan, via kabel dan nirkable, secara cepat dari satu tempat ke tempat lain.
Hubungan dengan Allah juga begitu. Dia tidak menerima semua “materi” (wujud fisik) dari syahadat, shalat, puasa, zakat, haji, darah dan daging kita (QS. Al-Hajj: 37). Semua itu harus diubah dulu dalam bentuk “gelombang”. Baru kemudian ditransmisikan ke sisi Allah.
Jika syariat bertugas membentuk format lahiriah dari ibadah, maka tugas tarikat adalah mengubah itu semua menjadi “gelombang” yang baik, sehingga bisa disending ke alam Tuhan. Wujud “gelombang” yang baik dari ibadah disebut “khusyuk”.
Ilmu khusyuk diajarkan secara khusus dalam dunia zikir/tarikat (sufisme). Karena itu dikatakan, syariat/fikih mengajarkan ilmu “sah” atau tidak sahnya ibadah, secara argumentatif. Sedangkan tarikat mengajarkan ilmu “diterima” atau tidak diterimanya ibadah.
Sebab; diterima atau tidak diterima, sampai atau tidak sampainya ibadah kita ke hadirat Allah; tergantung kemampuan kita dalam mengubah wujud “fisik” ibadah untuk menjadi gelombang “ruh” (nur) . Untuk selanjutnya, juga harus ditemukan “media” (wasilah) apa yang dapat digunakan untuk mengirim gelombang ruhaniah/nuraniah ini.
Karena itu, setelah mampu mengubah wujud fisik ibadah menjadi gelombang ruh, seseorang harus menemukan “wasilah” (mediating variable) untuk menyampaikan itu semua. Sehingga bisa “langsung” diterima oleh Allah.
Sebagaimana telah kita bahas di atas, yang disebut “wasilah” adalah media pengantar gelombang pesan. Wasilah adalah “message carrier”, “messanger” atau “rasul”. Wasilah itu adalah “tali”, wireless network atau “jaringan ruhaniah” pembawa/pengirim pesan.
Karena Allah itu adalah Wujud immateri, tentu jaringan yang kita butuhkan juga berwujud immateri. Begitu pula dengan pesan yang kita kirim, juga sudah berwujud gelombang cahaya (ruhani). Tidak lagi materi. Akhirat adalah dunia ruhani. Untuk mencapai akhirat, semua wujud duniawi harus diubah ke dimensi ukhrawi (ruhani).
Karena itulah, yang disebut “rasul” (wasilah) bukanlah makhluk materi. Muhammad bin Abdillah, itu bukan rasul. Melainkan manusia biasa (makhluk materi/basyar). Yang disebut “rasul” adalah “jaringan malakut” (jibril/wahyu) yang telah dititipkan/diinstall oleh Allah dalam qalbu Muhammad bin Abdillah.
Jadi, Muhammad itu, secara fisik merupakan “hotspot” atau “satelit” Allah. Dalam dirinya membawa unsur wasilah, “tali”, “jaringan” atau “sinyal” dari Allah. Karenya Beliau disebut sebagai “utusan Allah”. Kalau Anda bisa mengkoneksikan diri dengan “jaringan ruhani” pada diri Muhammad SAW, maka Anda bisa membangun komunikasi secara efektif, dapat “berjumpa” (liqa, rujuk, wushul, mikraj atau connect) dengan dengan Allah.
Itulah “teknologi ruhani”. Sesuatu yang diajarkan secara khusus dalam dunia spiritual Islam (sufisme). Karenanya, sampai kiamat, setiap masih dapat berkomunikasi (atau berhubungan secara langsung) dengan Allah. Dengan syarat, ia menguasai teknologi spiritual ini. Pertama, ia mampu mengubah bentuk ibadah dalam wujud gelombang ruhani. Kedua, ia menemukan media spiritual (wasilah) untuk men-transmit ibadah ke sisi Allah.
Muhammad bin Abdillah memang sudah tiada. Sudah wafat. Tapi, “ruhani”-Nya masih ada. Abadi sifatnya. Sebab, itu adalah “tali”, “gelombang” atau “energi” yang tidak mungkin binasa. Itu titipan langsung dari Allah, yang terus diwarisi dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dari satu qalbu lainnnya. Dari satu satelit ke satelit lainnya.
