TUJUH LANGKAH MENJADI MISTIKUS

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.74 | Juni 2023

TUJUH LANGKAH MENJADI MISTIKUS
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ada dua sebab seseorang menempuh jalan spiritual untuk menuju Allah. Karena “senang” dan “terpaksa”. “Datanglah kamu keduanya dalam keadaan senang atau terpaksa..” (QS. Fuṣṣilat: 11).

Pertama, karena “senang”. Ia merasa dunia tempat ia tinggal hanya kumpulan “fenomena” (“ayat”, tanda-tanda) yang diakibatkan oleh sebuah “Numena” yang hakiki (Causa Prima/Wajibul Wujud). Ia punya kerinduan untuk mengupgrade berbagai pengetahuan sensibel di alam fisika, ke pengalaman-pengalaman spiritual pada alam metafisika. Ia menyadari, dirinya bukan sekedar makhluk materi. Melainkan juga esensi esoteris.

Kecintaannya dengan agama membuatnya ingin berjumpa dengan Tuhannya. Ia ingin semua rukun iman itu bukan sekedar dogma untuk dipercaya. Melainkan wujud yang dapat dicerap secara iluminatif dan bisa dirasa. Ia ingin mengenal Tuhan melampaui wujud alam, teks dan ide. Lalu ia secara sukarela menempuh jalan menantang yang pernah ditempuh para nabi, untuk bisa melihat Wajah Tuhannya.

Kedua, karena “terpaksa”. Bisa jadi karena jatuh sakit, depresi atau putus asa; seseorang merasa kehilangan daya upaya. Mereka mencari bentuk-bentuk penyembuhan, pertaubatan dan ketenangan jiwa. Berbagai pengalaman spiritual juga dapat membuat seseorang terpesona, sehingga ingin mengenal Allah secara lebih dekat. Ada juga yang terjebak dalam dakwah komunitas mistikus. Akhirnya terdorong untuk ikut dan perlahan tergiring ke surga.

Di sebuah ordo sufi yang di dalamnya kami aktif melakukan observasi, ditemukan semua jenis orang dengan motif berbeda, yang pada akhirnya secara ikhlas menempuh jalan untuk menjadi mistikus. Uniknya, Allah maha pengasih dan penyayang. Ia menerima siapapun yang menempuh jalan untuk kembali ke “rumah”-Nya. Baik dalam keadaan sadar ataupun terpaksa. Pada puncaknya, Allah akan memanggil siapapun yang bersedia menempuh jalan-Nya dengan seruan: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai, lalu masuklah ke dalam golongan hamba-hambaku, dan masuklah ke dalam surga-Ku” (QS. Al-Fajr: 27-30).

Perjalanan spiritual adalah sesuatu yang pasti (haqq). Di banyak ayat disebutkan, “Kepada Allah kita semua akan kembali”. Saat mati, jiwa manusia juga akan dipaksa melakukan perjalanan untuk kembali kepada Allah. Tidak perlu menunggu mati, selagi masih hidup, jiwa yang sama juga dapat dilatih untuk melakukan perjalanan untuk terintegrasi dengan Ruh Ilahi. Jiwa dapat dilepas dari tubuh. Para mistikus ahli dalam bidang itu. Alam martabat yang akan ditempuh untuk sampai kepada Allah juga sama.

Jadi, kenapa harus menunggu jasad mati baru kembali kepada Allah? Konon, tidak semua jiwa bisa kembali. Ada yang tersesat, luntang lantung di alam yang tidak ia kenali. Arwahnya yang belum tersucikan terjebak di antara langit dan bumi. Pun tanpa rambu dan petunjuk sama sekali. Karena itu, orang-orang yang sadar, sejak hidup di dunia akan mencari pembimbing untuk menempuh jalan kembali. Tanpa harus menunggu kematian biologis (jasadi).

Mereka tidak mau berspekulasi. Jika syariat menawarkan teori, dalil dan janji (ilmul yakin). Metode dalam tarikat menawarkan bukti (‘ainul dan haqqul yakin). Para mistikus ingin memastikan, bahwa mereka sudah bisa wushul dengan Allah sebelum mati. Sehingga, ketika mati, tidak ada masalah apapun lagi. Sebab, mereka sudah berjumpa Allah sejak di dunia. Inilah yang disebut, orang-orang yang telah berada di surga, sejak masih hidup. “Sebelum mati sudah dijamin masuk surga”, sudah ruju’ dengan Tuhannya.

