“HUSHULI” DAN “HUDHURI”: DUA TEKNIK BERPIKIR DALAM PEROLEHAN PENGETAHUAN

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No.75 | Juni 2023

“HUSHULI” DAN “HUDHURI”: DUA TEKNIK BERPIKIR DALAM PEROLEHAN PENGETAHUAN
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIEM. Ada dua teknik berpikir yang dibutuhkan seorang pencari ilmu, untuk mengakses kebenaran (pengetahuan). Yaitu, berpikir ke “luar” (hushuli) dan berpikir “ke dalam” (hudhuri). Keberadaan dua cara berpikir ini tidak terlepas dari sifat alamiah “penciptaan” (emanasi) dan proses “pengembalian”-nya (iluminasi). Manusia, kalau ingin cerdas secara intelektual dan spiritual, harus mengikuti dua hukum berpikir ini.

Berpikir “Ke Luar” (Hushuli)

Semua manusia punya cara berfikir “ke luar”. Ini dipengaruhi oleh filsafat atau hukum kejadian alami (penciptaan). Begini.

Awalnya hanya ada Tuhan sendiri, dalam misteri dan ketunggalan-Nya. Dalam bahasa para filsuf muslim, disebut sebagai Tuhan dalam dimensi “Ahadiyah”. Kemudian Dia mulai berkreasi, mencipta. Dia yang Maha Tunggal “turun”, mengejawantahkan Dirinya pada dimensi “Wahidiyah” ciptaan. Dia tetap satu, sekaligus majemuk dalam penampakan. Ketika hadir dan bertajalli dalam keragaman ciptaan, azalinya Dia sebenarnya tetap Satu. Hanya saja, Dia telah menampakkan Wajahnya dalam heterogenitas wujud. Ibarat Cahaya matahari, tunggal pada sumbernya. Tapi cahaya itu terlihat majemuk ketika jatuh pada aneka wadah tempat ia memancar. Cahaya yang terlihat pada wujud bulan, dan cahaya yang terlihat pada wajah bumi, itu tunggal, berasal dari gelombang cahaya yang sama. Walau terlihat berjarak dan berbeda.

“Allah adalah Cahaya langit dan bumi” (QS. An-Nur: 35). Allah itu Ahad. Lalu melalui Cahayanya, Dia memancarkan Dirinya keberbagai ufuk langit dan bumi, juga ke dalam diri manusia; untuk dikenal. Dia secara bertahap bergradasi, menampakkan Dirinya dalam aneka lapisan alam. Allah, dari dimensi ketunggalan, memancarkan diri-Nya pada Alam Pola Dasar (‘Ayan Tsabitah). Lalu Dia “turun” lebih lanjut, memanifestasikan Dirinya ke Alam Ide (Alam Mitsal). Dari alam inilah kemudian lahir dan tercetak bentuk-bentuk material pada dimensi duniawi. Kita semua adalah makhluk yang muncul secara bertahap dari pancaran kemanunggalan Tuhan.

Jadi, Allah tetap satu. Tapi terus mencipta, menghadirkan diri-Nya, memperluas eksistensinya, mengembang, dalam berbagai wujud alam. Dia terus bergerak secara substansial, dari satu ‘Aqal (Aqal Awal, Nur Pertama), ke berbagai ‘aqal (alam ciptaan) selanjutnya. Allah menampilkan Dirinya, dari Satu Mutlak (Ahad), ke Satu dalam yang banyak (Wahid).

Inilah yang disebut, “gerak Tuhan”, dari dalam ke luar. Dari Ahad, ke Wahid. Dari kesatuan-Nya, kepada keragaman. Dari universalitas ke partikularitas. Dari hanya ada dirinya sendiri, kepada adanya Dirinya dalam kemajemukan alam ciptaan. Dia mengembangkan Diri terus menerus, dari kemanunggalan potensialitas esensi-Nya, kepada aneka partikularitas realitas eksistensi-Nya. Dari Wujud “the absolute mystery”, kini Dia menjadi dikenal oleh makhluk melalui “cermin” alam ciptaan-Nya. “Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi, Aku rindu untuk dikenal, maka Kuciptakan makhluk (alam semesta dan manusia), melalui cerminan-Ku itu mereka mengenal-Ku (Hadis Qudsi).