Maka tugas kita disetiap zaman adalah menemukan “satelit”, “hotspot”, “jaringan”, “tali”, “media”, “wasilah” atau (waris) “rasul” ini. Mereka selalu ada disepanjang tempat dan zaman (QS. At-Taubah: 128-129).
Setelah ditemukan, sambungkan (sanadkan) diri Anda dengan infrastruktur spiritual tersebut. Biasanya ada proses inkubasi spiritual (khalwat/suluk) untuk menginisiasi, mengakses dan mengaktivasi jaringan ini. Tentu harus disupervisi oleh seorang “ahli komunikasi spiritual” (waliyamursyida, QS. Al-Kahfi: 17). Dengan demikian, ruhani seorang salik menjadi “hidup”. Kalau ruhani/qalbu sudah hidup, seorang mistikus bisa berkomunikasi secara ruhaniah, kapanpun dan dimanapun, dengan Allah.
Kesimpulan
Kaum sufi sering dituduh aneh dan sesat, gegara banyak berbicara tentang “wasilah” dalam membangun komunikasi/hubungan dengan Allah. Banyak orang mengira, hubungan manusia dengan Allah yang laitsa kamislihi syai-un itu bisa langsung begitu saja. Padahal, wasilah itulah media yang membuat hubungan seseorang dengan Allah benar-benar berlangsung. Tanpa wasilah sebagai “variabel moderator”, manusia akan tersesat. Akan bisu, tuli dan buta. Tidak akan ruju’ (sampai). Akan putus koneksi dengan Allah. Shummun bukmun ‘umyun fahum la yarji’un (QS. Al-Baqarah: 18).
Yang kita bahas ini adalah sesuatu yang ilmiah dalam pengajaran “ilmu komunikasi”. Hubungan gaib dengan Allah, harus ditempuh lewat cara-cara ilmiah. Harus ada media penghantar, atau “wasilah”. Untuk kembali dan diterima oleh Allah yang Maha Gaib, seseorang tidak bisa berjalan sendiri secara mandiri. Harus ada wasilah. Harus ada rasul, wali, imam mursyid, atau siapapun pembawa “Nur Muhammad”. Harus ada tali atau jaringan “Kalimah” (Alif-Lam-Mim/Kitab) yang mengantarkan.
“Al-Islamu ya’lu wa laa yu’la alaih”. Benar. Islam itu agama yang “tinggi” (canggih/unggul). Kalau kita menguasai teknologi komunikasi spiritual ini. Jika tidak, maka cara beragama kita mungkin tidak ada bedanya dengan agama lain. Sama-sama percaya bahwa Tuhan itu ada. Namun sama sekali tidak mengalami hubungan dan kontak yang efektif dengan Allah.
Inilah rahasia “kekeramatan” kaum spiritual. Siapapun yang wajah ruhaninya terikat/terhubung (rabithah) dengan Wajah Allah, pasti akan memiliki kemuliaan dalam bentuk kedekatan hubungan dengan-Nya (qarib). Sehingga, agama itu bukan sekedar kemampuan membaca dan menghafal teks. Melainkan lebih kepada kemampuan mengakses informasi secara “langsung” dari sisi-Nya.
Sholat adalah salah satu, dari banyak sekali pola komunikasi kita dengan Allah. Tapi, tanpa berwasilah, mustahil terjadi interaksi aktif dengan Allah. Karena itulah, setiap selesai azan ketika atau mau shalat selalu diingatkan dengan kata-kata: “.. wash-shalatil qaaimah, aati sayyidina muhammadanil wasilata wal fadhilah” (HR. Bukhari). Tanpa memohon wasilah pada wujud Muhammad, komunikasi dan hubungan kita dengan Allah tidak akan memberi fadhilah.
BACA JUGA: NUR (MUHAMMAD), VARIABEL MODERATOR DALAM BERMAKRIFAT
BACA JUGA: SPIRITUAL HOTSPOT
BACA JUGA: TALI ALLAH
BACA JUGA: TRIK MENEMUKAN ALLAH
BACA JUGA: ALIF-LAM-MIM: ITULAH KITAB (KALIMAH)
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.