AMPUNI DIRIMU, MAKA TUHAN AKAN MENGAMPUNIMU

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.15 | Agustus 2025

AMPUNI DIRIMU, MAKA TUHAN AKAN MENGAMPUNIMU
Oleh Said Muniruddin | Rector Suficademic

Bismillahirrahmanirrahim.

Mana lebih mulia, “meminta” maaf, atau “memberi” maaf?

Dari kata-katanya saja sudah jelas. “Memberi” lebih mulia daripada “meminta”. Memberi itu posisi “tangan di atas”. Sedangkan meminta posisi “tangan di bawah”. Pemberi maaf biasanya menjadi korban. Sudah jadi korban, lalu mau memaafkan. Itu mulia sekali.

Kalau disimulasikan dalam hubungannya dengan Tuhan, tugas kita “meminta” maaf. Karena kita mengkhianati Tuhan. Lalu sifatnya Tuhan untuk “memberi” maaf. Dalam hal ini, Tuhan lebih mulia. Sebab, Dia pemberi maaf.

Jadi, memberi maaf posisinya lebih mulia. Karena sifatnya “memberi”. Bukan “meminta”. Apalagi bisa memberi, sebelum diminta.

***

Sebagai hamba, posisi kita ada di bawah. Penuh dosa. Tugas seorang hamba adalah terus menerus “meminta” maaf. Sudah berani meminta maaf, itu juga sudah mulia. Sebab, berani meminta maaf menjadi indikasi bahwa kita sadar sedang kekurangan, sedang banyak kesalahan.

Namun, Tuhan akan memaafkan kalau kita juga memaafkan diri kita sendiri. Maksudnya, untuk memperoleh maaf dari Tuhan, kita harus terlebih dahulu memaafkan diri sendiri.

Dosa membuat kita tertekan secara emosional. Dosa dan kesalahan meninggalkan jejak memori di alam bawah sadar. Karenanya, segala emosi negatif ini harus dilepas. Harus dibersihkan. Harus dimaafkan.

Dengan dimaafkan, dia jadi hilang. Dengan hilang, “program” buruk yang sebelumnya menempel dalam pikiran bawah sadar ikut hilang. Artinya, ketika “program” ini hilang, maka tidak ada lagi pattern untuk terus dikenang, atau untuk terus diulang.

Itulah mengapa, permohonan maaf harus disertai dengan janji tidak mengulang. Itulah metode “penghapusan”. Selama memori jahat masih ada, kemungkinan berulang tetap ada.

Tugas terberat kita sebenarnya bukan “meminta” maaf kepada Tuhan. Melainkan bagaimana cara kita “memaafkan” diri kita sendiri. Pekerjaan paling menantang adalah bagaimana cara menghapus tabiat, memori dan emosi buruk yang menempel dalam jiwa. Ketika kita sudah mampu memaafkan diri, sudah hilang memori jahatnya, baru kemudian turun keampunan dari Tuhan. Biasanya setelah itu baru “plong” pikiran.

Seperti firman Allah:

وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“… Dan jika kamu memaafkan, mengabaikan, dan mengampuni, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang” (QS. At-Taghabun: 14)

***

Jadi, tugas kita meminta ampun (maaf) kepada Tuhan. Tapi ada syaratnya. Kita harus terlebih dahulu memaafkan, melepaskan, dan mengampuni diri kita sendiri. Baru kemudian akan dimaafkan, diampuni oleh Tuhan.

Keampunan Tuhan adalah sesuatu yang secara “otomatis” diperoleh setelah kita mengampuni diri kita sendiri. Mengampuni diri berarti bekerja menghilangkan semua noda, nista, memori, tabiat atau perilaku yang telah membuat kita menderita.

Ingat, “diri” kita ada dua. Pertama, diri “luar”. Kedua, diri “dalam”. Diri luar adalah fisik, lisan dan conscious mind (pikiran sadar) kita. Itulah anggota tubuh yang tertuduh sebagai pelaku dosa. Dialah yang bekerja untuk “meminta” maaf.

Sedangkan diri “dalam” adalah subconscious mind (pikiran bawah sadar) kita. Bahkan superconscious mind (pikiran atas sadar atau ruhani) kita. Dialah yang bekerja untuk “memberi” maaf kepada kita.

Manusia adalah makhluk dua dimensi. Disatu sisi bekerja untuk “minta” ampun. Disisi lain juga bisa bekerja untuk “memberi” ampun bagi dirinya sendiri.

Tradisi sufistik, lewat metode tariqahnya mengajari kita cara masuk ke alam ruhani guna mengampuni diri sendiri. Apalagi ketika alam ruhani kita sudah terkoneksi dengan sanad ruhani dari sumber-sumber yang Maha Suci, tentu akan lebih cepat proses pemulihan atau pemaafan diri.

Artinya, kalau unsur “diri” kita sudah terhubung dengan “Diri” yang lebih tinggi (ruhani para wali/nabi), otomatis keampunan Tuhan cepat diperoleh. Hanya istighfar nabi yang bisa total mengampuni kita. Sebab, pada hakikatnya, yang mengampuni itu adalah Allah, via Rasulnya (QS. Annisa’: 65). Bukan kita. Meskipun prosesnya kita lakukan lewat metode menyelami diri kita sendiri. Lewat istighfar dan zikir.