Inilah “gerak” alamiah dari kosmos, yang terus berkembang, sebagai konsekuwensi dari sifat Tuhan yang Maha Pencipta. Dia melalui aneka hukum alamiah-Nya, tidak pernah berhenti berpikir dan mencipta. Akibatnya, alam senantiasa mengalami pembaharuan dan pengembangan, tanpa henti, siang malam (the expanding universe).

Ini semua lahir dari sifat Tuhan yang terus berfikir “ke luar”. Ia terus bergerak, dari ke-Ahad-an dan keazalian-Nya, kepada kebaharuan aneka ciptaan. Dia men-dhahir, dari dimensi gaib mutlaknya, ke dalam kemajemukan lahiriah ciptaan. Wajah-Nya, ilmu-Nya dan kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu. Dia adalah Wujud Wajib, Causa Prima, yang melahirkan banyak sekali ide dan karya.

Apa konsekuensinya bagi manusia?

Allah, dalam dimensi ini, adalah Wujud Intelek. Dia terus mengembangkan ide (ilmu-Nya) dalam aneka kreasi. Dia terus berpikir, tanpa henti, secara absolut tanpa ujung (infinity). Karenanya, manusia adalah makhluk, yang jika ingin eksis dalam kosmik yang terus mengembang, juga harus mengikuti sifat Tuhannya. Seseorang harus terus mengembangkan dirinya. Harus terus berfikir, tanpa henti. Harus selalu berkreasi.

Akalnya tidak boleh berhenti. Harus dibiarkan bergerak, tanpa ujung. Pertanyaan demi pertanyaan harus terus diajukan, guna menemukan hal-hal baru. Dialektika mesti dibangun. Emanasi akal harus terus dilanjutkan. Sekolah-sekolah harus didirikan, guna melatih berpikir. Teknik critical thinking perlu diajarkan. Untuk menjelajah dunia, akal harus panjang. Untuk menguasai bisnis dan politik misalnya, banyak cabangan ilmu yang perlu dikuasai. Mata manusia harus dibuka, untuk melihat berbagai kondisi yang berkembang di tengah masyarakatnya. Ia mesti mampu menjangkau berbagai elemen di alam semesta dan memanfaatkannya. Untuk menjadi Khalifah Allah, IQ-nya harus tinggi.

Perjalanan intelektual adalah perjalanan untuk memperluas cakrawala berpikir. Karena itulah lahir banyak pemikiran. Lahir banyak agama, filosofi, mazhab dan aliran. Itu konsekwensi berpikir dan keniscayaan dari keragaman daya nalar. Melalui sistem berpikir “ke luar” (hushuli), manusia dididik untuk memperluas jangkauan objek selidikan melalui kekuatan akal dan inderawi. Dengan berpikir bebas, tidak hanya intelek, egonya ikut membesar. Tidak sedikit yang semakin arogan secara intelektual.

Pada level ini, manusia terdorong untuk “speak up”, bebas mengutarakan. Bebas memprotes. Bebas memberontak. Bebas mempertanyakan. Sebagaimana frasa “aku berpikir maka aku ada”, Rene Descartes (1596-1650). Atau “aku memberontak maka aku ada”, Albert Camus (1913-1960). Manusia terus bergerak ke luar untuk ingin dikenal. Manusia mencari popularitas, tanpa batas. Ia terjebak di jalan tanpa ujung. Entah kemana ia akan pergi. Kita tidak tau, dimana ia akan berhenti. Karenanya, kekuatan berpikir, dalam banyak hal telah membuat manusia sakit dan berpenyakit. Resah, skeptis dan was-was. Energinya bocor, habis kemana-mana.

