“TAQWA”: CINTA ATAU TAKUT?

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.119 | Desember 2023

“TAQWA”: CINTA ATAU TAKUT?
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Apa yang terbaik bagi Tuhan, dicintai atau ditakuti?

Kita bisa berdebat untuk menjawab ini. Idealnya, dicintai sekaligus ditakuti. Tetapi, kondisi seperti itu sulit tercapai, kecuali pada sedikit orang. Maka, jika harus memilih salah satu, apa yang terbaik bagi Tuhan: dicintai, atau ditakuti?

***

500 tahun lalu, pertanyaan serupa pernah diajukan oleh seorang filsuf, diplomat dan politisi dari Itali. Namanya Niccolo Machiavelli (1469-1527). Ia terkenal dengan “Il Principe” (The Prince/Sang Pangeran). Karya yang sarat pandangan pragmatis ini dipersembahkan untuk penguasa Florence, agar efektif dalam mengelola kekuasaan.

Kata Machiavelli, kalau ingin jadi pemimpin yang hebat, jadilah pemimpin yang dicintai sekaligus ditakuti. Tapi sedikit yang menjadi pemimpin seperti itu, dicintai sekaligus ditakuti. Maka, jika harus memilih salah satunya, jadilah pemimpin yang ditakuti. Sebab, kata dia, ketakutan akan lebih efektif dalam menjaga ketertiban sosial.

Memang benar. Sangat sulit memperoleh cinta dari rakyat. Penyebabnya ada tiga:

Pertama, boleh jadi, kita sebagai pemimpin, bukanlah pribadi yang sempurna. Perilaku kita mungkin tidak selalu adil dan menyenangkan. Konon lagi, kita terkadang cukup kolutif dan koruptif. Karena itu, pasti akan terjadi protes secara massal. Kedua, konon, selalu ada lawan politik yang mencari keburukan kita untuk diekspose ke publik. Dengan demikian, rakyat sewaktu-waktu bisa antipati dengan kita. Ketiga, rakyat sendiri bukanlah kumpulan orang yang bisa dipercaya. Sebaik apapun program Anda, rasa terima kasih mereka tidak ada. Baik sekalipun Anda bekerja, cemoohan tetap akan Anda terima. Jadi, jangan berharap terlalu banyak bahwa Anda akan dicintai oleh rakyat.

Maka, ketika Anda tidak bisa membangun kuasa dengan cinta, gunakan ketakutan. Begitu saran Machiavelli. Itulah yang diterapkan oleh semua otoritas, rejim dan aristokrat di dunia. Pola ketakutan yang dibangun beragam. Mulai dari bentuk-bentuk tindakan hukum bagi yang melanggar, sampai kepada pembunuhan. Dari sekedar memotong tangan rakyat karena alasan mencuri, sampai memutilasi lawan-lawan politik, hingga hilang jasadnya. Pemimpin harus level “kekejaman”, agar didengar dan dipatuhi. Sebaik-baik kejam, itu kejam dengan alasan. Biasanya, kalau kejam tapi beralasan, bisa diterima. Jika tidak, justru menimbulkan pemberontakan.

***

Saya tidak mendukung, atau sepenuhnya menolak apa yang dikatakan Machiavelli. Hanya saja, pemikirannya harus dipahami secara hati-hati.

Pertama, benar, Anda tidak bisa mengharapkan balasan cinta sepenuhnya dari orang-orang yang Anda pimpin. Mayoritas rakyat bukan tipe yang tau berterima kasih. Anda justru bisa dicuranginya. Karena itu, Anda tidak boleh mengharap balasan dari masyarakat yang Anda asuh. Bisa kecewa nanti. Satu-satunya tempat untuk berharap hanya Tuhan. Jadilah pemimpin, yang berharap hanya cinta dari Tuhan. Itulah kenapa, orang-orang yang tidak bertuhan cenderung stress. Sebab tidak tau harus berharap kemana, selain kepada sesama manusia.

Kedua, karena sedikit yang benar-benar mencintai Anda, maka benar, terapkan “hukum” untuk menciptakan kepatuhan sosial. Dalam masyarakat tradisional, orang-orang patuh karena cinta kepada sang pemimpin. Pemimpin dekat dengan mereka. Tetapi, begitu masyarakat semakin kompleks dan jauh dari pemimpin, kepatuhan hanya tercipta jika ada hukum yang mengatur segala aspek kehidupan mereka. Karena itulah, ilmu-ilmu syariah (fikih untuk menciptakan “law and order”) berkembang seiring meluasnya kekuasaan Islam.

Itulah fungsi syariah, untuk ‘menakut-nakuti’ dan menghukumi kelompok masa (the mass). Masyarakat akhirnya terfokus dalam perspektif bid’ah, neraka, halal, haram dan frame pemikiran hitam-putih lainnya. Karenanya harus patuh dan hati-hati. Di organisasi atau negara-negara maju juga begitu, hukum ditegakkan dengan cara begitu. Masyarakat seperti tidak mau berurusan dengan pemimpin. Tidak ada yang namanya pemimpin kharismatik. Pemimpin mereka adalah hukum itu sendiri. Mereka hanya mengikut aturan yang sangat ‘kejam’ (ketat), yang meregulasi hampir semua sektor publik. Bagi mereka, “Tuhan” adalah aturan itu sendiri.

