Jurnal Suficademic | Artikel No.102 | Oktober 2023
“ABOVE THE LAW”: KEBIJAKSANAAN DALAM HUKUM ILAHI
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Bisakah seseorang hidup melampaui hukum (above the law)?
Jawabannya bisa. Itulah yang disebut “kebijakan”. Kebijakan juga hukum, yang dibuat untuk melampaui hukum-hukum yang ada. Kebijakan, dalam bahasa lainnya juga disebut “kebijaksanaan”. Nanti, dalam terminologi khusus juga disebut sebagai “hikmah” atau “kearifan”.
Apakah jika bisa hidup “above the law”, maka kita tidak butuh hukum lagi?
Jawabannya, tidak. Hukum formal tetap diperlukan. Hukum formal dibutuhkan untuk meregulasi semua aspek umum dalam kehidupan. Hukum formal diperlukan untuk menciptakan ketertiban, keteraturan dan keamanan bagi semua. Hukum formal adalah sebuah legalitas aturan untuk menata semua hal terkait kepentingan umum. Hukum bersifat mengikat, strict dan rigid. Karena itu, gerak langkah dibuat menjadi terbatas. Disatu sisi, hukum sangat diperlukan. Agar manusia tetap bebas, tapi ada batas.
Hanya binatang yang total tidak perlu aturan (beyond the law). Manusia tetap harus ikut aturan (within the law). Walau pada kadar tertentu, ia bisa melampauinya (“above” the law). Itulah yang kita sebut sebagai “kebijakan” atau “kebijaksanaan”.
Kebijakan dibuat/diambil untuk dua kepentingan. Pertama, untuk memberi ruang lebih terbuka bagi gerak dan kebebasan, yang boleh jadi melampaui aturan hukum yang formal. Tujuannya bukan untuk melanggar hukum. Melainkan, mencari ruang bermain yang lebih fleksibel, agar tercapainya kebaikan-kebaikan secara lebih cepat, mudah dan sempurna (ihsan).
Kedua, kebijakan dibuat disaat tidak ada aturan hukum yang jelas terkait sesuatu. Hukum umumnya mungkin ada. Tetapi, terkadang butuh penafsiran bagaimana itu bisa ditarik dalam konteks yang spesifik, sesuai waktu, situasi dan tempat. Karena itu diperlukan keputusan-keputusan baru yang bernilai khas (khawash), guna tercapainya kebaikan-kebaikan yang lebih tinggi bagi kemanusiaan. Inilah yang juga disebut sebuah tindakan yang “wise” atau bijak.
Jadi; kebijakan, kebijaksanaan, hikmah atau kearifan; itu sebuah keputusan yang “above” the law. Disatu sisi, kita harus taat kepada hukum yang berlaku umum (syariat). Itu wajib. Sementara disisi lain, kita juga harus belajar untuk memiliki unsur-unsur kearifan (hikmah). Karena itulah dalam Islam ada yang namanya ilmu syariat. Juga ada ilmu tarikat, yang berguna untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan hakikat dan makrifat yang punya nilai kearifan yang lebih tinggi.
Ulama syariat disebut ulama fikih. Mereka selalu “ngotot” dengan penerapan hukum formal. Karenanya, bahasa fikih berkisar seputaran argumentasi “halal” dan “haram”. Sementara ulama tasawuf, berupaya meng-upgrade kekakuan hukum dalam berbagai kearifan. Yang penting memenuhi unsur hikmah: “disetujui” atau “tidak disetujui” oleh Akal yang lebih tinggi, Allah.
Karenanya, kita tidak bisa selalu menilai tasawuf lewat kacamata fikih murni. Ada wali yang majdub misalnya. Dalam kacamata syariat, orang gila dinilai sebagai orang yang tidak berakal. Sudah setingkat dengan binatang. Perilaku mereka tidak bisa dijadikan tauladan secara langsung. Sebab, kita tidak segelombang dengan batin mereka. Kalau se-frekuensi dengan gelombang cintanya Qais, mustahil kita menuduhnya majnun. “Kalian tidak melihat Laila dengan mataku”, kata Qais kepada orang-orang yang menyebutnya sinting. Ada signifikansi sufisme dalam kisah Laila dan Majnun.
