
Jurnal Suficademic | Artikel No.35 | Maret 2024
PUASA, KURANGI BICARA
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
Bismillahirrahmanirrahim.
Pada level lebih tinggi, puasa adalah ibadah untuk mengurangi bicara. Bahkan, untuk tujuan-tujuan khusus, selama puasa dianjurkan tidak berbicara sama sekali:
فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًاۚ فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًاۙ فَقُوْلِيْٓ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّاۚ
Makan, minum, dan bersukacitalah engkau. Jika engkau melihat seseorang, katakanlah, ‘Sesungguhnya aku telah bernazar puasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih. Oleh karena itu, aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS. Maryam: 26)
Ketika dianjurkan tidak bicara, maka jangan bicara. Bukan hanya siang hari saat berpuasa, tapi juga malamnya. Sebab, satu bulan Ramadhan, baik siang maupun malamnya, adalah rangkaian utuh dari puasa.
Mungkin agak sulit beramal pada level ini. Apalagi jika hidup di keramaian, dan dalam suasana kerja. Sudah pasti kita bicara. Karena itulah Nabi sampai mengungsi ke Gua Hirak, untuk menarik diri dari kerumunan, sekaligus berpuasa dan tidak bicara. Itu terjadi sebelum Beliau menerima wahyu. Sampai menjelang wafat juga begitu. Baginda saw tidak terlalu menghabiskan waktu di masjid dan keramaian. Diriwayatkan, cuma tiga malam saja di masjid. Selebihnya menyendiri di rumah.
Tentu ini sudah berbentuk amalan khusus. Mau banyak bicara pun selama puasa, silakan saja. Tidak dilarang. Apalagi sekarang, bagi para dai, bulan puasa menjadi ladang untuk banyak-banyak bicara. Entah karena unsur bisnisnya. Entah karena motivasi dakwahnya. Padahal, kalau mau beramal secara khusus, kurangi ceramahnya. Perbanyak diam. Kapan lagi kita belajar diam, kalau bukan di bulan Ramadhan.
Terkadang kita berpikir, berdakwah itu dengan cara banyak ngomong. Padahal, diam juga ibadah’ tapi jarang dipraktikkan. Bagi jamaah juga begitu. Cara memperoleh pengetahuan bukan hanya dengan banyak mendengar ceramah. Ilmu juga bisa diperoleh dengan tidak mendengar apapun.
Ada yang namanya “creative silent”, sesuatu yang dipraktikkan secara khas dalam tradisi suluk (khalwat). Ada cara diam, dimana Anda tidak berbicara dan mendengar selama periode tertentu. Dalam periode “wukuf” tersebut, jika Anda cukup sensitif, akan hadir aneka pengetahuan melalui “indera bashirah”. Ada telinga lain dalam diri kita, yang jika kita mampu mendiamkan diri, dia akan teraktivasi untuk mendengar informasi-informasi yang bersumber dari frekuensi yang Maha Tinggi. Juga ada lisan batiniah dalam diri kita yang mampu berkomunikasi dengan aneka wujud suci, ketika mulut kita terkunci selama periode tertentu.
Ada yang membantah, bukankah berceramah menyampaikan kebaikan selama Ramadhan itu baik? Iya, sangat baik. Tidak hanya selama Ramadhan, di luar Ramadhan juga begitu. Tidak dilarang berceramah, kapanpun bisa.
Namun sekali lagi, kalau bukan selama Ramadhan kita belajar mengurangi bicara, lalu kapan lagi? Jangan selalu berpikir bahwa bicara itu bagus. Justru terkadang diam itu “emas”. Banyak bicara justru membuat spiritual kita bocor. Konon lagi, yang bicara bukan Tuhan dalam diri kita. Melainkan ego kita.
Bahkan informasi yang hari ini beredar di gadget kita, mungkin 90℅-nya adalah sampah. Anda harus sering-sering menutup mata dan menyegel telinga, kalau ingin selamat. “Noise” ada dimana-mana. Info yang masuk ke WA, sebagian besar adalah kebohongan. Karena itu, kaum sufi sering memilih diam, menutup mata dan telinga. Itulah riyadhah diam (iktikaf) yang sebisa mungkin harus dilatih selama bulan Ramadhan. Jadi, bukan hanya bicara kotor yang harus dikurangi. Bicara baik pun harus dikurangi selama puasa.
Sebenarnya ada tujuan lain yang lebih tinggi daripada sekedar menutup telinga dan mengurangi bicara dalam bulan suci. Seperti dikatakan Rumi:
“Silence is the language of God. All else is poor translation” (Diam adalah bahasanya Tuhan. Bahasa selain itu pasti susah untuk diterjemahkan). “Listen to silence, it has so much to say” (Dengarkan keheningan, ada banyak hal yang ia sampaikan). “Silence is the root of everything. If you spiral into its void, a hundred voices will thunder messages you long to hear” (Diam adalah akar dari segalanya. Jika kamu berjalan menuju kehampaan, akan ada ratusan suara yang akan meledakkan pesan-pesan panjang untuk kamu dengarkan).
Begini. Kalau kita menyadari bahwa bulan suci adalah bulan kehadiran Tuhan, kita pasti akan diam. Tidak mungkin saat hadir kehadapan-Nya, kita justru memperbanyak bicara. Bulan puasa adalah bulan Dia. Bulan kita bertamu ke rumah-Nya. Oleh sebab itu, perbanyak muhasabah dan refleksi. Kurangi bicara. Atau silakan bicara, tapi hanya dengan Dia.
Penutup
Kalau kita kembali ke ayat-ayat tentang puasa (Al-Baqarah: 183-188, juga Maryam 26), puasa adalah ibadah untuk “menahan diri” dari makan, minum dan bicara. Jika ini bisa dilakukan, maka diujung proses ini seseorang akan berjumpa dengan Tuhannya. Bukankah salah satu kebahagian orang berpuasa adalah saat berbuka dan saat “berjumpa” Tuhannya (hadis). Hadis ini sangat simbolik, menggambarkan bagaimana puasa bisa membawa manusia dekat dengan Tuhan: “Fainni qariib” (QS. Al-Baqarah: 186). Itu akan terjadi kalau puasa diupgrade ke level khusus. Salah satunya adalah dengan tidak makan dan tidak minum; serta mempraktikkan art of silence (tidak bicara).
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on “PUASA, KURANGI BICARA”