
Jurnal Suficademic | Artikel No. 02 | Januari 2024
DUA PERILAKU ORANG BAHAGIA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Ada banyak perilaku dari orang bahagia. Dua diantaranya adalah: (1) “Do not show off” -tidak suka pamer; dan (2) “Talk less” -sedikit berbicara. Gunakan dua bentuk habit ini untuk mengevaluasi diri.
Pertama, “Do Not Show-off” (Jangan Pamer).
Pernah lihat bagaimana orang-orang suka posting foto kemesraan di medsos? Itu tidak selalu untuk menunjukkan bahwa dirinya sedang bahagia. Seringkali yang terjadi justru sebaliknya. Lagi susah. Lagi bermasalah dengan hidupnya.
Ada orang yang selalu rutin memposting foto dirinya dengan istri/suaminya. Pegangan tangan. Pelukan. Ciuman. Saling menyuapi. Atau sedang apa gitu. Pokoknya terlihat sensual banget.
Percayalah, 99 persen orang yang hobbi pamer kebahagiaan, itu sedang tidak bahagia. Boleh jadi sedang ada keretakan dalam rumah tangga. Sering bertengkar, ada perselingkuhan dan sebagainya.
Berbeda dengan “depresi”, yang terlihat emosi/marah-marah dengan orang lain. Foto-foto itu hanya bagian dari perilaku “supresi” saja. Yaitu usaha menutupi celah susah dan gelisah dari batinnya; yang dipublikasi seolah yang terjadi adalah sebaliknya. Terkadang ada harapan memperoleh pujian dari publik untuk mengobati masalah.
Orang-orang yang kesepian secara batin, juga sering update foto di medsos. Ada upaya untuk mengobati diri, bahwa ia banyak teman, senantiasa bahagia dan selalu dalam keramaian. Lagi ngopi bareng. Lagi di cafee. Atau apalah gitu. Semua kehadirannya di warkop dan mall dia publikasikan. Bahkan, lagi tahajud pun ia beritahukan.
Apakah semua orang yang sedang bermasalah secara kejiwaan selalu begitu? Iya, 99 persen begitu. Karena itulah, anda tidak boleh percaya dengan publisitas kebahagiaan ala artis. Itu palsu semua. Sebab, kebahagiaan tidak ditunjukkan dengan cara “show off” (pamer/riya).
Bahagia itu adalah urusan privacy. Kalau mau bahagia dengan istri, ya bahagia saja berdua. Kenapa harus pamer? Kenapa mesti kali orang lain tau?
Lalu, apakah salah kalau suka mengupdate foto? Tidak. Terkadang itu justru sebagai informasi, bagian dari edukasi, atau ada pesan entertaining yang patut dibagi. Itu mirip kenduri, yang dilakukan sesekali, sebagai usaha untuk berbagi bahagia. Kenduri itu bagian dari pamer makanan memang. Itupun dilakukan sesekali.
Kalau mau sering-sering menujukkan bahagia ke orang, ada caranya. Yaitu bersedekah. Itu boleh sering-sering, dan sifatnya rahasia. Sesekali saja dipamerkan. Bukan selalu. Itu tanda sehat. Sering bersedekah adalah perilaku orang yang sehat jiwanya. Hanya dia, Tuhan, dan penerima sedekah saja yang tau.
Penyakit riya lainnya adalah “suka menasehati” lewat kata-kata bijak atau motivasi. Atau sering memforward hal-hal relijius ke grup-grup WA. Terkadang kita berusaha tampil sebagai ahli agama, atau peduli agama. Padahal, kita sedang kosong jiwa. Karena itu, jangan mudah percaya dengan semua ustadz ataupun motivator. Mungkin hanya satu persen saja dari mereka yang benar-benar berbicara atas dasar hakikat kebahagiaan yang sudah ia miliki. Sedikit sekali orang yang serius ingin berbagi bahagia atas info yang ia punya. Selebihnya hanyalah “supresi”. Bagian dari menghibur, menasihati dan menutupi kelemahan diri sendiri. Meskipun ia berlindung dibalik dalil, “sampaikan walau satu ayat”.
Karena itu, segera periksa, apakah kita sedang mengalami masalah kejiwaan seperti ini. Penyakit riya, suka pamer atau show-off wujudnya “halus” sekali. Tidak hanya orang kaya, orang miskin juga ada bentuk pamernya. Yaitu pamer senang, padahal lagi susah. Pasang foto sedang bersandar di mobil Lamborghini. Padahal sedang dimarahi istri karena tagihan listrik belum terbayar.
