UJI KOMPETENSI AL-QUR’AN

Bagikan:

Dok. MODUSACEH.CO

Bagikan:
Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.45 | September 2024

UJI KOMPETENSI AL-QUR’AN
Oleh Said Muniruddin

Bismillahirrahmanirrahim

USIA 7 tahun saya sudah bisa mengaji Qur’an besar. Mungkin usia 8 atau 9 tahun baru pas tajwid dan makhraj hurufnya. Itupun setelah punggung saya merah lebam setelah beberapa kali kena pukulan rotan Teungku Yusuf dan pembantunya Tgk. Sulaiman; di Dayah Babussalam, desa Lameue, Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, Aceh.

Praktis sampai tamat SD, selama 6 tahun mengaji, saya sudah membaca sejumlah kitab-kitab standar dayah tradisional salafi. Sebelumnya, Qur’an “kecil” diajarkan di rumah, oleh beberapa guru dari kalangan keluarga, termasuk oleh ibu saya sendiri. Waktu itu masih menggunakan metode Baghdadi. Belum ada Iqra-nya.

Sejak SMP, sekitar tahun 1994, saya dihijrahkan ke Banda Aceh. Konflik RI-GAM membuat suasana di kampung tidak kondusif. Di Banda Aceh, saya mulai belajar irama, di belakang Masjid Raya. Disitu saya baru tau, “Oooo.. begitu rupanya cara mengaji beralun-alun”.

Suatu ketika, diadakan MTQ tingkat desa Lampulo. Ketika SMP saya sempat tinggal disana. Kepala dusun memaksa saya untuk ikut lomba tilawah tingkat anak-anak. Mungkin karena dianggap saya paling bagus mengaji waktu bulan ramadhan di meunasah setempat. Pak Dusun ini gak tau dia, saya cuma bagus mengaji kalau saling rebutan mic. Kalau suruh duduk dipanggung sendiri, bisa mati saya.

Betulan terjadi. Beberapa hari sebelum lomba, panitia memberikan ayat. Tanpa guru dan pelatih, mulailah saya mengkhayal untuk membaca ayat demi ayat, dari satu irama ke irama lainnya. Mulai dari irama klasik, jazz, country, pop, blues, slow rock sampai ke hard rock. Mana ada nama irama mengaji begitu. Maksudnya bayyati, allegro hijaz, shaba, rost, jiharkah, sika dan nahawand.

Alhasil, selama berada dipanggung MTQ, tak satupun irama itu keluar. Yang keluar, dari pertama sampai akhir, dangdut semua. Saya sempat lirik ke arah juri, semua tersenyum. Dari tiga dewan juri, terlihat tak satupun lagi memegang pulpen untuk menilai saya mengaji. Kalau dipanggung Indonesian idol, ini semacam hiburan. Bukan bagian kompetisi. Mati aku!

Sejak saat itu, saya tutup buku untuk menjadi qari. Tapi mulai dipaksa lagi oleh ayah/waled (alm. Said Ali Abdullah) untuk berlatih kaligrafi. Waktu itu, Aceh masih reguler membuat Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Selalu ada lomba kaligrafinya. Tapi minim pesertanya. Saya ikut. Selalu menang. Juga di arena MTQ lainnya. Ternyata nasib baik saya ada di Khattil Qur’an, sampai dikemudian hari ikut menjadi pelatih dan juri di bidang seni tulis Qur’an ini.

***

Sejak bisa mengaji, fanatisme saya terhadap Qur’an sangat tinggi. Apalagi ketika mendengar doktrin-doktrin, “Siapa yang bisa membaca Qur’an dipastikan masuk surga”, begitu katanya. Tidak tau juga saya, kata siapa itu. Tapi bagi anak-anak, itu masuk betul ke alam bawah sadar. Ditambah dogma-dogma lain, “Yang menguasai Qur’an akan menjadi pemimpin dunia”, dan sebagainya.

Pada usia 20an saya punya kesempatan melakukan perjalanan ke berbagai negara, khususnya Eropa. Apakah untuk tujuan pendidikan, training, leadership exchange dan agenda personal lainnya. Saya ke Australia, Inggris, Norwegia, Wales, Skotlandia, Belanda, Belgia, Perancis, Andora, Spanyol, German, Luxembourg, Swiss, Austria, Swedia, Italia, China, Singapura dan beberapa negara asia lainnya.