Mereka termasuk golongan orang-orang yang tidak dihisab lagi saat mati. Matinya ringan sekali. Azab kubur juga sudah tidak ada. Untuk apa dihisab. Sejak di dunia mereka sudah menghisab diri. “Sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya” (QS. Al-‘Ala: 14). Mereka sudah menempuh jalan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) sejak masa hidupnya. Sejak berada di alam dunia, mereka sudah sampai di tujuan. Sebelum raganya mati, jiwanya sudah terkoneksi dengan Allah. Sejak masih hidup, dimensi mereka sudah ukhrawi. Kondisi dan pengalaman seperti ini dapat disimak pada riwayat kehidupan para nabi dan orang-orang suci.

Tujuh Pintu Menuju Allah

Ada 7 metode spiritual yang ditemukan dalam hampir semua orde sufi. Ketujuh langkah ini merupakan pintu yang sempurna bagi para mistikus menuju Allah. Berikut ketujuh jalan tersebut, dalam bahasa yang sedikit ilmiah: (1) supervisi, (2) inisiasi, (3) meditasi, (4) kontemplasi, (5) invokasi, (6) kontribusi, dan (7) determinasi.

Pertama, “supervisi”. Langkah pertama adalah mencari seorang Supervisor, Syaikh, Guru, Wali Mursyid atau Imam Ruhani. Guru, atau Pembimbing Ruhani yang sesungguhnya adalah Allah. Tidak mungkin Allah yang langsung turun langsung untuk membimbing manusia. Ia “turun” melalui para Wali, khalifah atau Rasul-Nya. Allah senantiasa mengutus orang seperti mereka untuk setiap tempat dan masa. “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah: 128).

Khalifah Allah yang layak menjadi pembimbing Ruhani manusia adalah mereka-mereka yang telah diberi kekuasaan oleh Allah untuk itu. Allah telah meminjamkan mata, telinga, tangan dan kaki-Nya untuk mereka. Karena sangat rajin melakukan ibadah nawafil, mereka memperoleh cinta dan kemuliaan dari Allah untuk me-menej manusia dengan bentuk-bentuk kekasyafan itu. “Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan hal-hal sunat, sehingga Aku mencintainya. Maka, apabila Aku mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar; Aku menjadi penglihatannya, yang dengannya ia melihat; Aku menjadi tangannya, yang dengannya ia menyentuh; Aku menjadi kakinya, yang dengannya ia berjalan” (Hadis Qudsi).

Dengan mata batinnya, mereka mampu melihat jauh ke dalam hati para murid, mengetahui level dan perkembangan spiritualitas mereka serta mampu membimbing si pemilik ruhani ke makam lebih lanjut. Ibarat dokter bedah syaraf, Guru Mursyid punya kemampuan melihat sehalus apapun kerusakan pada saraf, yang kerusakan itu sendiri tidak diketahui oleh pasiennya. Lalu mampu menyembuhkan dan mengantarkan jiwa-jiwa yang sehat ke sisi Tuhannya.

Guru Mursyid adalah (waris) “rasul”, spesialis ruhani, yang otoritatif. Gurumursyid bukan sekedar orang yang paham agama. Orang yang mengerti agama, bahkan dapat menghafal detil hukum, itu banyak sekali. Orientalis sekalipun, itu cerdas dalam kajian Islam. Tapi tidak mampu membimbing ruhani seseorang untuk wushul dengan Allah.

Guru spiritual yang otentik adalah seseorang yang membawa transmisi ruhani yang resmi (wasilah Cahaya) yang runut tersambung ke Nabi. Ia sendiri harus dipastikan telah menempuh jalan penyucian diri dan menerima warisan kenabian itu dari para Wali sebelumnya. Ia harus punya ijazah, dari Guru terdahulu. Ada rantai sanad akademiknya; yang tersambung ke Nabi, ke Jibril, ke Allah. Guru seperti ini harus dicari. Harus sering diziarahi. Ada pertolongan dan petunjuk Tuhan bersamanya. “.. siapa yang Allah memberinya petunjuk, dialah yang mendapat petunjuk. Siapa yang Dia sesatkan, engkau tidak akan menemukan seorang Walimursyid pun” (QS. Al-Kahfi: 17).