Inilah kelebihan, sekaligus masalah, dari bentuk berpikir deduktif, dari universal ke partikular. Manusia terus melakukan perjalanan “ke luar”, tanpa ujung. Ia membangun skeptisisme, tanpa batas. Bahkan ia sampai jauh sekali dari dirinya sendiri, dari Tuhannya. Kecerdasannya memang telah membuat ia mampu meramu aneka cabang konsep tentang Tuhan. Lewat sistem berpikir, manusia mampu pengetahuan rasional tentang alam. Ilmu kalam/tauhid (syariat) lahir dari bentuk-bentuk kecerdasan aqliyah ini. Lewat kekuatan menghafal, menafsir, berpikir, ijma dan qiyas; manusia terus berargumentasi. Ia begitu memahami Tuhan, dalam 1001 ragam dalil, tafsir dan pemikiran. Tapi tidak pernah sekalipun melihat dan berjumpa dengan-Nya.

Pada ujungnya, manusia seperti tersesat di persimpangan jalan dan aneka pemikiran. Ia terus merangkak. Terus berteori. Terus berdebat. Terus menulis. Terus berkarya. Tapi tidak pernah bisa kembali pulang ke “rumah” Nya, ke pusat spiritualitas dirinya. Konon lagi, sistem pendidikan kita terjebak dengan metodologi pemikiran barat yang rasionalis-materialis, yang terus mendorong manusia menuju transendensi yang nihilis.

Disinilah kemudian diperlukan sistem berpikir lainnya, sebagai penyempurna atau penyeimbang. Manusia harus dibantu, agar tidak terlalu jauh berjalan, sehingga tidak tau cara pulang. Manusia harus dibimbing secara khusus, agar menemukan apa yang paling dicari dalam hidupnya, yang sebenarnya itu bersemayam, immanent dalam dirinya. Yaitu, Allah. “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaaf : 16). Disinilah muncul para nabi dan sufi, untuk mengedukasi satu cara berpikir lainnya, sehingga manusia tidak tersesat dalam “kekosongan” pemikiran.

Berpikir “Ke Dalam” (Hudhuri)

Jadi, dengan berfikir “ke luar”, seseorang akan cerdas secara intelektual. Tapi tidak akan cerdas secara spiritual. Dengan berfikir, ia mungkin akan banyak mengetahui konsep tentang-Nya, tapi tidak tercerap dalam keindahan Dzatnya. Akal tidak akan pernah membuat kita berjumpa dengan Allah. Justru membuat kita hangus dan gosong, semakin jauh dan melebar dari celupan Allah.

Satu-satunya cara untuk berjumpa, mendekat dan lebur dengan Allah adalah dengan “mati”. Karenanya, mati dianggap sebagai jalan untuk kembali kepada Allah. Walaupun tidak semua yang mati akan berjumpa Allah. Mungkin akan di azab terlebih dahulu. Dunia telah membawa seseorang terlalu jauh dari Allah. Kematianlah yang dianggap dapat membawanya pulang.

Pertanyaannya, apakah harus menunggu mati untuk bertemu Allah? Kalau demikian halnya, para nabi tidak perlu bersusah payah memperlihatkan ketauladanan kepada kita, bagaimana mereka bisa bertemu Allah jauh hari sebelum mereka wafat. Bertemu Allah harus dipastikan sejak sebelum mati. Sehingga, setelah mati, seseorang akan langsung bersama Allah. Tiket ke surga harus dipastikan dapat sejak awal. Jangan berspekulasi, bahwa saat mati akan langsung ke surga. Allah itu “pasti” (Haqq). Pastikan sejak di dunia sudah bersama-Nya. Kalau di dunia belum pasti bertemu, konon lagi di akhirat. Itu pelajaran beragama dari para nabi.

Karena itu, langkah metodologis yang dapat ditempuh untuk menuju Allah adalah “mati sebelum mati”. Mutu qabla anta mutu (hadis). Yang dimatikan adalah “otak” (akal/pikiran). Sebagaimana halnya orang mati; mereka baru akan kembali kepada Allah ketika otak, akal dan pikirannya tidak hidup lagi. Siapapun yang saat masih hidup bisa ‘mematikan’ akal dan pikirannya, ia punya potensi untuk berjumpa dengan Allah. Dia tidak ada di depan pikiran kita. Dia tersembunyi di belakang pikiran kita. Kalau kata ahli irfan, “Allah tersembunyi di belakang mata hitammu”. Dia dekat sekali. Tapi tidak terlihat lewat mata dan penglihatan biasa. Perlu bashirah, mata spiritual, untuk menjangkau Dia di kedalaman diri kita.