“Orang-orang ini gak ada yang bisa baca Qur’an, tapi kok maju sekali ya?”, saya membatin. Doktrin-doktrin yang menyatakan bahwa Qur’an lah yang membuat kita maju seperti terbantahkan dengan bukti-bukti empiris yang ada di depan mata. “Negara-negara ini kok bersih, tertib dan sejahtera; padahal gak pernah dilatih baca Qur’annya”, pikir saya.

***

Belakangan baru saya tau. Ternyata, mereka maju karena pakek otak. Selama otak di pakai, kita pasti maju. Kalau otak tidak dipakai, kita pasti tidak maju.

Begini. Kalau polisi ada otak, pasti tidak akan menerima suap. Kalau hakim, jaksa dan pengacara ada otak, pasti hanya mendedikasikan hidupnya untuk membela yang benar, bukan yang bayar. Kalau ASN ada otak, pasti tidak akan melakukan penipuan dalam tata kelola. Kalau kita ada otak, kita tidak akan mengambil uang, kecuali yang secara hukum sudah menjadi hak kita. Begitu tidak ada otak, semua mata anggaran menjadi punya kita.

Pun kalau rakyat ada otak, pasti tidak akan melanggar lalu lintas. Anda bisa melihat, di beberapa daerah, rakyatnya sudah punya otak. Tertib dan sopan sekali di jalan. Di tempat saya, masih mengerikan sekali. Termasuk saya, sesekali masih melanggar aturan. Artinya, sesekali masih kehilangan otak.

Juga coba periksa berapa banyak masjid dan pesantren disekitar Anda yang masih jorok. Bukan karena jamaah dan santrinya kurang mengaji. Tapi mungkin masih kurang kesadarannya terkait kebersihan. Pelanggaran, kekacauan dan keburukan terjadi bukan karena tidak bisa mengaji kitab suci tertentu. Melainkan karena kita belum menggunakan potensi dan kesadaran otak secara baik. Sesuatu yang belakang oleh para ahli neuro-science sebagai subconscious mind. Ada bentuk-bentuk kesadaran yang lebih dalam yang belum muncul dai relung otak. Mirip otak binatang. Otaknya ada, tapi kesadarannya tidak ada. Maunya selalu menang dengan memby-pass semua adab dan aturan yang ada.

***

Percayalah, sebenarnya kita tidak butuh Qur’an, apalagi ahli dalam membacanya. Kita hanya butuh otak (shudur/kesadaran) agar bisa hidup sebagai manusia. Dalam Islam, syarat menjadi manusia adalah “berakal”. Dalam bahasa Aceh disebut “beu na utak”. Seseorang baru disebut manusia, ketika hidup dimensi “natiq”, atau akal-rasionalnya. Ketika itu tidak ada, jadi binatang semua kita. Dhalim, kotor dan koruptif.

Sudah didakwahkan oleh para filsuf sejak era Yunani, rasionalitas (dimensi maknawi dari otak) adalah salah satu alat epistemologi untuk mencapai kebenaran. Karena itu, agama dan bahkan Qur’an sekalipun ditujukan untuk orang-orang yang punya otak (orang-orang berakal dan mampu berpikir secara benar – afala ta’qilun). Tanpa kontrol nalar yang benar, semua prinsip yang benar akan diselewengkan. Melihat agamis sekaligus koruptifnya Indonesia, kita mirip sebuah bangsa yang punya banyak kitab suci, tapi kehilangan otak.

Jadi, itulah fenomena rasionalisme di negara maju. Mereka memakai otak, tidak memakai kitab. Artinya, kita pun bisa begitu. Kalau Anda tidak mau memakai Qur’an, Injil, Tripitaka, Zabur atau Weda; pakailah otak. Kalau ingin maju.

Lalu, apakah kita tidak butuh Qur’an?

Sebagai warga kampus, kami diajarkan, selain harus punya kemampuan berfikir rasional sebagai fondasi hukum dalam dunia akademik, kita harus memiliki teori, dalil atau referensi ilmiah sebagai pendukung dalam berpikir.

Disinilah kemudian Qur’an menempati posisi paling sentral dalam Islam. Islam adalah agama ilmiah. Islam butuh referensi ilmiah, yaitu Qur’an. Sebab, ia merupakan dokumen teoritis bernilai “ilahi”. Kebenaran informasinya mutlak. Segala case hukum dan peristiwa, paling tidak dapat dicari rujukan pemecahan awalnya dalam dokumen suci ini.