Kedua, “inisiasi”. Melalui bimbingan Guru, seorang mistikus pemula akan memulai proses awal (inisiasi) perjalanan menuju Tuhan melalui simulasi taubat dan kematian iradhi. “Mati sebelum mati”, istilah kaum sufi. Betapa banyak berhala yang telah kita ukir dalam diri kita sepanjang hidup. Kita pantas bertaubat dan memutuskan mata rantai dari hal-hal itu. “Kamu benar-benar telah menzalimi dirimu sendiri dengan menjadikan (patung) anak sapi (sebagai sesembahan), karena itu bertobatlah kepada Penciptamu dan bunuhlah dirimu” (QS. Al-Baqarah: 54).

Ada teknik tertentu dalam dunia kewalian, yang mencoba mematikan ego si murid, lalu terlahir kembali dalam ego yang lebih murni. Pada tahap ini, terjadi perjanjian kembali (bai’at) ruhani yang baru lahir, dengan Tuhannya, lewat kesaksian sang Wali. Wali itu seperti Nabi. Mereka punya kemampuan mentasbihkan jiwa individu untuk menerima karunia Ilahi. Mereka secara spiritual menghubungkan kembali jiwa murid dengan Yang Tak Terhingga. Sang Wali, walau ia bukan nabi, bertugas melanjutkan fungsi-fungsi kenabian. Termasuk menerima mereka yang datang untuk memohon ampun, lalu dia memohon ampun untuk mereka. “Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali untuk ditaati dengan izin Allah. Seandainya mereka setelah menzalimi dirinya datang kepadamu (Nabi Muhammad), lalu memohon ampunan kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisā’: 64).

Karenanya, kami sering menyaksikan, mereka yang baru selesai melakukan inisiasi dalam acara “Tueng Tarikat” (bahasa Aceh: baru berbaiat tarikat), vibrasi doanya makbul sekali. Mereka juga punya visi baru dalam memandang sesuatu. Tidak sedikit yang tersembuhkan dari aneka penyakit. Wajahnya seperti bayi yang baru lahir.

Inisiasi adalah “pintu” masuk ke dunia spiritual. Kehadiran Ilahi dimulai dari tahap ini. Tidak heran, para pengikut Nabi, “vibrasi” spiritualnya tinggi. Jiwa mereka, saat masuk Islam, bisa disambungkan oleh Muhammad bin Abdullah ke dalam Misteri Ilahi. Keahlian inilah yang langka dalam dunia keagamaan moderen. Sosok guru yang punya kemampuan mengkoneksikan jiwa para pengikut dengan Ruh Ilahi sangat langka. Padahal, “keterkoneksian ruh” merupakan kunci transendental bagi berbagai jenis ibadah yang dikerjakan.

Ketiga, “meditasi”. Ini terkait dengan olah pikir. Manusia adalah makhluk berfikir. Namun, berfikir kritis (gelombang otak Beta) hanya efektif untuk menalar aneka ragam realitas eksternal (dunia makhluk/khalqillah). Untuk menuju Allah, yang dalam ontologi sufi dipercaya sebagai Realitas internal, pikiran harus difokuskan dan disederhanakan. Pikiran bekerja seperti gunung berapi, yang selalu panas dan bergemuruh. Atau seperti laut yang penuh badai dan terus bergelombang. Atau seperti burung liar, yang terbang kesana kemari. Bahkan sampai tersesat jauh. Bayangkan, betapa kacaunya shalat kita ketika pikiran menerawang entah kemana-mana. Harusnya itu menjadi momen khusyuk dan perjumpaan, terfokus hanya kepada Allah saja. Tapi itu sulit terjadi.

Salah satu yang kami takutkan saat berizarah ke tempat Guru Sufi adalah saat duduk di posisi terdepan. Duduk di depan itu sebenarnya asik, karena bisa langsung berhadapan dengan sang Master. Tapi, Guru Sufi akan sangat terganggu, manakala Beliau sedang menyampaikan sesuatu, orang-orang yang ada di depannya itu pada menghayal kemana-mana. Halusinasinya bisa tentang kantor, pekerjaan, anak, istri, bahkan hal-hal kotor lainnya. Semua detil “film” yang ada di otak muridnya bisa dilihat semua oleh Guru Mursyid. Itulah yang namanya “kasyaf”. Sehingga para murid sering kena tegur. Tidak jarang ada yang kena marah, kalau hayalannya aneh-aneh. Karena itu, yang duduk di depan biasanya para murid yang khalifah, yang adab dan kemampuan meditatifnya sudah lebih bagus.

