Apakah Aceh ada Kemajuan setelah 100 Triliun Data Otsus Digunakan?

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.20 | September 2025

Apakah Aceh ada Kemajuan setelah 100 Triliun Dana Otsus Digunakan?
Oleh Said Muniruddin | Dosen FEB Universitas Syiah Kuala

KONON kabarnya, pak JK menyorot tata kelola Otsus di Aceh dari sisi ekonomi. Kok Aceh masih termiskin di Sumatera. Itu terjadi saat rapat dengar pendapat dengan Badan Legislasi DPR RI, membahas RUU tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintah Aceh (Kamis, 11/9/2025).

Hampir 20 tahun (2008-2025) Otsus berjalan. Tersisa 2 tahun lagi. Pertanyaannya, apakah ada kemajuan setelah 100 triliun data Otsus digunakan?

Jawabannya: ada, banyak!

Selama hampir dua dekade ini, secara umum, toko-toko telah dibangun. Warkop tumbuh. Resto-resto diresmikan. Cafee bermunculan. Hotel dan penginapan berdiri. Khususnya di Banda Aceh. Itu kentara sekali. Di daerah-daerah juga banyak begitu.

Berarti ada kemajuan pesat setelah hampir 20 tahun berlalu. Disamping terbangunnya sejumlah infrastruktur pendukung ekonomi lainnya. Meskipun tidak ada industrial megastructures yang bersifat monumental.

Hanya saja, perlu riset lebih lanjut. Pusat-pusat perputaran bisnis ini punya siapa. Curiga kita, mungkin 70 persen atau lebih bukan punya masyarakat. Bukan murni milik pebisnis swasta.

Melainkan milik pejabat yang punya akses dengan dana Otsus, aspirasi dan program penganggaran sejenisnya. Artinya, sektor-sektor memang ekonomi tumbuh. Tapi bukan ekonomi masyarakat. Melainkan ekonomi elit.

Coba perhatikan. Warung kopi misalnya. Kelihatannya bukan jenis usaha yang tumbuh dari kecil. Warkop di Aceh yang elit dan berkelas, rata-rata didirikan bukan oleh rakyat kecil yang berniat mencari uang.

Warkop semacam itu justru berdiri setelah seseorang banyak uang. Karena uang sudah terlalu banyak, tidak tau mau dibawa kemana, dibuatlah warung kopi. Warkop berdiri bukan karena motif bisnis. Tapi mirip motif ‘cuci uang.’ Bagus juga, karena ada yang dipekerjakan. Paling tidak timsesnya.

Warung-warung kopi kecil juga banyak. Biasanya tak bertahan lama. Bisnis kopi itu sudah “red ocean”. Bisnis berdarah-darah. Kompetitif. Bahkan banyak yang tak mampu menutupi biasa operasi. Jadi, tidak ada ekonomi yang tumbuh dengan bisnis warung kopi. Bagi rakyat kecil, itu hanya bisnis untuk sekedar tidak menganggur saja. Warung kopi besar justru dimiliki oleh owner yang sejak itu belum berdiri sudah kelebihan uang.

Karenanya, ekonomi di Aceh terlihat bukan ekonomi yang digerakkan sektor swasta. Tapi ekonomi berbau APBA. Ekonomi yang tumbuh hanya setelah cairnya APBA. Ekonominya pemilik APBA.

Saya kira itu fenomena nasional. Dari pusat sampai ke daerah, bisnis besar seperti hanya didominasi jaringan elit penguasa. Yang banyak beli tanah hanya wakil rakyatnya. Yang bertambah mewah rumah hanya sekelompok pengguna anggaran saja. Perkebunan tumbuh, tapi milik kadisnya. Milik gubernur dan bupatinya saja.

Disinilah kita mungkin perlu belajar ke negeri Cina. Bagaimana UMKM dan bisnisnya tumbuh pesat di level terbawah dari masyarakat. Bahkan tumbuh sampai besar. Sehingga ekonominya mengakar. Sehingga tidak ada demo-demo yang membakar rumah pejabat, seperti di tempat kita dan juga di Nepal. Sebab, rakyat benar-benar difasilitasi untuk tumbuh bisnisnya. Hati-hati, rakyat lagi hobi bakar-bakar.

Jadi, kalaupun Otsus harus ditambah 20 tahun lagi, tantangan terberat adalah bagaimana memastikan dananya bisa menumbuhkan ekonomi dan bisnis masyarakatnya. Tidak sekedar untuk memperkuat basis ekonomi dan pertumbuhan unit-unit bisnis para pejabat dan keluarganya saja. Jika itu terjadi, Aceh tidak lagi termiskin di Sumatera. Tapi terkaya di Indonesia.

Jadi, melihat angka kemiskinan Aceh yang masih diatas rata-rata nasional dan terburuk di Sumatera, sudah pasti dana Otsus sangat diperlukan. Sudah pasti itu. Pertanyaannya, kali ini siapa yang akan kaya atau bertambah kaya. Semoga lapis terbawah dari masyarakat ikut serta. Sebab, tujuan Otsus dan berbagai dana lainnya memang untuk membuat kita semua menjadi kaya raya. Menjadi sejahtera.

Ke depan, kalau Otsus berlanjut, Pemerintahan Mualem harus berpikir bagaimana cara agar rakyat Aceh kaya semua. We have to move beyond, what is called “budget capture.”***

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

KAHMI itu Sebenarnya Apa?

Wed Sep 17 , 2025
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.