Itulah yang dalam bahasa sufistik disebut “meditasi” (berfikir terfokus), yang dibarengi kontemplasi (rabithah) dan invokasi (zikir). Ini teknik untuk berfikir atau melihat “ke dalam”. Kekuatan fikir harus terpusat ke wujud diri. Gerak akal harus dipersempit. Perjalanan berfikir harus memusat ke kedalaman jiwa. Bahkan matapun harus ditutup, agar kemampuan observatif empiris menjadi hilang. Sebab, Dia bukan lagi Wujud luaran di ufuk alam (Realitas eksternal). Ruh Ilahi adalah Realitas internal (anfusihim), sesuatu yang harus ditemukan di kedalaman jiwa.

BACA: TUJUH LANGKAH MENJADI MISTIKUS

Dalam kajian sebelumnya, “Tujuh Langkah Menjadi Mistikus”, kami telah menjelaskan. Untuk menuju Allah, yang dalam ontologi sufi dipercaya sebagai Realitas internal, pikiran harus difokuskan dan disederhanakan. Pikiran bekerja seperti gunung berapi, yang selalu panas dan bergemuruh. Atau seperti laut yang penuh badai dan gelombang. Atau seperti burung liar, yang terbang kesana kemari. Bahkan sampai tersesat jauh. Bayangkan, betapa kacaunya shalat Anda ketika pikiran menerawang entah kemana-mana. Harusnya itu menjadi momen khusyuk dan perjumpaan, terfokus hanya kepada Allah saja. Tapi itu sulit terjadi.

Saat melaksanakan shalat, Anda tidak akan menggunakan teknik pembelajaran konvensional, yang bertujuan mengasah ranah kognitif. Sholat bukan untuk menghidupkan kekuatan pikiran yang analitis, sintesis dan evaluatif. Shalat bukanlah ibadah untuk menyusun kalimat skripsi, tesis atau disertasi. Itu semua pekerjaan yang membutuhkan gelombang kesadaran Beta, yang fokus dan kritis. Shalat kita akan kacau sekali kalau sibuk digunakan untuk berpikir. Justru, saat shalatlah kita berhenti berpikir dan berimajinasi. Daya hayal harus di stop. Pikiran harus dibawa rileks ke level Alfa, bahkan ke level “light sleep”. Biarkan Ruh yang aktif bekerja.

Inilah perjalanan spiritual, yang biasa dipraktikkan para sufi. Berfikir meditatif merupakan salah satu teknik untuk mencapai makrifat. Shalat lima waktu adalah salah satu aspek kecil dari zikir. Shalat itu, 5 atau 10 menit sudah selesai dikerjakan. Ada teknik zikir lain yang dapat dilakukan selama berjam-jam, berhari-hari dan berminggu-minggu, bahkan tanpa henti (“Shalat Daim”, QS. Al-Ma’arij: 23). Baik dilakukan sendiri-sendiri, maupun berjamaah (dalam suluk/khalwat). Nabi Muhammad SAW rutin melakukan ritual ini di Gua Hirak, ataupun di kamar rumahnya. Kalau teknik zikir sudah kuat, baru shalat formal bisa tegak. Shalat itu adalah usaha untuk mengingat Allah, Tuhan yang pernah dijumpai. Kalau belum pernah dijumpai, tentu sulit untuk diingat.

Untuk menjumpai Allah , teknik zikir (inner journey) harus dikuasai. Diawali dengan menjinakkan pikiran. Kehadiran hati harus diutamakan. Pikiran, beserta seluruh panca indera pendukungnya, harus diikat, dan didorong untuk melihat ke dalam diri. Keseluruhannya di bawa ke satu titik, yang disebut “qalbu”. Ada titik pada diri manusia yang menjadi pusat kehadiran. Inilah titik “ba”, titik tunggal ketuhanan, tempat berkumpulnya segala keragaman. Perjalanan menuju Allah adalah perjalanan mikraj, dari keragaman dan partikularitas wujud menuju kesatuan. Seluruh panca indera dan pikiran harus dipusatkan pada dimensi tunggal yang menjadi “pintu” masuk lebih dalam ke dimensi ketuhanan.