Untuk menjangkau Wajah Tuhan, pikiran harus dijinakkan. Kehadiran hati harus diutamakan. Pikiran, beserta seluruh panca indera pendukungnya, harus diikat, dan didorong untuk melihat ke dalam diri. Keseluruhannya di bawa ke satu titik, yang disebut “qalbu”. Ada titik pada diri manusia yang menjadi pusat kehadiran. Inilah titik “ba”, titik tunggal ketuhanan, tempat berkumpulnya segala keragaman. Perjalanan menuju Allah adalah perjalanan mikraj, dari keragaman dan partikularitas wujud menuju kesatuan. Seluruh panca indera dan pikiran harus dipusatkan pada dimensi tunggal yang menjadi “pintu” masuk lebih dalam ke dimensi ketuhanan. Gelombang otak perlahan dibawa ke bentuk-bentuk yang lebih rileks. Dari kesadaran Beta, ke Teta bahkan Delta.

Makanya, Khidir melarang Musa banyak bertanya. Pertanyaan adalah instrumen untuk membuka pikiran kritis, untuk memahami keragaman dunia ciptaan. Pertanyaan merupakan instrumen filosofis dan syariat, untuk memahami aneka aspek hukum dan partikularitas. Untuk menuju Tuhan, mulut harus di kunci. Pikiran harus disatukan. Makanya, dalam dunia tasawuf hakiki tidak ada kajian, debat dan diskusi. Yang ada hanya praktik dan pengamalan. Yang ada hanya kepatuhan. Sami’na wa atha’na.

Keempat, “kontemplasi”. Pusat ketuhanan selalu punya “bentuk-bentuk” lahiriah. Dalam syariat disebut Kakbah. Semua peribadatan menghadap kesana. Dalam tradisi sufisme juga begitu. Selain secara lahiriah menghadap ke Kakbah, secara ruhaniah ada ‘kiblat’ lainnya yang menjadi arah dan pusat kontemplasi. Ide atau citra visual ini dianggap memiliki Kualitas Ilahi. “Setiap umat ada kiblat yang dia menghadap ke arahnya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebajikan” (QS. Al-Baqarah: 148).

Manusia adalah makhluk psikis. Karenanya, dalam meditasi butuh sebuah citra visual untuk diingat. Maka dibutuhkan Rasul, para empunya “wajah karamah”, wajah utusan Tuhan. Tuhan mengutus dirinya dalam visual itu. Itulah wajah sang Nabi, atau wajah orang-orang yang mewarisinya (Wajah para Guru yang punya titisan ruhani Nabi). “Sebuah wajah, jika ditatap, nilainya lebih baik daripada ibadah selama 40 tahun” (Hadis). Melalui wajah itulah para mistikus meng-observe Wajah Allah, sebagai “syuhud” (penyaksian) tahap awal. Wajah-wajah karamah merupakan “wasilah”, punya daya mistik, “pintu” yang dapat menarik dan menteleportasi Ruhani para mistikus untuk syuhud ke alam yang lebih tinggi.

Kelima, “invokasi”. Jika meditasi menjadi cara untuk mempasifkan ego/diri (fikir); invokasi merupakan metode untuk mengaktikan dimensi Ilahi di kedalaman jiwa. Invokasi adalah “zikir”, usaha aktif untuk mengingat, menyebut atau menyebut-nyebut Nama Tuhan. Dengan menyebut-Nya, berarti kita mengingat-Nya. Karena Cinta-Nya kepada kita, Tuhan bisa hadir dalam Nama-Nama. Dia mendengar dengan penuh Cinta orang-orang yang memanggilnya dengan cara yang benar, melalui frekuensi spiritual (gelombang wasilah) yang benar. “Kau ingat akan Aku, Kuingat akan engkau” (QS. Al-Baqarah: 152).

Tuhan punya banyak Nama (Asmaul Husna). Disamping nama umum yang merangkum semua (ismu Dzat, “Allah”), ada nama-nama lain yang menjadi atribut-Nya. Seorang mistikus biasanya dibekali oleh Gurunya satu atau beberapa Nama dalam mendekati Tuhannya. Ada beragam cara olah zikir, tergantung Syaikh dan ordo sufi. Terkadang melibatkan gerak dan nafas. Terkadang dalam diam. Terkadang dilakukan sendiri. Seringkali juga secara berjamaah. Ada jenis zikir yang lantang (jahar). Ada pula yang perlahan (sirr/khafi). Tergantung Guru sufi.

