بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَطِيۡـعُوا اللّٰهَ وَاَطِيۡـعُوا الرَّسُوۡلَ وَاُولِى الۡاَمۡرِ مِنۡكُمۡۚ فَاِنۡ تَنَازَعۡتُمۡ فِىۡ شَىۡءٍ فَرُدُّوۡهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوۡلِ اِنۡ كُنۡـتُمۡ تُؤۡمِنُوۡنَ بِاللّٰهِ وَالۡيَـوۡمِ الۡاٰخِرِ ؕ ذٰ لِكَ خَيۡرٌ وَّاَحۡسَنُ تَاۡوِيۡلًا
“WAHAI orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasulnya jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. An-Nisa: 59).
Ketaatan kepada Allah itu sinonim dengan ketaatan kepada Rasul. Sementara, untuk taat kepada Rasul, diperoleh dengan cara berwasilah kepada “Ulil Amri”. Ulil Amri bukanlah pemimpin sembarangan. Ulil Amri adalah waris Rasul, pemilik sanad ruhaniah, pemegang kuasa spiritual, pemimpin yang membawa serta ruhani sang Nabi.
Karena itu, dalam mistisisme Islam, usaha untuk menjangkau Allah diperoleh dengan vara menemukan Ulil Amri sebagai wasilah. Sehingga ruhani sang mistikus terhubung kembali dengan Rasulullah. Kalau itu terjadi, maka otomatis akan mengalami “kontak” dengan Allah.
Jika ini terjadi, maka seseorang akan punya kecerdasan “laduniah”. Setiap terjadi perbedaan pendapat, mereka bisa “kembali” kepada Allah/Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya langsung yang memutuskan sebuah perkara, melalui bahasa-bahasa spiritual tertentu. Ini sangat mungkin terjadi. Sebab, tidak ada jarak lagi antara seorang hamba dengan Allah dan Rasul-Nya. Inilah misalnya, yang disebut Al-Ghazali sebagai muraqabah. Sebuah bentuk keterhubungan ruhani seorang mukmin dengan Allah dan Rasul-Nya, melalui wasilah dengan Ulil Amri-Nya.
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