Ada hukum khusus yang berlaku bagi orang-orang seperti ini. Mereka sudah “above” bahkan “beyond” the law. Segala keanehan yang mereka perlihatkan tidak lagi dinilai lewat kacamata hukum standar. Ada hukum-hukum yang bersifat “lex-specialis” yang digunakan untuk menilai mereka. Tidak selalu mudah untuk menilai para nabi dan wali-walinya dengan kacamata biasa.
***
Sekali lagi, sikap arif dan bijaksana bukan bertujuan untuk melanggar syariat. Melainkan untuk menyempurnakan syariat, ketika diterapkan pada konteks tempat dan waktu. Syariat itu hukum umum Ilahi yang diturunkan kepada nabi-Nya lewat wahyu. Kebenarannya absolut.
Hanya saja, syariat juga butuh penafsiran. Detil aplikasinya memerlukan kearifan. Apalagi untuk diterapkan disepanjang tempat dan zaman. Banyak variabel yang mesti dipertimbangkan untuk diterjemahkan pada kasus yang beragam. Ada berbagai sebab dan akibat yang belum tentu ada kejadian serupa di zaman dahulu. Terkadang butuh asesmen terhadap lingkungan sebelum itu diterapkan.
Disinilah kemudian kita memerlukan tambahan kecerdasan. Kenyataannya, kemampuan “otak” (akal) untuk menginterpretasi hukum-hukum syariat tidak selalu memadai. Karena itu dibutuhkan kecerdasan “hati” (ruh) untuk memutuskan sesuatu agar benar-benar sesuai dengan keinginan Tuhan.
Inilah yang disebut “ilmu hikmah”. Hikmah (حِكْمَة) adalah aspek batin dari hukum (حُكْم). Penegakan hukum yang bersifat formal/lahiriah, sejatinya juga memenuhi unsur-unsur keadilan yang ada pada dimensi ruhaniah. Semua pencuri, misalnya, secara formal akan dihukumi penjara. Tetapi, apakah semua pencuri akan diperlakukan sama? Bagaimana jika ia mencuri sebatang ubi untuk anaknya yang sedang kelaparan? Disinilah kemudian dibutuhkan kecerdasan ruhani untuk melihat apa yang tidak terlihat melalui “kacamata kuda” hukum formal. Sehingga kemudian lahir keputusan hukum yang penuh hikmah.
Ilmu hikmah adalah ilmu khizir. Sebuah ilmu yang Musa as disuruh pelajari, agar ia tidak mabuk dengan kekakuan dalil dan penerapan syariatnya. Lewat ilmu inilah seorang ahli fikih seperti Musa as mendalami rahasia-rahasia hukum dan kejadian secara lebih arif dan bijaksana. Sehingga ia bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata. Ia bisa membaca sesuatu yang tidak terbaca oleh indera. Karena itulah ia kemudian bisa memutuskan sesuatu secara arif, “beyond/above” the formal law.
Fakir miskin, siapapun dia, berhak menerima zakat. Itu aturan hukum (syariah) umum. Tapi kemudian ada wisdom Ilahi, dengan maksud dan tujuan tertentu melarang keturunan Nabi SAW untuk menjadi penerima zakat. Walaupun mereka fakir dan miskin. Lalu Nabi memutuskan kebijaksanaan Ilahi ini menjadi satu kebijakan (aturan khusus) dalam Islam.
Kebijaksanaan Ilahi ini selalu hadir pada diri kita. Kalau kita mengetahui atau punya kontak dengan Allah. Misalnya, di depan Anda sudah terhidang satu piring makanan. Secara umum itu halal. Ada merek halalnya. Tiba-tiba, saat Anda mau menyentuhnya, datang ilham. Anda “dilarang” memakannya. Itulah wisdom Ilahi. Hanya Dia yang tau secara persis, kenapa Dia bersikap atau memutuskan kita untuk tidak menyentuh/mengkonsumsi makanan itu pada waktu itu. Boleh jadi, pada waktu lain akan Dia ijinkan.
Hanya Allah yang tau, apa yang terbaik buat kita, pada konteks tempat dan waktu tertentu. Boleh jadi apa yang saat itu kita anggap baik, belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya. Jadi, itu juga sebuah bentuk “above/beyond the law”. Apa yang secara umum bernilai halal, boleh jadi haram bagi Anda. Atau sebaliknya. Sesuai wisdom Ilahi.