Makanya, Khidir melarang Musa banyak bertanya (lihat kisah mereka dalam QS. Al-Kahfi 60-82). Pertanyaan adalah instrumen untuk membuka pikiran kritis, untuk memahami keragaman dunia ciptaan. Pertanyaan merupakan instrumen riset dalam kajian filosofis, syariat, sains sosial dan alam. Pikiran diperlukan untuk memahami aneka partikularitas dan menerjemahkan hukum.

Sementara, untuk menuju Tuhan, mulut harus di kunci. Pikiran harus disatukan. Makanya, dalam dunia tasawuf hakiki tidak ada kajian, debat dan diskusi. Yang ada hanya praktik dan pengamalan. Yang ada hanya ada dan kepatuhan. Tidak boleh menulis dan membaca. Harus “ummi”. Bersikap bodoh saja dihadapan “Orang Tua”, Nabi, Syaikh, Guru Mursyid atau Master Spiritual Anda. Dalam konteks ini, “diam adalah emas”. Sami’na wa atha’na.

BACA: MENGENAL TIGA JENIS TASAWUF

Karena tidak memahami cara kerja pikiran dalam mengakses pengetahuan dalam dua pola ini (hushuli dan hudhuri), orang-orang kemudian menuduh tarikat dan sufisme sebagai pembodohan. Sebab mematikan akal pikiran, dan melestarikan kemiskinan. Iya, Anda akan menjadi sufi yang bodoh kalau akal tidak dipergunakan sama sekali dalam melihat fenomena dunia. Dunia harus dihadapi dengan strategi dan taktik. Dan itu butuh pemikiran. Meskipun yang namanya “kemenangan” (muflihun), butuh pertolongan Tuhan.

Pun, Anda akan menjadi saintis dan akademisi yang sesat dan arogan, tidak pernah merasakan kehadiran Allah ketika hidup di dunia, jika hanya akal pikiran saja yang diaktifkan. Tanpa pernah menempuh “tariqah zikrullah”, yang melatih cara berpikir induktif dari aneka partikularitas alam kejadian (Wahidiyah) ke universalitas ide awal (Ahad); manusia akan binasa. Konon lagi jika terjebak dengan epistemologi yang kita terima dari barat, yang cenderung meniadakan pelatihan aspek-aspek ruhiyah. Maka, cara berpikir “ke dalam” (hudhuri) pasti akan kita tolak. Karenanya, banyak ilmuan Islam yang kini menjadi ateis. Mahasiswanya juga begitu. Sebab, mereka hanya belajar teknik fikr (hushuli). Tanpa mencari ruang untuk mengolah zikr (hudhuri).

Karena itu, banyak filsuf dan fuqaha Islam, yang akalnya cerdas-cerdas, kemudian menempuh jalan sufisme, mencari Guru spiritual untuk menyempurnakan metode belajar. Sehingga, selain menguasai konsep-konsep agama lewat nalar; mereka juga punya kemampuan untuk mendekati Tuhan melalui teknologi berfikir intuitif iluminatif (perjalanan jiwa). Banyak ilmuan muslim era awal yang menguasai ke dua bidang ilmu ini, “hushuli” sekaligus “hudhuri”. Mereka saintis, sekaligus mistikus. Karena itulah lahir karya-karya agung dari dua metode berfikir ini. Bukan otak mereka saja yang berfikir aktif. Pada titik tertentu, melalui sistem berpikir “ke dalam”, justru Tuhan yang akan meminjam otak mereka untuk berpikir. Tuhan sendiri yang akan berbicara melalui lisan mereka.

