Jurnal Suficademic | Artikel No.16 | Agustus 2025
Forward Looking
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
SALAH satu penyebab seseorang susah maju adalah, karena “terperangkap” dimasa lalu. Trapped in the past. Akibatnya, susah move on.
Bagi orang-orang semacam ini, kehidupan idealnya ada di masa lalu. Jadi, kalau ingin maju, harus pasang “gigi mundur”.
Orang Aceh misalnya. Itu kuat sekali dengan romantika Iskandar Muda-nya. Sedikit-sedikit, Iskandar Muda. Kalau ingin maju, kembalikan Aceh ke zaman itu. Ke 400 tahun lalu. Padahal zaman itu jalan belum beraspal. Internet tidak ada. Listrik juga begitu. Kemana-mana masih naik kuda dan lembu.
Kita semua punya masa lalu. Punya leluhur. Punya situs. Tapi dalam konteks innovation and development kita tidak boleh kembali kesana. Kita harus maju ke depan.
Dari sisi nilai-nilai, iya. Kita semua memang terbentuk dari kesadaran kolektif masa lalu. Silakan ambil pelajaran dan pesan moral dari masa lalu. Masa lalu adalah knowledge foundation untuk mendisain masa depan.
We live in the “now”. Kita hidup dimasa “sekarang”. Satu-satunya arah yang pasti adalah “ke depan”. Karena itu, kita harus belajar membangun imajinasi tentang masa depan. Ambil gambar-gambar masa lalu, untuk meracik kembali arsitektur masa depan.
***
Orang frustasi cenderung melihat ke “belakang”. Sedangkan orang optimis, pandangannya tertuju ke “depan”.
Memang sulit melihat masa depan. Karena belum kejadian. Disinilah dibutuhkan visi kreatif, kemampuan melihat apa yang belum terjadi. Sesuatu harus bisa dilihat dalam mimpi, sebelum itu diwujudkan.
Bangsa yang terjebak dengan masa lalu adalah bangsa yang kehilangan visi. Kehilangan imajinasi. Bangsa semacam ini suka meniru. Atau suka mengulang-ulang apa yang orang omongkan. Karena tidak punya sesuatu yang baru. Tidak ada novelty.
***
Sebenarnya, kalau masa lalu dijadikan sebagai arah tujuan, kelompok relijius seperti Islam harus kembali kemasa Nabi. Atau masa sahabat. Tapi tidak boleh. Tetap harus forward looking.
Karena, Nabi sendiri membangun konsep “Al-mahdi”. Al-mahdi adalah figur sempurna di masa depan. Jadi, untuk sempurna, kita semua harus bergerak ke “masa depan”. Bukan ke masa lalu. Sebutlah masa lalu kita begitu indah untuk diceritakan. Tapi masa depan sedang menawarkan cerita yang tak kalah indah.
Hal serupa juga terjadi terhadap Isa, yang dipercaya sebagai “Al-masih” (Mesiah). Konon menurut riwayat, ia akan “turun” kembali. Makna turun disini dipahami beragam. Ada yang percaya orang yang sama akan muncul lagi. Atau orang yang memiliki kesamaan ruh dan karakter dengannya akan muncul lagi.
Memang, “Al-mahdi” itu katanya keturunan Nabi. Ada yang percaya keturunan secara “genetik”. Ada juga yang menganggapnya keturunan secara “ideologik”. Setidaknya, figur ini ada link dengan masa lalu. Sosok ini mewarisi masa lalu. Dia tidak terputus dengan wisdom para pendahulu. Tapi dia itu “masa depan”, yang menjanjikan. Yang penuh kemajuan, keadilan, kebijaksanaan, dan kesejahteraan.
“Al-Mahdi” adalah konsep forward looking dalam Islam. Seolah-olah ada harapan. Bahwa selalu ada ‘nabi’ dimasa depan. Selalu ada kesempurnaan Islam disepanjang zaman. Islam itu sempurna, dan akan terus melahirkan manusia sempurna.
Bahkan Yesus sendiri, walaupun telah menjadi sosok paling agung di zamannya, masih punya harapan untuk masa depan. Ia percaya akan muncul seseorang yang bernama “Ahmad”. Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad Namun ketika Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, “Ini adalah sihir yang nyata” (QS. As-Shaff: 6). Orang sesempurna Yesus pun masih punya sikap forward looking. Visinya besar sekali.
Konsep mahdiisme hanya ingin memberikan arahan kepada kita, bahwa ada para “pemberi petunjuk” (huda/mahdi) yang hadir disepanjang zaman. Konsep ini memberi pesan kepada kita untuk punya kemampuan melihat melampaui diri kita sendiri. Kita jangan terlalu melihat diri kita sebagai paling hebat. Bahwa ada orang-orang terbaik, mungkin saja suci, yang ada di luar sana. Mungkin saja tersembunyi. Boleh jadi mereka itu pemimpin, politisi, birokrat, pedagang, ataupun ulama. Menemukan kebenaran dalam wujud orang, itu lebih bermakna daripada sekedar memiliki kitab-kitab tentang kebenaran.
