200 Triliun, Mau Disalurkan Kemana?

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.22 | September 2025

200 Triliun, Mau Disalurkan Kemana?
Oleh Said Muniruddin | Dosen FEB Universitas Syiah Kuala

SEBENARNYA tidak susah menyalurkan dana 200 triliun. Setiap tahun, ada sekitar 1,8 juta sarjana lulusan perguruan tinggi (CNBC, 4 Juni 2025). Kalau dikasih semua ke mereka, perorang bisa dapat modal sekitar 100 juta. Itu sudah sangat memadai untuk memulai, bahkan mengembangkan sebuah usaha.

Masalahnya, apakah uang itu akan digunakan secara produktif untuk memulai usaha, atau justru akan berakhir untuk konsumsi semata?

Itulah masalahnya.

Kampus tidak menyiapkan lulusan untuk menjadi entrepreneur. Kampus-kampus di Indonesia hanya bekerja untuk melahirkan pengangguran. Begitu lulus, bukan jadi pengusaha. Melainkan langsung nganggur. Kampus berkelit. Tugas kami mendidik. Tugas pemerintah menyediakan lapangan kerja.

Ternyata, puluhan core ilmu yang diajarkan selama 4 tahun, tidak membuat lulusannya mandiri. Tidak ahli dalam menciptakan dan menjual sesuatu. Semua ilmu menjelma jadi selembar ijazah. Ijazah itulah yang ditenteng kemana-mana untuk mencari kerja. Begitu lulus langsung bingung. Mau kerja dimana. Beruntung kalau langsung diterima.

Alhasil, karena minim kreatifitas serta lapangan kerja yang terbatas, sebagian sarjana jadi pengangguran. Menurut Menaker dan juga BPS, per Februari 2025, jumlah sarjana yang masih menganggur mencapai 1,01 juta; dari total 7,28 juta pengangguran secara nasional (1,01 Juta Sarjana di Indonesia Jadi Pengangguran, CNN, 2 Juli 2025).

Bahkan menurut Kemendiktisaintek, 80 persen sarjana bekerja di sektor-sektor yang tidak ada hubungan dengan bidang studi mereka (“Gen Z & Lulusan Sarjana Pusing Nyari Kerja, Salah Siapa?”, CNBC, 4 Juni 2025). Lagi-lagi, yang menganggur pun akhirnya harus bekerja membangun usaha sendiri. Lagi-lagi, usaha ini juga tak selalu berhubungan dengan bidang studi. Usaha ini bisa berbentuk UMKM. Tentu butuh modal.

Sebagian besar sarjana terkapar karena sulit mengakses modal. Bank punya banyak uang. Tapi tidak disalurkan secara sungguh-sungguh untuk pengembangan usaha masyarakat. Uang disimpan, dibungakan pada tempat-tempat lain. Begitu cara enak cari laba. Cara aman para kapitalis perbankan meningkatkan keuntungan. Mereka tidak mau susah berpikir kemana kredit akan disalurkan. Hidupnya enak sekali. Sehingga, “Sabtu Minggu bisa sibuk main golf”, kata Menkeu Purbaya menyentil kinerja direksi para direksi bank BUMN (Kompas, 18/9/2025).

Di Aceh juga begitu. Hal serupa mungkin juga dilakukan bank di daerah lainnya. Perlu penelitian lebih lanjut tentang ini. Bank Aceh lagi menjadi sorotan. Sebesar 8 triliun dana ‘parkir’ di luar daerah (Waspada, 15/9/2025). Sementara ratio penyaluran kredit untuk UMKM masih rendah. Berbagai faktor semacam ini berkontribusi untuk membuat Aceh tetap menjadi provinsi termiskin di Sumatera. Pendapatan perkapita masyarakatnya pun tersungkur di nomor 33 se-Indonesia (BPS, 2024).

Ok. Kita kembali ke tantangan kampus. Masalah ‘kecerdikan’ dan kerja-kerja perbankan yang tidak pro UMKM kita ulas lain waktu.

Kurikulum pendidikan kampus-kampus kita itu pro kapitalis. Mahasiswa seperti dididik untuk diserap oleh industri. Untuk dipekerjakan oleh para pemilik modal. Untuk jadi pekerja. Mahasiswa tidak dididik untuk menjadi mandiri. Tidak dilatih untuk inovatif dalam menjalankan usaha sendiri. Bekal saat lulus hanya selembar ijazah untuk mencari kerja. Kalau tidak dapat kerja, ya menganggur.

Karena itu, produk yang pasti dari kampus adalah “sarjana pengangguran”. Harusnya tidak boleh begitu. Harusnya, setiap lulusan langsung menjadi wirausaha. Harus ada sertifikat bukti mereka telah menjadi “entrepreneur” saat sejak masih di kampus. Sehingga tidak lagi tercatat sebagai pengangguran.

Artinya, empat tahun di kampus dengan berbagai ilmu yang hebat-hebat itu sudah harus membuat mereka jadi pengusaha. Sebelum tamat kuliah, mahasiswa harus sudah punya usaha mandiri. Kalaupun tidak magang di industri lain, mereka sudah mulai magang dan melakukan uji coba dengan usaha sendiri. Sudah punya sebuah output, produk, jasa atau inovasi. Sudah memahami cara mengolah dan memberi nilai tambah pada berbagai sumberdaya.

Sebagian besar fakultas sebenarnya terkait langsung dengan cara pengelolaan dan pengolahan sumberdaya alam negara kita yang melimpah. Misalnya fakultas pertanian, perikanan, kelautan, peternakan, kehutanan, pertambangan, dan lainnya. Bahkan fakultas-fakultas lain sekalipun seperti ekonomi, teknik, pendidikan, hukum, teknologi, dan lainnya; juga terkait erat dengan dimensi bisnis. Semua fakultas punya potensi untuk mengembangkan aneka produk dan jasa profesi terkait bidang studinya.