Disinilah kemudian berlaku hukum “siapa yang mengenali Diri akan mengenal Tuhannya”. Siapa yang bisa memaafkan diri akan mendapat maaf dari Tuhannya. Siapa yang bisa menyelami Diri akan memperoleh keampunan dari Tuhannya. Kabar baiknya, kita masih bisa “mendatangi” Nabi untuk terus menerus meminta maaf. Sebab, ruhaninya masih hidup dan abadi disepanjang zaman dan tempat. Ada teknik-teknik ruhani untuk menemui dan meminta ampun kepada Nabi:

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُوٓا۟ أَنفُسَهُمْ جَآءُوكَ فَٱسْتَغْفَرُوا۟ ٱللَّهَ وَٱسْتَغْفَرَ لَهُمُ ٱلرَّسُولُ لَوَجَدُوا۟ ٱللَّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Dan sesungguhnya, ketika mereka menganiaya diri mereka sendiri, lalu datang kepadamu, lalu mereka memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka akan mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Annisa’: 64)

***

Surah At-Taghabun 14, atau ayat-ayat “memaafkan” lainnya sering dipakai untuk memahami, bahwa kita diajarkan untuk memaafkan musuh, orang-orang bersalah atau mereka yang berseberangan dengan kita. Di ayat ini malah disebutkan, musuh kita adalah istri dan anak-anak kita. Bukan hanya istri, seorang suami juga bisa menjadi musuh bagi istri:

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka, berhati-hatilah kamu terhadap mereka. Jika kamu memaafkan, menyantuni, dan mengampuni (mereka), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. At-Taghabun: 14).

Semua elemen kejiwaan seperti iri, dengki, fitnah, khianat, dan sifat-sifat aniaya lainnya; secara maknawi adalah ‘istri’ dan ‘anak-anak’ kita -yang secara emosional telah kita pelihara dan begitu melekat dalam emosi kita. Allah akan mengampuni, kalau kita sudah memaafkan atau menghilangkan semua elemen kejiwaan yang buruk itu.

Dalam tradisi sufistik tertentu, surah Alkafirun selalu dibaca setiap melaksanakan shalat taubat. “Kafir” itu bukan hanya kelompok eksternal yang berbeda keyakinan dengan kita. Kafir itu diri kita sendiri. Semua unsur kufur dalam diri kita adalah “kafir”. Shalat taubat dilakukan untuk meminta maaf, melepaskan dan memohon ampun dari semua anasir negatif ini.

Derita lain yang kita alami terjadi akibat faktor eksternal. Misalnya ada orang yang pernah menyakiti kita. Sehingga muncul dendam atau trauma. Pelakunya bisa jadi orang tua, saudara, kolega dan lainnya. Termasuk juga istri dan anak-anak kita. Sering mereka semua menjadi musuh kita. Lalu timbul rasa marah dan sakit hati yang menahun dalam diri kita.

Semua pengalaman ini merupakan energi, yang menjelma menjadi “diri” kita. Menjadi memori. Menjadi emosi. Menjadi “data” atau “program” di alam bawah sadar kita. Selama jejak ‘digital’ ini masih ada dalam kesadaran, hidup kita akan terus menderita.

Kita tidak mungkin menunggu, atau berharap orang-orang yang melukai kita datang untuk meminta maaf. Mungkin mereka sudah mati, tak mungkin datang untuk minta maaf lagi. Kalaupun masih hidup, belum tentu mereka merasa bersalah. Mungkin saja mereka merasa benar atas tindakan tersebut. Juga tidak etis sebenarnya kalau kita menuntut maaf dari orang.

Solusi terbaik, berilah ruang maaf kepada “diri” kita sendiri. Kita menjadi menderita justru karena telah menyediakan diri untuk terganggu. Lepaskan semua memori tersebut. Serahkan ke Tuhan. Release. Hapus. Sucikan. Bersihkan. Kosongkan. Lupakan. Ampuni. Jangan lupa senyum.

Karena itu, bahagia atau tidak hidup kita, tergantung pada “taslim”. Yaitu kemampuan untuk “berdamai” atau memaafkan diri sendiri. Segala sesuatu terhimpun dalam diri kita. Seluruh energi, buruk (fujur) atau baik (takwa), terhimpun dalam diri kita. Kita harus akui, itu semua ada. Selanjutnya bagaimana cara kita memahami pola kemunculan dan ‘berdamai’ dengan itu semua. Makna berdamai adalah menerima yang baik dan melepaskan yang buruk.

Penutup

Jadi, dialog “meminta” dan “memberi” maaf sebenarnya dialog batin. Dialog antara sifat kehambaan kita dengan ruhani kita sendiri. Antara kita dengan dimensi kenabian dan ketuhanan yang kita hadirkan dalam diri kita.

Ternyata, paling mudah bagi kita untuk secara sadar mengucap “maaf”. Tetapi sangat sulit untuk masuk ke alam bawah sadar guna “memaafkan” diri sendiri. Sehingga kebanyakan kita terus menderita dan sulit move on dari sesuatu. Lalu menjadi sulit bahagia dan maju.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Live and Love

Tue Aug 26 , 2025

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.