“UZLAH”, TRADISI SPIRITUAL PARA NABI

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No. 89 | Juli 2023

“UZLAH”, TRADISI SPIRITUAL PARA NABI
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Uzlah adalah tradisi suci para nabi dan orang-orang shaleh. Uzlah adalah aktifitas untuk menyingkir, bergeser, meninggalkan, menghindar, menyendiri atau menjauhkan dari keramaian (noise). Disebut juga suluk atau khalwat. Aktifitas ini tercatat jelas. Baik dalam Quran maupun dalam narasi sejarah.

Semua Nabi dan Orang Suci Ber-‘Uzlah

Semua nabi melakukan uzlah. Terkadang diceritakan dengan bahasa yang terang (muhkamat). Seperti pada kasus 40 hari pertapaan Musa di gunung Sinai (QS. Al-Araf: 142-143). Ataupun dengan kalimat-kalimat “simbolik” (mutasyabihat). Seperti pada kasus Ibrahim as yang “menjauhkan diri” dari masyarakat, atas segala fenomena kemusyrikan mereka (QS. Maryam: 48). Atau kisah Yunus as yang masuk ke “perut ikan” (QS. Yunus 139-148). Ataupun cerita Yusuf as yang dibuang ke “sumur” (QS. Yusuf: 7-10). Ataupun kisah tujuh Ashabul Kahfi yang mengisolasi diri dalam gua (QS. Al-Kahfi: 9-26). Begitu juga dengan riwayat Maryam yang menyepi jauh dari keluarganya dan tertutup tirai (QS. Maryam: 16-25).

BACA: SUFISME DAN BAHASA SIMBOLIK

Semua kisah ini membawa sejumlah pesan. Apakah tentang tata cara taubat, tafakur, tazakkur, perlindungan, pengasingan diri sekaligus kebangkitan. Muhammad SAW misalnya, dikisahkan, begitu galau dengan kondisi jahiliah masyarakatnya. Lalu ia pergi mengisolasi diri. Dari sana, ia mendapat petunjuk Tuhan tentang cara memimpin transformasi. Turun dari sana, ia membawa Kalimah “Iqrak” (QS. Al-‘Alaq: 1-5). Sebuah spirit untuk membawa bangsanya ke alam yang penuh pengetahuan (makrifah).

Ibrahim as menolak menyembah, apa yang disembah masyarakatnya. Ia “menjauhkan diri” dari mereka (QS. Maryam: 48). Dalam proses perjalanan jiwa, ia berhasil menjangkau wajah Allah. Menjadi makhluk yang hanif. Inni wajjahtu wajhiya lil-ladzi fatarassamawati wal-ardh hanifan.. (QS. Al-An’am: 79). Mujahadah spiritual ini telah mengangkat derajatnya menjadi “bapak monoteis”. Demikian juga dengan anak-anaknya, seperti Ishaq dan Yakub (QS. Maryam: 49). Ibrahim as bahkan diperintahkan Tuhan untuk pergi dan mengasingkan diri dari keluarga, justru saat anaknya (Ismail as) masih sangat kecil. Berbagai ujian ini juga membuat ia diangkat Allah untuk menjadi “imam” bagi sekalian manusia (QS. Al-Baqarah: 124).

Musa as, juga begitu. Banyak sekali masalah yang ia hadapi bersama pengikutnya. Lalu ia pergi beruzlah ke Sinai. Disana ia diangkat Tuhan sebagai sosok “terpilih”. “Wahai Musa, aku memilih engkau melebihi manusia lain untuk membawa risalah dan berbicara secara langsung dengan ku..” (QS. Al-Araf: 144). Disana ia mendapat pencerahan dan pulang dengan membawa Lauh yang berisi petunjuk Tuhan untuk mengatur segala hal (QS. Al-Araf: 145).

Yunus as juga sama. Secara simbolik dikisahkan bagaimana gelombang kekacauan menimpa masyarakatnya (QS. Yunus: 98). Kapal kehidupan oleng, terhempas badai. Harus ada yang diqurbankan. Hanya ia yang diterima Tuhan, untuk menyelamatkan mereka semua. Berhari-hari ia beristighfar, memohon ampun kepada Tuhan dalam pengasingan di “perut ikan”. La ilaha illa Anta subhanaka inni kuntu minadh-dhalimin. “Tidak ada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim” (QS Al-Anbiya’: 87). Setelah itu, dakwahnya berlanjut lagi. Kali ini, lebih dari seratus ribu orang menjadi pengikutnya (As-Shaffat: 147).