Diharapkan, diujung proses invokasi, seorang mistikus bisa melihat dan merasakan kehadiran Ilahi, baik dalam keadaan mata terpejam ataupun terbuka. Invokasi berupaya mengaktifkan energi spiritual yang luar biasa (Gamma brainwave). Ada subtansi Ilahi di udara, dalam eter dan setiap elemen semesta. Tubuh sang mistikus bisa menangkap getaran itu sepanjang waktu. Ia bahkan bisa melatih berkomunikasi dengan semua kekuatan malakut-Nya.

Lama invokasi bisa beragam. Bisa berhari-hari, dalam bentuk tetirah spiritual (suluk/khalwat). Di luar itu juga ada wirid-wirid tertentu yang menjembatani shalat dengan zikir. Ada doa dan ayat-ayat pilihan, sesuai masing ordo sufi. Ritual, doa dan wirid ini bekerja dalam suatu formula magis untuk terus menerus melakukan pembersihan, perluasan wadah, dan penyatuan dengan-Nya.

Keenam, “kontribusi”. Ini sudah masuk ke pintu mahabbah. Gerak dan tarikan ke dalam dimensi ketuhanan melahirkan berbagai dedikasi dan kebajikan spiritual. Seorang mistikus diharapkan sudah bisa melihat Wajah dan merasakan kehadiran Allah dalam keadaan terjaga, dalam keadaan berjuang dan bekerja. Kondisi batinnya sudah sangat spiritually awake (enlightened). Mistikus bisa melihat Wajah dan kehadiran-Nya dimana-mana. “Kemanapun engkau menghadap, disitulah Wajah Allah” (QS. Al-Baqarah: 115).

Dalam kesadaran spiritual seperti ini, sikap pertama yang muncul adalah “kelurusan hati”. Ia merasa kecil dan tidak ada apa-apanya dihadapan Allah. Egonya mengecil, fana dan hilang dalam samudera Ilahi. “La maujuda Illa Allah”. Kemudian, tumbuh sikap “kedermawanan hati”. Seseorang akan merasa bahwa ia tidak memiliki apa-apa, “faqir ‘indallah”. Faqir bukan berarti miskin dalam perspektif ekonomi. Melainkan punya bentuk-bentuk kemurahan hati. Segala sesuatu dipahami sebagai milik Allah. Tidak segan-segan, pada qadar tertentu, kepemilikannya diserahkan kembali kepada Allah. Tangannya ringan untuk bersedekah.

Tidak heran jika, pada level ekstrim, ada sahabat yang memberikan seluruh hartanya guna dipergunakan sesuai visi relijius Rasulullah. Bahkan nyawa turut diberikan dalam berbagai jihad untuk melawan musuh-musuh Allah. Ini yang disebut ubudiyah. Berzikir, bershalawat, berjihad dan beribadah dengan harta, pikiran dan tenaga; dengan butiran darah dan keringat. Nilainya tinggi sekali. Ini yang membuat negara Islam tertentu sulit ditaklukkan. Karena ketundukan umat pada pemimpin spiritualnya. Loyalitas spiritual inilah yang menghadirkan Allah dan para malaikat-Nya, yang membuat Nabi memenangkan semua pertempuran. Ada beberapa perang yang Nabi sempat kalah di awal, karena rendahnya spiritual sejumlah prajuritnya.

Karena tingginya nilai mahabbah dari “jihad” (kontribusi, dedikasi dan ubudiyah), Nabi menjamin mereka yang syahid di dalamnya masuk surga tanpa hisab. Dapat ‘bidadari’ dan sebagainya. Intinya, ini merupakan pintu paling dekat untuk berjumpa dan merasakan kehadiran Allah.

Dalam sebuah ordo sufi yang selalu kami observe, terlihat bagaimana kekuatan ubudiyah bisa melahirkan vibrasi spiritual yang sangat tinggi. Terkadang Tuhan menghilang dari jiwa si mistikus. Penyebabnya seringkali karena lalai dalam mengabdi kepada Allah. Rajin berzikir, tapi malas berkhitmad di jalan Tuhan, bisa menyebabkan gelombang kehadiran Tuhan menurun. Disini kita paham, “kesalehan sosial” lebih tinggi nilainya daripada “kesalehan individual”. Sebab, puncak iman dan ilmu, adalah amal (ubudiyah/pengabdian) kepada Allah dan Rasulnya.

