Jurnal Suficademic | Artikel No.107 | November 2023
KUASAI DUNIA DENGAN AKAL, KUASAI AKHIRAT DENGAN HATI
Oleh: Said Muniruddin | RECTOR | Said Muniruddin
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Tuhan menciptakan dua senjata untuk manusia: akal dan hati. Keduanya digunakan untuk memenangkan dua pertempuran berbeda. Jika ingin memenangkan pertempuran dunia, seseorang harus memaksimalkan akal. Sebaliknya, kalau ingin sukses secara ukhrawi, intensifkan hati.
تَفَكَّرُوا فِي خَلْقِ اللَّهِ ، وَلا تَفَكَّرُوا فِي ذات الله "Pikirkanlah (gunakan akal untuk memahami) ciptaan Allah, dan jangan pikirkan (gunakan hati untuk menjangkau) Dzat Allah" (Hadis)
Dunia dan Akal
Coba lihat. Negara mana yang menguasai dunia. Sebutlah Cina, Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Rusia; dan tambahkan sendiri. Semua negara itu memiliki orang-orang yang panjang akal. Cerdas secara intelektual. Canggih secara teknologi. Maju dalam dunia bisnis. Licin berpolitik. Cara berpikirnya kritis, strategis dan taktis. Itu semua kinerja otak.
Semua orang kaya, yang punya jabatan dan sukses dalam usaha juga demikian. Otaknya pasti jalan.
Jadi, tidak harus dekat dengan Tuhan untuk sukses secara materi. Cukup latih model mindset tertentu. Lihat bagaimana cara Israel mendirikan dan mempertahankan negara. Lihat bagaimana Cina menguasai perdagangan dunia. Lihat bagaimana Inggris, Perancis, AS dan lainnya menguasai tambang di negara-negara jauh. Bukan karena dibantu Tuhan. Melainkan mampu secara mandiri memanfaatkan potensi otak yang telah diberikan Tuhan.
Sebenarnya Tuhan tidak begitu mengintervensi kesuksesan duniawi seseorang. “Antum ‘alamu bi umuri dunyakum” (Hadis). Kalian lebih tau urusan dunia kalian. Itu hak otonom masing orang, yang bekerja dalam lingkup hukum alam yang ada. Dia hanya memberikan potensi akal untuk mencapai semua itu. Manusia, setelah dikirim ke dunia, diberikan kebebasan oleh Tuhan untuk mencapai kemajuannya. Yang ulet dan kreatif dalam berpikir pasti sukses, paling tidak secara duniawi (material-teknologikal).
Itulah hukum kecerdasan akal, yang lahir dari sifat umum “Rahman”-Nya. Bagian dari sunnah-Nya juga. Jadi, tidak peduli apa agama dan keyakinan Anda, mau Islam atau bukan, mau rajin shalat atau tidak, kalau seseorang mampu maksimalkan menggunakan akal, rajin dan disiplin, pasti jaya di dunia.
Karena itu, kalau kondisi kita miskin, tidak punya pekerjaan, tidak ada jabatan, gagal secara politik; jangan salahkan Tuhan. Salah sendiri, kenapa akal tidak dicerdikkan sebagaimana mestinya. Untuk urusan dunia, jangan banyak berdoa. Perbanyak berpikir dan bekerja. Makin sekuler Anda, makin mudah suksesnya. Kira-kira begitu. Walau tidak selalu begitu.
Agama untuk Orang Berakal
Jadi, kalau ada cerita kenapa dulu muslim menguasai dunia, itu bukan karena sekedar rajin tahajud, subuh dan dhuha. Melainkan karena panjang akalnya. Tinggi ilmunya. Bagus cara “membaca” situasinya. Pintar dalam memanfaatkan peluangnya. Tepat dalam mengkalkulasi dan menganalisis kondisi disekitarnya.
Nabi Muhammad SAW, itu panjang akalnya. Bukan orang “ummi” dalam makna bodoh. Cerdas dan bahkan jenius sekali. Tidak bisa sekedar mengandalkan wahyu untuk memenangkan perang. Butuh kecerdikan di atas rata-rata. Bahkan, dalam urusan dunia, beliau sampai berdarah, patah giginya. Untuk selamat pun seringkali harus hijrah, di malam hari pula. Perlu kehati-hatian, kecerdikan, sekaligus keberanian dalam menempuh jalan.