Sebuah bangsa yang maju dan beradab adalah bangsa yang pada level teoritis memiliki literatur suci terhadap segala sesuatu. Terkadang pikiran manusia memiliki limit untuk mengakses petunjuk dan kebenaran pada level tertinggi. Karena itu dibutuhkan pesan-pesan dari Tuhan untuk mendampingi proses berpikir kreatif manusia.

Disinilah kemudian dibutuhkan kemampuan untuk membaca ayat Tuhan. Tidak hanya itu, juga kemampuan untuk menerjemahkannya. Bahkan secara aksiologis, bagaimana metode atau cara mengimplementasikannya. Kerena dinamika pemahaman dan kontekstualisasi terhadap ayat, pada level ini kemudian melahirkan banyak “school of thought” (mazhabs). Dalam dunia akademik, itu sesuatu yang biasa.

Jadi, dengan mereferensikan hidup kepada dalil-dalil Qur’ani, kita membangun “relasi” dengan Tuhan. Tapi, ada satu fungsi maha penting lagi dari Qur’an, yang manfaatnya melampaui sekedar membangun “relasi”. Qur’an adalah juga rumus-rumus metafisika (esensi-esensi yang mutasyabihat). Siapapun yang bisa mengungkap dan menemukan metode simulasinya, ia bisa “terkoneksi” secara langsung dengan Allah SWT.

Itulah mukjizat sesungguhnya dari Qur’an. Power terbesar diperoleh ketika seseorang mampu men-decode sebuah ayat, sehingga bisa disimulasikan menjadi sebuah sumber energi yang maha besar. Yaitu energi yang dapat menghidupkan, menyembuhkan, mencerdaskan, menerangkan, membedakan, meledakkan, menghancurkan, menenggelamkan, mematikan dan sebagainya.

Bayangkan, di depan Anda ada selembar kertas tertulis E=MC2. Apakah rumus ini akan berguna kalau hanya sekedar Anda hafal dan baca-baca saja? Ya, mungkin pada level tertentu sangat berguna. Paling tidak orang-orang akan tau Andalah orang paling hafal rumus Einstein. Apalagi ada lomba (MTQ) untuk membaca rumus-rumus ini. Anda akan kelihatan keren kalau mampu memenangkannya.

Tapi, secara hakikat, Anda sebenarnya seperti orang bodoh. Sebab, rumus itu bukan untuk dibaca ataupun dihafal. Melainkan untuk diamalkan. Rumus itu adalah sebuah “summary” atau kode rahasia yang bertujuan agar Anda mampu menciptakan bom atom, nuklir dan lainnya. Tidak ada mukjizat yang lahir kalau rumus itu hanya sekedar untuk dibaca atau dihafal.

Untuk mencapai level mukjizat, ayat-ayat atau rumus-rumus metafisika ini harus dibawa ke pusat-pusat inkubasi energi. Ke tempat zikir, suluk, meditasi, puncak Sinai, atau gua Hirak. Ayat-ayat ini bisa diubah dari wujud teks (bacaan/kalimat); untuk kembali menjadi Energi (Kalimah). Sebab, wujud ayat yang pertama turun kepada para nabi, itu berbentuk “Energi” (mukjizat). Yang sampai ke kita sudah berwujud “materi”, telah tereduksi powernya.

Jadi, pekerjaan untuk kembali ke Qur’an yang azali (qadim); itu sebenarnya bukan sekedar mampu membaca, menghafal atau menafsirkan Qur’an saja. Melainkan bagaimana mengubah semua bacaan, hafalan dan tafsiran kita kebali menjadi mukjizat ilahi (Energi). Ketika itu terjadi, maka seluruh tubuh kita telah teraliri atau terinternalisasi dengan Kalimah atau Ruh Al-Ilahi. Pada level ini, Qur’an sudah sudah ada dalam diri kita, bukan di lembaran kertas lagi. Bahkan pada titik ini, otak Anda telah menjadi ‘arasy tempat Tuhan berpikir. Yang berpikir bukan Anda, melainkan Tuhan. Yang melempar bukan Anda, melainkan Tuhan. Yang bekerja bukan lagi Anda, tapi Tuhan.