Maka perlu ilmu untuk menyelami alam pikiran Tuhan atau wisdom Ilahi. Itu secara khusus diajarkan oleh para master spiritual dalam tasawuf amali. Sehingga seseorang memiliki sikap bijak, serta punya kecakapan spiritual untuk mengetahui hikmah-hikmah dibalik sebuah fenomena atau kejadian formal.
Ilmu hikmah bukanlah ilmu untuk melanggar syariat. Ilmu hikmah adalah ilmu “above syariat”. Ilmu kebijakan. Ilmu yang memenuhi rasa, “beyond text”. Ilmu untuk memutuskan sesuatu sesuai kemauan aktual dari Allah. Ilmu hikmah adalah pengetahuan yang dibisikkan secara langsung oleh Allah. Karena itu juga disebut sebagai ilmu laduni (QS. Al-Kahfi: 65).
Jadi, kemampuan mengambil kebijakan atau kebijaksanaan (keputusan baru) merupakan sebuah bentuk fasilitas atau diskresi yang dimiliki seseorang karena relasi atau kemampuannya berinteraksi/bernegosiasi dengan Tuhan. Dalam kehidupan duniawi juga begitu. Seseorang yang punya jabatan tinggi, Presiden misalnya, punya hak untuk secara bijak memutuskan amnesti, abolisi, grasi dan rehabilitasi terhadap seseorang. Ini sebuah kekuatan yang ia peroleh sebagai akibat dari kekuasaan yang ia miliki. Sesuatu yang orang lain, atau perangkat hukum lainnya tidak punyai.
Makanya, tidak aneh, Nabi pun punya kekuatan untuk “mengampuni” orang (QS. An-Nisa: 64). Sebuah hak yang seharusnya hanya dimiliki oleh Tuhan. Tapi Beliau diberi izin untuk itu. Tidak semua orang punya privilages berdimensi Ilahi, “illa bi iznih” (QS. Al-Baqarah: 255). Begitulah. Semakin dekat seseorang dengan Tuhan, semakin banyak kekuasaan, degree of syafaat dan wisdom Ilahi yang ia miliki. Secara syariat, seseorang hanya bisa memiliki maksimal 4 istri. Itupun kalau mampu berlaku adil. Dalam wisdom Ilahi, Nabi bisa memilikinya sampai 9.
Dengan demikian, hikmah atau wisdom Ilahi bisa dicapai jika seseorang dekat dengan Allah. Karena itu, proses menuju kesana disebut tarikatullah. Harus ada seorang waris Nabi yang membimbingnya. Kalau tidak, nanti setan yang akan jadi pembimbingnya. Sebab, ilmu hikmah atau ilmu kebijaksanaan adalah ilmu “kehadiran”. Ilmu yang lahir (hudhur) dari hasil komunikasi dengan Allah. Karenanya, ilmu hikmah juga disebut sebagai bagian dari “wahyu”.
Wahyu itu ada dua. Pertama, “wahyu an-nubuwwah”. Itulah wahyu yang kemudian terformulasi menjadi hukum syariat. Hukum inilah yang menjadi standar pedoman umum bagi semua kita dalam urusan ibadah dan muamalah, sampai kiamat.
Kedua, “wahyu al-wilayah”. Inilah yang disebut “ilham”, “hidayah laduniah”, “muraqabah” dan berbagai perangkat sufistik kewalian lainnya. Wahyu/ilham inilah yang menjadi pedoman bagi terbentuknya perilaku yang penuh hikmah atau berakhlakul karimah. Wahyu ilhamiyah inilah yang menjadi instrumen pelaksanaan syariat sehingga memiliki dimensi ihsan. Karena itulah, para wali disebut pewaris nabi. Ada instrumen komunikasi ilahiyah yang mereka warisi, sehingga bisa terus memperoleh petunjuk dalam menjaga kebenaran agama (esensi Quran).
***
Sekarang kita lihat contoh sikap bijak lainnya, yang lahir dari kedekatan seseorang dengan Allah.
Maulid Nabi, apakah itu melanggar syariat atau tidak? Buka saja dalil di Quran dan hadis. Kalau ada, atau ditafsirkan ada, berarti boleh (sunnah nabi). Kalau tidak ada, atau ditafsirkan tidak ada, berarti tidak ada hukum syariatnya (bid’ah dhalalah). Meskipun tidak ada hukum syariat yang tegas, apakah kemudian Allah izinkan kalau kita melaksanakan sesuatu yang kita anggap baik ini? Jawabannya, tanya saja sama Allah. Tunggu jawaban Allah lewat berbagai bahasa ‘wahyu’ (ilham). Kalau boleh, itulah namanya sunnah sahabat, ataupun sunnah para wali Allah.