BACA: REFOCUSING KESADARAN, DARI “AKU BERPIKIR” KE “AKU DIBERI TAU OLEH TUHAN”
BACA: POSISI AQAL DALAM HUKUM ISLAM

Melalui metode hudhuri, Islam menjadi “agama dialogis”. Bukan meditatif dan monologis an sich. Allah bisa diajak berbicara, dalam aneka gelombang dan bahasa. Untuk menjadi Khalifah Allah, seseorang harus mampu berkomunikasi dengan Allah. Wakil Tuhan adalah orang yang konek dengan Tuhan. Jangan banyak bicara Tuhan, kalau tidak tau Tuhan ada dimana. Karenanya, ulama disebut orang yang dekat dengan Tuhan. Itupun kalau otentik martabat ke-ulama-annya. Kalau hanya belajar lewat metode hushuli saja, banyak orang yang jadi pseudo-ulama, pseudo sufi, ataupun pseudo-intelektual.

BACA: BERAGAMA, DARI MONOLOG KE DIALOG

Kesimpulan

Pentingnya kedua corak sistem berpikir ini dapat dilacak dalam surah Fuṣṣilat ayat 53:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru (ufuk) dan pada diri mereka sendiri (anfusihim) sehingga jelaslah bagi mereka bahwa itu adalah Kebenaran. Tidak cukupkah bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu” (QS. Fuṣṣilat: 53)

Menurut ayat ini, realitas Kebenaran/Pengetahuan (Al-Haqq) ada dua: “eksternal” (pada sisi realitas alam, ‘afaqi) dan “internal” (dalam diri manusia, anfusihim). Para filsuf dan ilmuan muslim, termasuk sufi, menekankan penggunaan dua metode berbeda untuk mengakses dua wujud kebenaran ini. Untuk menjangkau wujud sebagai realitas eksternal, digunakan teknik berpikir “ke luar” (metode empiris-rasional/hushuli). Ini digunakan oleh para agamawan teoritis, saintis dan ilmuan sosial. Sedangkan, untuk menjangkau wujud Allah sebagai realitas internal (Ruh), digunakan teknik berpikir “ke dalam” (metode zikir/meditatif-iluminatif). Ini digunakan oleh para mistikus atau spiritual researcher.

Sebagian ilmuan muslim adalah saintis, sekaligus sufi. Mereka menggunakan kedua metode ini. Sebab, kebenaran itu, selain ada disisi luar; pada saat bersamaan ada di dalam diri manusia. Manusia adalah replika dari kosmos (miskro). Tuhan (Pengetahuan) yang ada di “luar” sana, sesungguhnya juga ada di “dalam” sini. Siapa yang mengenal diri, akan mengenal Tuhannya. Siapa yang mampu berbicara dengan Ruh Ilahi, akan mampu mengakses aneka pengetahuan yang meliputi alam semesta.

Yang terakhir ini, ilmu hudhuri”, sebenarnya bukan metode “berpikir”. Malah menegasikan pikir. Sebagaimana bunyi hadis, “Tafakkaru fi kahlqillah, wala tafakkaru fi Dzatillah”. Potensi pikir hanya berfungsi ketika digunakan untuk objek eksternal alam. Berpikir hanya efektif digunakan untuk meneliti wujud ciptaan Tuhan (kosmos/khalqillah/alam fisika). Sementara, untuk mencerap wujud alam metafisika murni (Dzatillah), sebagaimana telah kita bahas, itu tidak bisa dengan akal. Harus dengan qalbu. Seluruh potensi pikir harus dibawa turun ke alam jiwa.

Kekuatan Ruh inilah yang mampu membawa manusia melampaui penjuru langit dan bumi, bisa sampai kepada pengetahuan dan perjumpaan dengan Allah SWT. Puncak pengetahuan adalah perjumpaan dengan Tuhan. Pada tahap pertama, Dia dengan segala sifatnya diketahui ada melalui metode berpikir (hushuli). Kedua, wujud bisa dirasa dan dijumpai, melalui metode zikir (hudhuri).

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
FOLLOW US
:
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

5 thoughts on ““HUSHULI” DAN “HUDHURI”: DUA TEKNIK BERPIKIR DALAM PEROLEHAN PENGETAHUAN

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

"IHSAN": MELIHAT DAN DILIHAT

Fri Jun 30 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.