***

Study “Neuro-science” menjelaskan hal serupa. Ada gelombang dalam diri manusia yang bisa mencapai level metafisika yang sangat tinggi. Jika otak pada level gelombang awal (Beta Wave) bisa membangun kesadaran dan peradaban pada tingkatan yang rasional, maka gelombang atas sadar (Gamma Wave) justru dapat menghubungkan Anda dengan aneka kesadaran Tuhan. Qur’an yang penuh mukjizat, yang dapat menghadirkan energi malaikat, itu terjadi pada saat dibaca pada level gelombang yang tinggi ini. Ada metodologi dan pelajaran khusus untuk masuk dalam aneka spektrum energi Ilahi ini. Para guru sufi paling menguasai metode khas dunia spiritual ini.

Nabi Muhammad dan kawan-kawannya telah membuktikan bagaimana kekuatan metafisika dari Qur’an membuatnya bisa memenangkan jihad selama 22 tahun. Secara rasional ia kelihatan akan kalah. Tapi ia bisa tampil dari “zero” menjadi “hero”, dengan legacy yang mengagumkan. Ribuan malaikat hadir membantunya.

Pada level fisika, kekuatan teks Qur’an yang ditinggalkan Muhammad SAW juga bisa dibuat menjadi sebuah bangunan peradaban baru. Sekitar 200 tahun setelah Muhammad SAW, bermunculan para ahli dan pemikir dalam dunia Islam, dengan metodologi saintifik tertentu, mereka mulai membongkar ayat dan mengubahnya satu persatu menjadi aneka ragam temuan dalam berbagai bidang pengetahuan (filsafat, matematika, kimia, fisika, kedokteran, dsb). Kalau ayat hanya untuk dihafal dan baca-baca, mungkin kita tidak pernah menguasai dunia. Tapi kejeniusan otak para ilmuan klasik Islam ini telah berhasil membawa Qur’an dan peradaban kita pada level berbeda.

***

Merujuk ke Taksonomi Bloom terkait tujuan pendidikan, kemampuan bisa “membaca” itu level kecerdasan kognitifnya rendah sekali. Level cerdas paling rendah adalah bisa membaca. Level tertingginya adalah kemampuan meng-“create” bahan bacaan sehingga menjadi sebuah energi maha dahsyat yang membawa kemajuan baru bagi manusia.

Para nabi, melalui metodologi metafisika tertentu, mampu mensimulasikan lahirnya aneka mukjizat. Para saintis juga sama, dengan metode saintifik tertentu, semua bahan bacaan yang mereka terima dari sang Nabi bisa diubah menjadi energi bagi pengembangan sains dan teknologi. Ada energi yang diolah dengan mesin otak (alam fisika). Ada kekuatan yang dihasilkan dengan mesin Ruh (metafisika).

Singkatnya begini. Kalau Anda menemukan Ada seseorang yang mampu menciptakan perubahan, mampu memberi motivasi dan membuat masyarakat menjadi lebih adil dan makmur, itu pertanda bahwa ada (Energi) Qur’an bersamanya. Walaupun ia secara literal tidak fasih membaca Qur’an. Sebaliknya, walaupun bacaan Qur’annya bagus sekali, tapi pembangunan dibuatnya stagnan dan bahkan mundur kebelakang, itu pertanda tidak ada (Energi) Qur’an bersamanya.

Penutup

Kita bisa melakukan uji kompetensi Qur’an pada semua tingkatan masyarakat.

Sebenarnya, kemampuan “membaca” Qur’an itu cocok ditujukan untuk anak-anak. Tidak ada hebatnya itu. Itu basic sekali. Itu hanya uji test kemampuan kognitif tingkat paling dasar. Kemudian, untuk seorang birokrat dan saintis, uji kompetensi Qur’an dilakukan pada tingkatan intermediate. Yaitu berupa berupa kemampuannya menciptakan perubahan teknokratis di tengah masyarakat. Sementara, uji kompetensi tingkat advance dapat dilakukan utuk para ulama, guna melihat kekuatan metafisis (mukjizat/karamah) dari setiap bacaannya.

Percayalah. Kita semua masih punya masalah terkait kompetensi Qurani pada level masing-masing. Tidak usah mentertawakan orang. Semua harus berbenah. Kita berharap, ke depan lahir para pemimpin, ulama dan intelektual yang tidak hanya mampu membaca, tapi juga membawa Energi Qur’an di tengah masyarakatnya.

Tapi tidak usahlah muluk-muluk mengharap hadir pemimpin yang Qurani, susah itu. Punya otak aja, sudah maju kita. Kita rakyat juga begitu. Jangan berharap sekali untuk menjadi islami. Susah sekali. Punya otak aja, akan sangat berarti.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

KEGENITAN SPIRITUAL

Mon Sep 9 , 2024
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.