Yusuf as, dimasukkan ke “dasar sumur” oleh saudara-saudaranya (QS. Yusuf: 10 & 15). Disana ia memasrahkan diri kepada Allah. Tapi, dari kedalaman pengasingan itulah ia bangkit, diselamatkan dan diangkat Tuhan menjadi orang besar di kerajaan Mesir. Dari berbagai proses itu ia memperoleh ilmu dan hikmah. Menjadi ahli takwil dan sebagainya. Bahkan ia menjadi penyelamat semua orang yang pernah membencinya (QS. Yusuf: 19-22).

Para “Penghuni Gua” (Ashhabul Kahfi) juga begitu. Mereka mengisolasi diri ke keheningan gua. Itu dilakukan untuk mencari rahmat, petunjuk dan keselamatan dari mara bahaya dan kekacauan dunia (QS. Al-Kahfi: 10). Di sana, telinga mereka “ditutup” (QS. Al-Kahfi: 11), sehingga tidak punya kemampuan untuk memperoleh informasi luar. Mereka “tertidur” dalam zikir. Tertidur, tapi masih bergerak kekiri dan kanan, seperti terjaga (QS. Al-Kahfi: 18). Spiritualitas mereka benar-benar fana. Terputus kontak sama sekali dengan dunia. Bahkan sampai tidak tau sudah berapa lama mereka disana. Ketika keluar, kondisi sudah membaik. Tuhanlah yang bekerja untuk memperbaiki keadaan, selama mereka dalam pengasingan.

Tidak hanya kaum laki-laki saja yang melakoni ritus spiritual retreat ini. Perempuan juga. Bahkan Maryam menjadi simbol utama feminisme terkait “kelahiran” Ruh Suci. Ia melakukan pengasingan diri dari keluarganya (QS. Maryam: 16). Disana, ia menutup diri dengan hijab, tirai, kelambu ataupun tabir (QS. Maryam: 17). Dari hasil pengasingan ini, ia kemudian “hamil” dan semakin jauh mengasingkan diri (QS. Maryam: 22). Sampai kemudian melahirkan sosok “Ruhullah”. Mujahadah untuk melahirkan spirit yang suci memang “sakit” sekali (QS. Maryam: 23). Kisah ini punya pesan simbolik. Bahwa hanya melalui khalwat, tanpa sentuhan biologis, seseorang bisa melahirkan wujud Ruh Suci. Inti khalwat adalah penyucian diri. Usaha untuk melahirkan kembali “Hakikat Diri”, Qaulal Haq atau Logos Ilahi (QS. Maryam: 34).

Karena itulah lebaran setelah ramadhan disebut “idul fitri”. Seseorang akan “suci” (terlahir kembali dalam wujud fitrah). Itu hanya terjadi jika bulan puasa dijadikan sebagai media khalwat. Makanya, Nabi SAW jarang terlihat di masjid saat Ramadhan. Bahkan diriwayatkan, Beliau sampai tidak bersedia melanjutkan tarawih secara berjamaah. Selama bulan suci, Beliau lebih banyak menghabiskan waktu untuk bersuluk di kamarnya. Suluk adalah ibadah “privacy”. Dilakukan sendiri-sendiri. Ataupun berdua-dua (QS. Saba: 46). Makna berdua, bisa berjamaah. Tapi interaksinya sangat terbatas. Berdua itupun, biasanya hanya ada hubungan si salik dengan Allah (ataupun Mursyid).

Jadi, semua nabi menjalani sayr wa suluk. Karena itu, tidak heran jika Nabi Muhammad SAW melakoni tradisi spiritual serupa. Bahkan sejak muda, ia rutin berkhalwat di Gua Hirak. Sampai kemudian menerima wahyu untuk memimpin pergerakan sosial dan politik masyarakatnya. Nabi juga menyebutkan keutamaan mereka yang “mengasingkan diri”. Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri:

Seorang laki-laki datang bertanya: “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling utama?” Beliau menjawab, “Orang yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.” Dia bertanya kembali, “Kemudian siapa lagi, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seorang mukmin yang berada (‘uzlah) di salah satu lembah pegunungan, dia bertakwa kepada Allah dan meninggalkan manusia (agar selamat) dari keburukan dirinya” (HR. An-Nasa’i).