Jadi, kalau melihat kondisi umat Islam yang belakangan jauh tertinggal, itu penyebabnya satu. Bukan karena jauh dari Tuhan. Ibadah umat Islam tidak usah diragukan. Umat Islam adalah umat yang paling rajin beribadah di muka bumi. Begitu azan berkumandang, sudah ke masjid semua. Cuma akalnya saja tidak hidup lagi. Kemampuan teknis-teknologis, kemampuan berusaha dan berpolitiknya sudah kadaluwarsa. Sehingga tercabik-cabik semua. Di tambah lagi karena nafsunya yang terlalu tinggi serta kehilangan Wujud Tuhannya. Sehingga menjadi “cinta dunia dan takut mati” (Hadis).
Jadi, kuasai dunia dengan akal. Akal itu punya kemampuan kerja yang independen. Bisa mengangkat derajat, kesuksesan dan kebahagiaan seseorang dalam aspek-aspek duniawi. Karena itu, kalau ingin membangun umat, didiklah akalnya. Bangun kesadaran dan sistematika berpikirnya. Perbaiki logika dan intelektualitasnya. Benahi kecerdasan rasional-empirisnya.
Tuhan senang dengan orang-orang berakal. Karena itu, agama hanya diperuntukkan bagi yang berakal. “Ad-dinu ‘aqlun la dina liman la aqla lahu”. Agama itu akal. Tidak ada agama bagi yang tidak berakal. Hanya orang berakal yang bisa bekerja untuk menjalankan mandat Tuhan di muka bumi. Manusia ditempatkan di bumi untuk menjadi khalifah Tuhan, untuk membangun civilization (sipilisasi atau peradaban dalam aspek material-teknologikal). Tanpa akal, itu mustahil terjadi.
Adam pun menjadi nabi karena berakal. Adam adalah “homo sapiens”, manusia berakal pertama di bumi. Sebelumnya telah ada berbagai jenis “homo” (manusia). Tapi purba, belum begitu berakal. Sehingga selalu terjadi pertumpahan darah, sampai binasa semua. Karena itulah Adam as menjadi nabi. Menjadi orang berakal pertama, yang mampu membawa misi Tuhan. Meskipun ada drama dalam kisah Adam yang menunjukkan ia punya potensi terjatuh kembali sebagai ‘binatang’. Itu terjadi ketika ia gagal “menangkap” perintah Tuhan, sehingga terjebak dalam perangkap khuldi.
Yang jelas, karena punya akal kita menjadi manusia, menjadi nabi. Mungkin karena itu pula banyak nabi diutus dari kalangan Bani Israil. Karena akalnya panjang-panjang. Karena cerdas, banyak dari kalangan Yahudi sampai sekarang masih menjadi orang kaya dan penguasa di bumi. Selain juga menjadi perusak dimana-mana. Akibat watak buruknya juga, mereka sejak dulu selalu dihukum Tuhan dan terusir kemana-mana. Namun, karena akalnya panjang, mereka bisa eksis dimanapun berada.
Menjangkau Akhirat dengan Hati
Akal itu penting. Disatu sisi, Tuhan butuh teman di muka bumi, untuk menjalankan tugas-Nya. Sahabat atau kekasih Tuhan (khalilullah) haruslah seseorang yang berakal atau cerdas. Semua nabi cerdas. Itu memang syarat jadi nabi, fathanah. Seorang nabi harus memahami bahasa (psikologi) kaumnya, serta berbagai hukum yang secara alami ada di tengah masyarakat dan alam ciptaan. Mereka diutus untuk mengelola itu semua.
Namun, sebagai makhluk materi (makhluk bumi), setiap Bani Adam punya kelemahan yang “inheren” dalam dirinya. Iya, akal bisa membawanya kepada kemajuan. Kepada berbagai inovasi dan penemuan. Tapi, materi punya enerji “gelap” (nafsu) yang membawanya manusia kepada keinginan tidak terbatas. “Hawa panas” yang tidak terkontrol dari materi akan membawa kita kepada penderitaan dan kesusahan. Kepada kerusakan dan kebinasaan (nihilisme). Nafsu selalu menarik akal untuk bekerja sebagai hambanya.
Akal yang melahirkan ilmu dan pengetahuan, memang bisa membawa manusia kepada “peradaban” (civilization). Tapi dalam bentuk “sipilisasi” material-teknologikal. Bukan dalam aspek “keadaban”. Adab adalah fungsi dari kearifan dan kesucian hati (ruhani). Adab itu bagian dari ilmu hikmah, gerak dan keperilakuan yang bersifat ketuhanan.
ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺍﻷَﺧِﺮَﺓَ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَﻫُﻤَﺎ ﻓَﻌَﻠَﻴْﻪِ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ Benar kata hadis, "Barangsiapa yang menginginkan dunia maka hendaklah berilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, maka hendaklah dengan ilmu. Barangsiapa yang menginginkan keduanya, maka hendaklah dengan ilmu". Hanya saja, ilmu untuk menjangkau esensi ukhrawi (Allah) adalah ilmu penyucian jiwa/hati (ilmu tasawuf). Sedangkan akal adalah instrumen keilmuan untuk memahami gejala-gejala formal dalam dunia fenomena.
Karenanya, manusia tidak akan mampu menjalankan misi “suci”, tanpa kontak langsung dengan Tuhan. Disinilah butuh “kecerdasan spiritual” (ruhiyah) untuk selalu terkoneksi dengan Allah. Akal membutuhkan berbagai sentuhan laduniah (ilham/wahyu), agar ia bisa bergerak di atas nilai-nilai yang absolut benar. Sehingga, segala pencapaian akal selama di dunia tidak memunculkan relativitas, taghut dan kedhaliman.
Silakan mendirikan negara dalam bentuk apapun, sesuai rencana kita. Apakah itu berbentuk khilafah, kerajaan, sosialis, liberal, demokratis, ataupun pancasilais; silakan saja. Itu hak akal untuk berpikir apa yang terbaik. Namun ikuti apa bisikan Tuhan selama proses pembentukan sistem. Sehingga, apapun model kenegaraan yang dibangun pada konteks waktu dan tempat, sesuai dengan cita-cita (prinsip) Ilahi.
Kaya boleh. Punya jabatan yang tinggi dipersilakan. Gunakan akal dan kegigihan untuk mencapai itu semua. Sejauh proses pencapaian dan pemanfaatannya dibenarkan oleh Tuhan, bukan oleh nafsu an sich. Untuk itu, akal harus dicelup dalam samudera Ilahi. Agar ia bergerak sesuai basis etika dari Kalam Ilahi (Quran).
Hati dan Etika Relijius
Pertama, sebagai “teks”, Quran adalah buku kompilasi nilai. Ayat-ayatnya merupakan basis dalil yang bahkan sangat mutasyabihat, untuk mengatur perilaku atau akhlak (adab lahir dan batin). Ketika diformal-terjemahkan dalam berbagai struktur mazhab pemikiran dan kekuasaan, itu akan menjadi aturan hukum yang mengikat (syariah). Tujuannya untuk membatasi kebebasan, agar tidak terjadi anarkhi dalam kehidupan.
Kedua, sebagai “ilham”, Quran adalah Kalam (batin dari teks), yang setiap saat turun secara langsung untuk berbicara ke dalam hati. Dengan cara itu ia mengarahkan akal kepada tujuan-tujuan yang diridhai. Karena itulah, selain ilmu syariah, kita butuh metode tariqah, irfan atau tasawuf. Melalui ini kita bisa memperoleh makrifat, sehingga dapat menangkap secara langsung tuntunan adab dan etika Ilahi lewat fungsi hati (spiritually ethics).
Tanpa makrifat, kecerdasan akal berpotensi tersesat dalam koridor nafsu. Tanpa getaran qalbu, akal akan menjadi liar dan tersesat. Tanpa kesucian hati, manusia akan angkuh saat berhasil (takabur). Serta putus asa saat gagal (yaiasu).
Berakal tanpa kecerdasan hati akan membuat kita jadi Iblis. Iblis itu cerdas (alim). Panjang akalnya. Tapi tidak punya adab/kepatuhan kepada Allah. Hatinya mati. Karena itu ia terhukum secara ukhrawi, menjadi penghuni neraka. Oleh sebab itu, kalau ingin memperoleh kesuksesan ukhrawi, setiap kita harus memperbaiki hati. Hanya hati yang bisa menjangkau kehadiran Tuhan.
Akal memang diperlukan agar sukses secara duniawi. Tapi, pada saat yang sama, cahaya Ilahi yang dipantulkan Tuhan dalam hati harus ikut membimbingnya. Terlebih lagi, yang kita bawa ke akhirat bukanlah dimensi dunia. Bukan kesuksesan materi. Melainkan elemen-elemen ruhani (taqwa) yang kita bangun selama di dunia. Yang kembali kepada-Nya adalah ruh kita, yang tidak terkotori oleh kejahatan dunia.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2