Jurnal Suficademic | Artikel No.116 | Desember 2023
DI BARAT SEMUANYA SERIUS, DI TEMPAT KITA SEMUANYA LUCU
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Coba perhatikan cara kita, atau cara kawan-kawan kita menceritakan sesuatu.
Saat menceritakan bahwa kita lagi susah, kita tertawa. Saat menceritakan bahwa kita lagi kekurangan uang, kita tertawa. Saat menceritakan bahwa kita baru ditipu orang, kita tertawa. Saat menceritakan kita kalah politik, kita tertawa. Mungkin karena itulah kita selalu susah, miskin, kena tipu dan kalah terus. Sebab, kita seperti bahagia dengan hal-hal semacam itu.
Disatu sisi, itu pertanda kita mampu menerima semua kejadian. Disisi lain, rasa bahagia saat menceritakan hal-hal seperti itu akan selalu menarik hal tersebut untuk terus terjadi. Orang Asia rata-rata begitu. Suka tertawa saat menceritakan hal-hal yang seharusnya dieskpresikan dengan cara prihatin. Tapi kita sering membuat semua kejadian sebagai lelucon.
Berbeda dengan orang Barat. Mereka tertawa hanya saat menceritakan hal-hal lucu saja. Jarang, bahkan tidak pernah tertawa saat menceritakan hal-hal yang sepatutnya sedih. Mungkin karena itulah mereka lebih produktif. Cara mereka menceritakan sebuah masalah, seolah-olah seperti sedang melakukan evaluasi, sedang berusaha untuk menghindari agar itu tidak terulang lagi.
Suatu ketika, saya menceritakan kejadian tsunami kepada seorang tamu dari Amerika. Seperti biasa, saya berusaha untuk lucu. Memang banyak dari kita yang menceritakan musibah besar semacam tsunami dalam perspektif humoris. Kisah orang-orang yang selamat dari gelombang air, semua kita ceritakan dengan unsur-unsur lucu.
“Suatu ketika, disebuah tenda pengungsian, saya bertemu sekelompok laki-laki yang terus menerus menangis”, saya bercerita. “Ternyata, mereka semua telah kehilangan istrinya dalam gelombang tsunami”, saya menerangkan. “Tapi, anehnya, dalam kelompok itu ada satu cowok yang juga ikut menangis, padahal saya tau istrinya masih hidup. Waktu saya tanya, kenapa menangis? Bukankah istri kamu masih hidup?” Dia menjawab, “Itulah masalahnya, saya sedih sekali, kenapa dia bisa selamat. Padahal saya sudah lama ingin kawin lagi”.
Si tamu ini, sejak awal mendengar cukup serius. Sampai kemudian dia menyela keras, “What is funny, Munir!”. Dia marah dan menghardik, “Apanya yang lucu?!”. Sedari awal wajahnya menunjukkan ekspresi sedih. Dia marah, karena cerita seperti tsunami dibuat jadi lucu.
Orang bule memang begitu. Hidupnya terlalu serius. Mungkin karena itu pula mereka cepat maju. Walaupun stressnya juga tinggi. Beda dengan kita, semuanya lucu. Karenanya, tingkat kebahagiaan kita tinggi sekali. Meskipun susah maju.
Namun demikian, sesekali kita perlu mengevaluasi mana hal-hal yang dapat menjadi bahan untuk lucu, mana yang tidak. Kita memang butuh kemampuan untuk mentertawakan diri sendiri. Sebab, itu sebuah kecerdasan tersendiri, selain juga sebagai bentuk “self-healing”. Bosan juga kita berteman dengan orang yang tidak ada lucunya sama sekali. Namun, kita juga harus belajar secara serius cara mengambil pelajaran terhadap sebuah kejadian, sehingga itu tidak berulang; dengan demikian, akan memberi perubahan bagi kehidupan.
Penutup
Saya tidak tau, kenapa kita suka tertawa. Semua hal cenderung menjadi bahan tertawaan. Tapi ada yang mengatakan begini. Hidup ini, kalau susah, pasti membuat kita sedih dan menangis. Tapi, kalau level susahnya sudah terlalu tinggi dan keseringan, itu akan membuat kita tertawa. Sepertinya, itulah yang terjadi dengan bangsa kita. Rakyat Indonesia suka tertawa, bukan karena bahagia. Melainkan karena sudah terlampau susah!
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.