Niat dan Metode yang Benar

Karena itu, mustahil bisa beragama secara sempurna, tanpa mengikuti langkah-langkah metodologis tentang uzlah yang telah berulang-ulang dicontohkan para nabi dan shalihin. Uzlah adalah sunnah, jalan, metode atau tariqah untuk menyempurnakan kecerdasan spiritual kita. Untuk dekat dengan Allah, untuk bisa mendengar apa maunya Allah, seseorang mesti melakukan spiritual incubation.

Semua itu ada metodologinya. Ada teknik untuk mengasah alam ruhani, sehingga proses “wisata spiritual” mencapai hasil maksimal. Ada jibril, khizir atau guru spiritual yang diutus Tuhan pada setiap masa untuk membimbing praktik-praktik riyadhah untuk bisa sampai ke ‘Arasy Ilahi (QS. At-Taubah: 128-129). Praktik-praktik khas ini bisa membuat seseorang terkoneksi dengan Allah. Bisa membuat jiwanya tenang. Bisa memperoleh “ilmu kehadiran”.

Praktik ini, jika dilakukan dengan bimbingan dan niat yang benar, bisa mengakumulasi energi spiritual. Sehingga bisa menyelamatkan diri, menaikkan derajat, serta membawa syafaat bagi keluarga dan masyarakat. Seringkali praktik “rahbaniyah” (kerahiban/ketaqwaan) ini diselewengkan. Tidak dipelihara dan dijalankan sebagaimana mestinya. Kalau dalam tradisi Nasrani, ada yang sampai tidak mau kawin lagi. Gara-gara ingin menyendiri dan melayani Tuhan. Padahal, proses sexual intercourse hanya dilarang saat bersuluk saja.

Dalam Islam juga begitu. Uzlah terkadang dipahami untuk tujuan mencari keramat dan macam-macam. Mengarah ke perdukunan. Menurut Quran, ini sudah “mengada-ngada” (berlebihan). Motivasi seperti ini harus diluruskan. Inti dari praktik-praktik spiritualitas dalam Islam adalah “Ilahi Anta maqshudi, wa ridhaka mathlubi, wa ‘athini mahabbatak”. Tujuannya hanya untuk mencari “ridha Allah”:

ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلٰٓى اٰثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَاٰتَيْنٰهُ الْاِنْجِيْلَ ەۙ وَجَعَلْنَا فِيْ قُلُوْبِ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُ رَأْفَةً وَّرَحْمَةً ۗوَرَهْبَانِيَّةَ ِۨابْتَدَعُوْهَا مَا كَتَبْنٰهَا عَلَيْهِمْ اِلَّا ابْتِغَاۤءَ رِضْوَانِ اللّٰهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ۚفَاٰتَيْنَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْهُمْ اَجْرَهُمْ ۚ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ

Kemudian, Kami meneruskan jejak mereka dengan (mengutus) rasul-rasul Kami dan Kami meneruskan (pula dengan mengutus) Isa putra Maryam serta Kami memberikan Injil kepadanya. Kami menjadikan kesantunan dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniah (berlebih-lebihan dalam aktifitas kerahiban/pengasingan diri). Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Akan tetapi, (yang kami wajibkan hanyalah untuk tujuan) mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Maka, kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya dan di antara mereka banyak yang fasik (QS. Al-Hadid: 27).

Kesimpulan

Dari uraian di atas, kita harus paham; bahwa khalwat, uzlah, atau suluk bukan hal asing dalam Islam. Bukan bid’ah. Itu praktik umum dalam tradisi esoteris kenabian. Semua nabi mempraktikkannya. Justru aneh jika agama seperti Islam meninggalkan praktik-praktik “meditasi” yang sangat penting ini. Semua agama samawi mewarisi tradisi serupa. Karena itu, suluk merupakan kewajiban bagi siapapun yang ingin mencapai maqam kedewasaan spiritual. Uzlah merupakan metode paling efektif untuk meningkatkan kecerdasan spiritual (SQ). Apalagi jika mendapat bimbingan langsung dari seorang supervisor ahli, waliyammursyida (QS. Al-Kahfi: 17)

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
 tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

2 thoughts on ““UZLAH”, TRADISI SPIRITUAL PARA NABI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

KUNCI BAHAGIA, JADILAH "ANAK-ANAK"

Tue Aug 1 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.