***

Sementara itu, “cinta”, adalah imbalan emosi dan keterikatan jiwa yang hanya diberikan sekelompok kecil rakyat terhadap jasa-jasa pemimpinnya. Tidak banyak orang yang tau cara berterima kasih, “illa qalila” (kecuali sedikit). Sahabat yang setia dengan nabi, itu tidak banyak. Yang banyak adalah umat. Selebihnya ada yang munafik, juga lari dari perang. Tidak banyak yang bersedia menangis, mengingat dan mengambil spirit Sayyidina Husain R.A. atas peristiwa yang dialaminya di Karbala. Sementara, yang mengaku keturunannya banyak. Tidak banyak yang datang berterima kasih dan memberi hadiah untuk Anda, setelah Anda berbuat sesuatu bagi mereka. Bahkan terima kasih pun mungkin tidak ada. Apalagi sampai bersedia membela dan mengikuti Anda sampai mati. Nabi Nuh as, Luth as dan Ayyub as sekalipun ditinggalkan oleh anak dan istrinya.

Karena itulah, cinta (ridha) hanya pantas digantungkan kepada Allah. Bukan kepada manusia. Selebihnya, untuk mendapat kepatuhan, sebuah sistem harus efektif menerapkan “aturan”. Masyarakat awam seringkali hanya mengerti bahasa azab dan ancaman. Bukan bahasa cinta.

Karena itulah, Musa as menerapkan hukum yang sangat ketat terhadap Bani Israil. Dia tau, kaumnya ini bebal. Susah memperoleh kepatuhan kecuali melalui restriksi dan hukuman. Hanya sedikit dari pengikut Musa as yang benar-benar mencintainya. Ada sedikit itu, ada Harun as, saudaranya. Juga Yusyak, muridnya. Perhatikan, berkali-kali mereka diselamatkan Tuhan. Dibebaskan dari kejaran Firaun di Laut Merah, diberi makanan berupa “manna was salwa” saat kelaparan, dan lain sebagainya. Tetap juga mereka menyembah patung sapi, melakukan berbagai kejahatan dan berulangkali menyakiti hati Musa dan Tuhannya.

Pun sedikit yang mencintai Isa as. Yang sedikit itu disebut “hawariyyun” (sahabat-sahabat setia). Selebihnya adalah kaumnya sendiri, bahkan ada muridnya yang berkhianat (Yudas Iskariot), yang bekerjasama dengan Kerajaan Romawi untuk menyalibnya.

***

Tuhan juga tau, sedikit dari manusia yang bersyukur (mencintai-Nya). Sedikit dari manusia yang patuh, karena alasan cinta. Kelompok-kelompok yang sedikit ini adalah para nabi dan shalihin. Selebihnya adalah manusia-manusia seperti kita, yang tidak tau cara berterima kasih. Yang sudah diberikan begitu banyak nikmat, masih juga bermaksiat dan koruptif.

Karena itulah, Tuhan memperkenalkan “neraka”, agar kita takut dan patuh kepada-Nya. Tuhan meng-impose kekejaman untuk memaksa manusia agar taat kepadanya. Karena itulah dikatakan, orang awam seperti kita beribadah karena takut murka dan neraka. Sementara, orang arif menyembah Tuhan karena rindu akan cinta-Nya.

“Taqwa” dipahami beragam. Bagi kaum sufi, itu adalah murni “cinta”. Karena itu, ilmu mahabbah hanya bisa diperoleh secara sempurna lewat tradisi tasawuf. Sulit mencintai Allah. Kalau ada yang mengaku mencintai Allah, itu mirip-mirip bohong. Mencintai Allah berbeda dengan mencintai manusia. Manusia ada wujud/objek kasat, sehingga mudah didekati lewat visual bahkan nafsu. Sementara, Allah total gaib. Mencintai-Nya mesti menggunakan instrumen gaib (ruh/hati). Cinta Ilahi adalah dimensi qalbu, yang diakses melalui zikir, sampai seseorang hilang kesadaran materialnya (fana dan faqir di hadapan Tuhannya).

Sedangkan bagi kaum fuqaha, taqwa itu dipahami sebagai “takut”. Karena itu, rasa takut ditebarkan melalui doktrin syariat. Untuk menengahi keduanya, kita bisa menyebut taqwa itu sebagai cinta sekaligus takut. Kita harus takut, sekaligus cinta kepada Allah. Bersyariat, sekaligus bertarikat. Sehingga diperoleh rasa “taslim” (pasrah) kepada Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۝١

“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah (cintai/takutlah) kepada Allah dengan sebenar-benar takwa (cinta/takut) kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (berserah diri)” QS. Aali Imran: 102

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
 tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on ““TAQWA”: CINTA ATAU TAKUT?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

"INDIRECT" AND "DIRECT" ISLAM

Sat Dec 9 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.