Karena itu pula dunia tasawuf sangat menekankan upaya pengendalian penyakit batin yang satu ini. Saya sendiri terkadang suka melihat kembali apa yang saya posting di fb, instagram, tiktok dan lainnya. Sambil mengingat-ingat kembali, ada masalah apa saat itu, sehingga memposting foto-foto itu. Sebagian memang terdeteksi ada unsur penyakitnya. Selebihnya saya nilai netral. Kalau ingin memposting sesuatu, sekarang saya berusaha mengevaluasi terlebih dahulu, apakah sedang sehat atau sedang sakit. Haha!
Namun demikian, bukan berarti orang yang tidak pernah memposting/berbagi apapun, itu sehat sekali jiwanya. Tidak juga. Justru terkadang lebih banyak masalah, yang menyebabkan ia malas terkoneksi dengan dunia di luar dirinya. Inginnya mengunci diri terus. Introvert.
Kedua, “Talk Less” (Sedikit Berbicara).
Ada orang yang suka posting di Medsos. Sebenarnya tidak ada masalah kalau suka berbagi informasi. Tapi siang malam, pagi petang, ia bombardir grup dengan berita yang entah darimana ia dapatkan. Apa yang diharapkan dari itu? Apakah ia ingin orang-orang membaca dan mempercayainya?
Apalagi musim Pilpres begini. Banyak grup yang seperti itu. Orang-orang fanatik ini sebenarnya sedang “tidak sehat” saja. Anda harus mengendalikan diri, untuk memahami mana yang patut dibagi, mana yang harus disimpan untuk diri sendiri. Bahkan timingnya pun harus baik. Jangan saat orang sedang merespon duka cita, kita posting lawak kita. Orang-orang sedang serius mendiskusikan A, kita masuk membawa tema B.
Ada juga orang yang suka memposting sesuatu, yang sebenarnya hanya dia yang suka itu. Ada orang yang hobbi sekali ikut seminar zoom. Semua link acara zoom diposting ke grup. Kita tidak sadar. Ketidak jernihan jiwa kita akan terakumulasi dalam pemikiran, keinginan dan perilaku yang menurut kita bagus; sementara menurut orang-orang itu adalah “sakit”.
Saya pribadi adalah penulis tasawuf. Dulu, setiap ada tulisan selalu saya posting ke semua grup. Saya berharap, semua orang menyadari betapa pentingnya tasawuf. Padahal banyak juga yang terganggu. Terkadang tema tulisan saya tidak sesuai dengan tujuan grup. Lama-lama saya sadar. Baru kemudian saya buatkan grup khusus bernama “The Suficademic”, dimana semua tulisan tasawuf saya posting ke situ. Ribuan orang telah bergabung. Hanya peminat tasawuf saja, atau siapa saja yang ingin “memata-matai” pemikiran saya.
Jadi; kurangi postingan yang tidak jelas, tidak terarah, atau tidak bermanfaat bagi orang. Itu juga bagian dari perintah agama, kurangi bicara. “Talk less”.
Walaupun saya pribadi sesekali juga suka mengganggu banyak grup dengan tema-tema “sensitif”. Sehingga terjadi perdebatan. Bagus juga untuk pengayaan intelektual dan rasionalitas. Terkadang ada kejumudan yang harus dibongkar. Apalagi jika grupnya sudah terlihat sepi. Namun demikian, banyak sekali ruang debat terbangun karena “ego” mazhab dan pengetahuan. Karena itulah agama, khususnya tasawuf melarang debat, sebagai wujud dari pengamalan “talk less”.
Memang, ada orang yang suka sekali berdebat di medsos. Tidak hanya di medsos, sehari-hari juga begitu. Apapun yang diposting orang, selalu diresponnya. Selalu didebatnya. Selalu dikritisinya. Ada kemungkinan, orang-orang seperti ini sedang bermasalah. Perdebatan tidak selalu menunjukan kita “cerdas”. Ada titik dimana kita justru terlihat “bodoh”.
Untuk menjadi sehat secara batin, kita justru diharuskan banyak-banyak membangun diskursus dengan Allah. Dalam dunia spiritual disebut “munajat”. Sebuah model dialog, rintihan, gugatan bahkan debat; berdua hanya dengan Allah. Ketika sufi tidak banyak bicara, itu pertanda ia sedang banyak berkomunikasi dengan Tuhannya. Karenanya mereka terlihat selalu sehat.
Beda kalau seseorang tidak suka berbicara dengan manusia, dan dengan Tuhan juga mandek komunikasinya. Bisa gila itu!
Penutup
Itulah dua, dari sejumlah habit yang dimiliki oleh orang-orang bahagia, yang sehat jiwanya. Tidak suka pamer dan sedikit berbicara. “Do not show off, talk less.” Ini bukan berarti tidak boleh pamer. Juga bukan bermakna tidak boleh berbicara sama sekali. Melainkan harus produktif dan selektif dalam melakukannya. Kalau dalam bahasa irfan, harus ada muraqabah, harus ada vibrasi ketuhanan dari setiap pesan yang ingin dikomunikasikan.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.