Ketujuh, “determinasi”. Pintu terakhir, yang bertujuan untuk menetapkan dan mengekalkan kehadiran Ilahi, adalah daya tahan dan kesabaran. “..sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 153). Pada ayat lain dilukiskan bagaimana kesabaran dan “rabithah” (kesatuan ruhani dengan Master Spiritual) merupakan kunci ketakwaan dan kemenangan bagi para mistikus: “Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah menjaga rabithah (kesiap siagaan dan kesatuan ruhani) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Aali Imran: 200).

Orang yang paling sering diuji kesabarannya oleh Tuhan adalah para mistikus; para nabi dan wali. Level manusia biasa seperti kita, itu hampir tidak pernah diuji Tuhan. Ngapain diuji. Tidak ada manfaatnya bagi Tuhan. Kalaupun dalam keseharian kita sering menghadapi masalah, besar kemungkinan itu bukan bentuk ujian dari Tuhan. Mungkin nasib kita saja lagi sial. Mungkin juga, semua masalah yang timbul diakibatkan oleh kecerobohan dan kebodohan kita sendiri. Tanpa di uji Tuhan pun, hidup kita sudah tiap hari amburadul.

Allah hanya menguji para penempuh jalan. Sebab, Dia ingin mengangkat derajat mereka untuk bisa lebih dekat dengan-Nya. Untuk punya wadah yang besar dan mampu menyerap kekuatan-Nya, anda harus tahan letih dan panas. Bahkan sampai kurang tidur. Apa yang dialami Nabi; menghadapi kejahatan masyarakat, dikucilkan, ancaman perang, plot pembunuhan, fitnah, cemoohan, dituduh sesat dan sebagainya; itu ujian semua. Semua dihadapi dengan lapang dada. Perintah Allah berdakwah kepada mereka juga dilakukan dengan sempurna. Selama puluhan tahun Beliau menjalankan itu. Derajat kemuliaannya terus membumbung tinggi.

Para mistikus juga mengalami hal serupa. Di uji oleh Allah, baik melalui perintah lahiriah Gurunya, ataupun melalui petunjuk-petunjuk batiniah langsung dari Allah. Terkadang seorang murid harus melakukan hal-hal di luar nalar dan logika. Terkadang di uji nyali dan mentalnya. Terkadang fisiknya yang ditempa. Ujian merupakan bentuk “bantingan” dari Tuhan, agar spiritualnya memiliki kerapatan dan dapat membumbung lebih tinggi. Beberapa Nabi menjadi “Ulul Azmi” karena ujian yang dialami. Beberapa wali menjadi “Qutub” karena cakupan wilayah yang ia bertanggungjawab untuk itu.

Kesimpulan

Tujuh pintu spiritual merupakan hal dan kesamaan umum ditemukan dalam berbagai ordo sufi. Pintu demi pintu yang dilewati, dan juga berulang-ulang dimasuki, akan membuka vibrasi kehadiran dan kedekatan seseorang dengan Allah. Kunci awal dari semua itu adalah keberadaan seorang Guru, sebagai pembimbing. Selanjutnya adalah bagaimana ia menjalani tahap demi tahap sesuai kesadaran diri.

Tidak jarang ada yang tumbang di pintu pertama. Terkadang di pintu kedua, dan seterusnya. Ada yang goyang di awal. Ada yang akal pikirannya kembali menjadi liar di tengah perjalanan, dan menolak aneka hal ahwal dalam dinamika spiritual. Perjalanan di dunia merupakan menuju Tuhan. Yang digambarkan seperti berjalan di atas “rambut yang dibelah tujuh”. Halus sekali. Tidak sedikit yang terpeleset dan jatuh. Ada juga yang motivasinya kuat, tidak lihat kiri kanan, terus berlari, sampai ia tiba dipelukan Allah.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

5 thoughts on “TUJUH LANGKAH MENJADI MISTIKUS

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

"HUSHULI" DAN "HUDHURI": DUA TEKNIK BERPIKIR DALAM PEROLEHAN PENGETAHUAN

Tue Jun 27 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.