Perguruan tinggi tidak punya fokus pada “entrepreneurship”, yang menjadi tantangan paling besar untuk mendongkrak pendapatan nasional. Semuanya seperti terfokus untuk melahirkan “ilmuan”, ahli pikir tapi tak punya usaha. Saya kira, untuk menjadi ilmuan bisa melalui jenjang S2 atau S3. Level S1 cukup dididik lulusan agar menjadi mandiri saja. Menjadi lulusan dengan mental pengusaha. Kalau sekedar lulus lalu jadi pekerja, saya kira itu cukup untuk level tamatan SMEA/SMK. Level ilmu di S1 harus jadi pemilik usaha.

Sejak di kampus mahasiswa sudah harus mengerti dan mampu mempraktekkan tentang pasar dan pemasaran, operasional dan produksi, manajemen sumberdaya dan organisasi, legalitas usaha dan teknologi, keuangan dan akuntansi, serta aspek-aspek bisnis lainnya. Dosen wali atau pembimbing hanya bertugas mengevaluasi progres keilmuan dan portofolio dari praktik kewirausahaan mereka dari semester ke semester, dari tahun ke tahun.

Jadi, ketika tamat kuliah, mereka hanya meneruskan start-up business yang sudah terbangun sejak awal. Tinggal mengembangkan lebih lanjut. Tinggal mencari pasar yang lebih luas dan sistem bisnis yang lebih advance. Bukan lagi memulai dari nol.

Bisa saja diantara mereka tidak ada yang mau menjadi pengusaha. Melainkan jadi PNS atau pekerja di lembaga dan industri swasta lainnya. Silakan saja. Atau mungkin juga ada yang ingin melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya, ingin jadi ilmuan. Go a head. Tapi setidaknya, dengan kurikulum enterpreneur semacam ini, jiwa wirausaha mereka sudah ada. Itu modal paling besar untuk mengentaskan kemiskinan dan pengangguran. Tinggal di modalin aja agar semakin berkembang. Dengan tingkat bunga yang rendah. Buka perlu nol. Itulah tugas pemerintah lewat perbankan.

Karena itu; penulisan ilmiah semacam skripsi tidak lagi relevan untuk level sarjana. Lebih relevan membuat laporan ilmiah terkait perkembangan usaha. Lebih relevan membuat proposal, perencanaan dan pengembangan bisnis berdasarkan data dan mungkin sedikit uji statistik, terhadap sebuah visi usaha yang sedang dikembangkan mahasiswa.

Skripsi kita memang agak ngawur. Mahasiswa menguji berbagai hal yang tidak perlu. Yang tidak ada hubungan dengan diri mereka sendiri. Tidak ada hubungan dengan masa depan dan kemandirian diri dan ekonomi mereka.

Hasil skripsi justru memberi berbagai rekomendasi agar sebuah institusi menjadi lebih baik. Terkadang institusi itu ada entah ada di ujung dunia mana. Itupun kalau mereka baca. Hasil skripsi tak pernah digunakan. Tak pernah ditindak lanjuti. Semua jadi sampah di pustaka. Kalau pun berguna, ya sekedar jadi bahan kutipan untuk skripsi mahasiswa selanjutnya.

Skripsi itu hanya berguna bagi dosen pembimbingnya saja, untuk laporan BKD dan kepangkatan. Bagus juga sebenarnya. Ada mahasiswa yang membantunya meneliti dan membuat artikel untuk dosennya. Dosen hanya tinggal sedikit mengoreksi metode, merevisi bahasa, dan memberi titik koma.

Ke depan kampus perlu memberi pilihan bagi mahasiswa. Ada jalur “skripsi”, bagi yang ingin menjadi ilmuan. Ada jalur “business” untuk menginkubasi mereka menjadi wirausaha. Untuk yang terakhir inilah pemerintah perlu memberi perhatian. Misalnya, begitu lulus kuliah langsung dapat modal 100 juta. Langsung dimodali sesuai kelayakan bisnisnya.

Kalau ini sudah berjalan. Tentu tidak sulit menyalurkan dana 200 triliun itu. Sehari selesai. Juga tak perlu menyusahkan para direksi Bank BUMN yang kata Pak Purbaya “malas-malas” itu. Mudah-mudahan tidak dipecat.

Karena itu, kalau Indonesia mau cepat maju, mau lebih relevan dengan kebutuhan perekonomian, kurikulum pendidikan di kampus harus segera direformasi. Dari “Outcome Based Education” (OBE), ke “Enterpreneur Based Education (EBE)”. Outcomenya harus lebih tegas. Jangan lagi sekedar mengukur output dalam bentuk taksonomi yang sangat teoritis, abstrak dan ribet. Output dan portofolionya sederhana dan praktis saja: mahasiswa punya ilmu, punya ruang belajar usaha, jadi enterpreneur. Titik.

Ini hanya sebuah ide, bagaimana dana 200 triliun sebenarnya bisa disalurkan hanya kepada satu sektor sarjana, tentunya yang sudah punya karakter dan siap untuk mengembangkan usaha. Konon lagi, ada puluhan sektor lain yang juga menunggu tawaran pembiayaan serupa. Ini ide link and match antara kampus dan perbankan. Guna menyelesaikan penyakit lama: kampus terus memproduksi pengangguran, sedangkan perbankan asik menimbun uang.*****

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

100 Tahun Tgk. Hasan: GAM, Dari "Tiro-isme" ke "Roti-isme"

Wed Sep 24 , 2025
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.