Jawaban dari Allah itulah yang disebut hikmah. Hikmah itu juga “hukum”. Hikmah berasal dari kata hakama (حكم), yang pada awalnya berarti “menghalangi”. Dari akar kata yang sama dibentuklah kata yang bermakna “kendali”. Yakni sesuatu yang fungsinya mengantar kepada yang baik dan menghindarkan dari yang buruk. Artinya, pelaksanaan hukum (syariat) harus penuh dengan kearifan (hikmah). Agar tercapai kebenaran hakiki.
Contoh lain. Saat kita mengalami musibah atau cobaan, seringkali orang mengatakan: “ambil hikmahnya saja”. Artinya, ada wujud-wujud rahasia, atau kebaikan-kebaikan yang tidak terlihat dari tampilan formal sebuah kejadian. Kemampuan untuk melihat rahasia-rahasia ilahi inilah yang disebut “hikmah”. Orang arif adalah yang bisa melihat rahasia dibalik sesuatu. Karena itu pula orang arif atau ahli hikmah, itu biasanya orang-orang-orang seperti Khizir, kasyaf.
Jadi, syarat menjadi arif/kasyaf, adalah memiliki hati yang bersih. Sehingga mampu membangun komunikasi dan memperoleh informasi transendental dari Allah. Allah itu punya sifat kalam atau mutakallimun. Dia Maha Berbicara disepanjang zaman. Mereka yang hatinya bersih, bisa mendengarkan Fatwa-FatwaNya secara jernih.
Karena itulah, orang-orang arif ini disebut “arifbillah”. Banyak dari mereka, pada awalnya mendalami fikih secara luar biasa lewat kekuatan otak (aqliyah). Baru kemudian, setelah menempuh jalan tarikah, mereka menemukan “suara Tuhan” dalam dirinya. Mereka patuh pada syariat. Sekaligus bergerak sesuai bisikan Al-Ilahi. Walau sesekali terlihat kontradiksi, seperti pada kasus Musa as dan Khizir as. Tapi itulah kehidupan unik sekelompok sufi, yang terkadang memahami dan mengeksekusi sesuatu “above the law”.
Karena itu, jangan menilai sesuatu secara sembrono. Sikap arif diperlukan, agar kita tidak mudah menuduh kafir, syirik, murtad, sesat dan bid’ah kepada sesuatu yang berbeda. Namun jangan pula berlaku aneh, brutal dan barbar. Lalu mengaku itu sebagai kearifan. Berlaku korup dan jahat, lalu merasa tidak tersentuh hukum, bukanlah kearifan. Itu adalah kemungkaran. Sebab, kearifan bukanlah keanehan atau keburukan yang lahir dari nafsu setan. Melainkan sesuatu yang diperoleh atas izin Tuhan (God’s Decision).
Kalau serius ingin menegakkan hukum Islam, belajarlah dengan kaum khawarij. Semua dijalankan lurus di atas garis, sesuai bunyi teks (“within the text”). Tapi hilang kearifan. Hilang konteks. Hampir semua orang muslim, selain kelompok mereka, dijatuhi hukuman “kafir”. Semua kelompok takfiris di abad moderen, yang suka mengkafir-kafirkan orang lain (ISIS, Alqaeda, Wahabisme ekstrim), adalah jelmaan khawarij.
Dalam Islam itu sendiri sebenarnya tidak kurang aturan hukum. Bahkan Islam termasuk agama yang kelebihan aturan. Semua diatur. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, semuanya diregulasi. Namun kekurangan “ruh” (hikmah) dalam menjalankan itu. Sebab, saat menjalankan hukum, kita hanya berinteraksi dengan dalil dan teks (Quran dan hadis). Bukan berinteraksi dengan Pemilik Teks (Allah). Hanya kesadaran otak yang aktif saat menerapkan syariat. Jiwanya tidak. Karena itu, beragama pada level arif adalah “above/beyond the text”. Harus sampai kepada Pemilik Teks.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on ““ABOVE THE LAW”: KEBIJAKSANAAN DALAM HUKUM ILAHI”