Kita tidak perlu juga terlalu sibuk mencari Al-mahdi, atau menunggu Isa “turun”. Sibukkan diri dengan membangun dan memperbaiki diri. Karena masa depan akan mencari orang-orang berkarakter seperti itu. Like attracts like. Al-mahdi dan Mesiah pasti bersama orang-orang yang mulia dan progresif. Bukan dengan kelompok pragmatis dan putus asa.
Sebenarnya tidak perlu turun Imam Mahdi dan Nabi Isa. Sudah turun Ali Khamenei dan Vladimir Putin pun, dunia sudah mulai membaik. Sudah ada poros yang berani menentang Dajjal.
***
Coba lihat Iran. Eks imperium Persia ini termasuk negara yang paling kuat keyakinannya kepada Al-mahdi. Kita sangka, yang percaya konsep-konsep semacam ini termasuk bangsa putus asa. Ternyata tidak. Iran cukup maju dengan belief system yang sebagian orang menganggapnya sangat tradisional itu.
Khususnya dibawah kepemimpinan sosok sederhana Sayyid Ali Khamenei, Iran percaya pada kesempurnaan “masa depan”. Iran sejauh ini telah menjadi negara Islam yang paling advance bidang spiritual, sains dan filosofi. Walaupun 40 tahun lebih ditekan oleh imperialisme global; mereka terus bergerak menjadi negara penuh inovasi, sekaligus telah menunjukkan humanismenya bagi kita sekarang.
Bandingkan dengan negara-negara barat yang kita anggap sangat maju sekarang. Rata-rata ikut menjadi pelaku dan pendukung genosida di Gaza. Itu bukan bangsa masa depan. Amerika sendiri secara moral sedang mengalami keruntuhan.
Tentu negara seperti Iran ini sangat menakutkan bagi Israel. Israel ingin semua negara Arab, mungkin seluruh dunia dan negara yang dia pengaruhi, tetap berada di masa lalu. Sementara dia sendiri punya visi masa depan yang barbarian. Sejauh ini, dalam dua tahun terakhir kepemimpinan Netanyahu, mereka telah melakukan genosida, membunuh lebih dari 60 ribu manusia, dalam aneksasi mewujudkan visi “tanah yang dijanjikan”.
Perang Iran dan Israel merupakan perang dua bangsa yang punya pandangan mesianik-futuristik yang sangat kuat. Keduanya mengakar pada tradisi dan relijiusitas masa lalu. Iran bergerak dengan memori yang dalam terhadap Nabi dan Ahlul Baitnya. Disain jihadnya sangat bermoral. Sangat sabar. Slogannya “pembebasan” kaum tertindas.
Sedangkan zionis mengakar pada tradisi Talmud dan halusinasi terhadap pembangunan kembali kuil Sulaiman. Tujuannya membentuk kembali peta kerajaan Sulaiman (“Israel Raya”) at all cost. Bila perlu dengan cara merampok. Termasuk dengan membasmi bangsa lain. Semangatnya itu. Semua sudah mengetahui. Seluruh dunia sudah melihatnya sendiri.
***
Kita tidak harus persis punya keimanan seperti Iran. Juga tidak harus brutal seperti Israel. Tapi bagaimana kita akan maju sebagai sebuah bangsa ketika tidak punya visi tentang masa depan? Apa hope Anda sebagai orang Aceh, atau sebagai bangsa Indonesia untuk masa depan? Seperti apa figur sumberdaya manusia dan posisi kawasan kita dimasa depan? Apa visi Anda sebagai sebuah bangsa?
Seandainya ada sesuatu yang besar yang akan terjadi, terwujud, dan lahir di Aceh atau Indonesia, kira-kira apa itu? Lupakan dulu cerita Majapahit dan Gajah Mada. Lupakan sejenak Iskandar Muda. Coba sekejab menatap dan merumuskan masa depan.
Anda harus punya semacam visi mesianik-futuristik untuk punya vibrasi dalam bergerak dan maju. Bangsa Anda harus menjadi Al-mahdi atau Mesiah, membawa misi amar makruf dan nahi munkar untuk era post kolonial dan postmodernis. Kalau tidak, Anda akan terus berputar-putar tanpa visi dimasa sekarang. Bahkan besar kemungkinan, Anda akan kembali ke masa lalu.
Kalau Anda melihat bagaimana negara-negara dan bangsa dunia diam dihadapan tragedi kemanusiaan di Palestina, itu sebenarnya gambaran alam bawah sadar mereka. Bahwa bangsa dan negara-negara dunia, mayoritas memang tidak punya visi spiritual tentang masa depan. Tentang kemanusiaan. Yang mereka cari mungkin hanya uang.
Pun pola konsumtif, korupsi dan inefisiensi yang terjadi di banyak negara. Penjabat hidup dengan tunjangan mewah, berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi rakyat. Itu sesuatu yang umum terjadi pada sebuah bangsa yang putus asa, yang tidak punya hope dan visi untuk masa depannya. Sebenarnya apa sih visi besar “forward looking” bangsa Indonesia, sehingga semua terlihat seperti sedang bekerja siang malam untuk merampok Republik ini pada posisi dan jabatan masing-masing?
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali muhammad.*****