Jurnal Suficademic | Artikel No. 125 | Desember 2023
SIRATAL MUSTAQIM
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Diriwayatkan, “Siratal Mustaqim” adalah sebuah jalan yang membawa manusia ke surga. Jalannya halus sekali. Sehalus rambut yang dibelah tujuh. Di bawahnya ada neraka.
Pertanyaannya, memang ada jembatan sehalus rambut? Konon lagi dibelah sampai tujuh. Kalaupun ada, mana mungkin bisa dilewati. Se-saleh apapun Anda, langkah pertama sudah pasti jatuh ke bawah. Apalagi sudah tua. Tidak mungkin kaki manusia bisa menginjak jembatan sehalus itu. Kelihatan pun tidak. Apalagi katanya ada yang merangkak-rangkak di atasnya. Belum lagi kalau kita bahas kekuatan rambut. Memang ada rambut yang kuat, yang bisa menahan banyak orang yang berjalan di atasnya?
Kalau membantah betapa tidak rasionalnya cerita seperti ini, kita bisa dituduh sesat. Kita bukan membantah ceritanya. Hanya saja, doktrin-doktrin agama seperti itu perlu dibedakan, apakah metafora atau realita. Dalam agama banyak sekali cerita kiasan. Khususnya terkait akhirat dan ontologi spiritual. Perlu kemampuan untuk memahaminya secara rasional, sehingga dapat diambil pelajaran secara kontekstual.
***
Dunia ini adalah “jembatan”, titian menuju surga. Jembatan ini sangat “halus”. Penuh tipuan. Kiasannya, “sehalus rambut yang dibelah tujuh”. Hampir tidak terlihat. Bahkan mustahil untuk diketahui lewat ilmu biasa. Mustahil bisa terlihat lewat mata biasa. Kecuali seseorang punya “mata bashirah” (mata batin) untuk menjangkaunya. Begitu halus tipu daya dunia. Yang kita kira baik, belum tentu baik. Yang kita sangka benar, belum tentu benar. Salah ambil keputusan, langsung jatuh, masuk neraka.
Jalan yang bisa membawa kita ke surga adalah “jalan yang lurus” (siratal mustaqim). Makna “lurus”, bukanlah lurus seperti jalan tol. Melainkan tidak bercampur dengan kebatilan. Kebenarannya jelas. Bebas dari keburukan. Tidak terbelit dengan kemungkaran. Tidak dipenuhi setan. Tidak mengandung unsur haram. Tidak abu-abu. Kebenarannya mutlak, objektif.
Sangat sulit menemukan “jalan yang lurus”, jalan yang kebenarannya mutlak (haqqul yakin). Sebab, ilmu yang kita miliki masih berkutat pada wilayah persepsi, tafsir atau pemikiran (ainul yakin). Banyak dari kita yang tersesat karena ragam mazhab pemikiran. Sedangkan kebenaran, hakikatnya itu tidak berasal dari akal dan pemikiran. Melainkan dari Tuhan. “Alhaqqu min rabbik”.
Karena itulah, jalan menuju kebenaran yang hakiki (yang bisa membawa kita secara langsung dan cepat kepada Alhaqq) “halus” sekali. Jalan ini tidak mungkin kita temukan secara mandiri lewat akal pikiran. Melainkan harus dengan bantuan langsung dari Allah. Karena itulah kita selalu berdoa: “ihdinash shiratal mustaqim” (QS. Al-Fatihah: 6). Kita meminta untuk “diberi petunjuk”, mana yang benar atau baik.
***
Niat baik, itu “relatif” baik. Sebab; niat itu berasal dari mental, akal atau pikiran kita. Karena itu, niat baik belum tentu “mutlak” baik. Kecuali, niat tersebut telah Allah setujui (ridhai) bahwa itu memang baik. Yang baik itu adalah apa yang baik menurut Allah, bukan yang baik menurut niat dan pikiran kita.
Jadi jelas, kebenaran dan kebaikan itu “halus” sekali. Hanya Allah yang tau mana yang absolut benar/baik. Kita tidak tau. Kita boleh saja berpikir dan memutuskan sesuatu yang baik menurut selera, nafsu, akal dan kepentingan kita. Menurut Allah belum tentu itu baik dan benar. Karenanya diperlukan ilmu untuk memperoleh “hidayah”, sehingga seseorang bisa mengetahui kebenaran dan kebaikan sesuai pikiran dan selera Tuhan.
Para nabi adalah orang-orang yang telah diberi petunjuk untuk mengetahui “jalan yang lurus” (kebenaran mutlak). Kepada mereka telah diberi metode untuk mengakses informasi/kebenaran secara langsung dari sisi Allah. Jiwa mereka telah ditempa sedemikian rupa lewat berbagai riyadhah spiritual, sehingga menjadi mahir dalam memahami aneka vibrasi pesan (wahyu/ilham) yang sangat “halus”, yang turun langsung dari dunia Ilahi. Itulah “nikmat” dari agama, dibukanya akses untuk menjadi dekat sehingga bisa memperoleh petunjuk secara langsung dari Allah. “Shiratal ladzina an’amta ‘alaihim.. ” (QS. Al-Fatihah: 7).
Dalam dunia tasawuf dijelaskan berbagai kemampuan seseorang untuk mengakses Tuhan. Manusia punya ruh, yang bisa diperjalankan secara sangat cepat untuk terkoneksi dengan Allah. Namun perjalanan mikraj ini tidak bisa dilakukan secara mandiri. Butuh alat transportasi. Ruh manusia memerlukan wasilah berupa “burak” (kilat/cahaya). Mereka yang tersambung dengan “burak”, akan tiba dengan sangat cepat di “surga”. Bahkan belum sekejap mata, sudah tiba disisi Allah SWT.
Itulah kenapa dalam cerita “titian siratal mustaqim”, dikisahkan tentang orang-orang yang hanya dalam sekejap sudah mampu melewati jembatan. Pada saat yang lain justru terjatuh ke neraka, dan sebagian lainnya terseok-seok dalam periode tidak terhingga untuk bisa sampai kepada Allah (surga).
Kisah ini tidak terjadi di akhirat nanti, melainkan sekarang, di dunia. Ada dimensi akhirat di dunia ini. Artinya, sebagaimana pengalaman para nabi, Allah bisa diakses sejak kita berada di dunia. Ada “titian” (jebakan-jebakan halus) yang mesti kita lewati untuk tiba ke dimensi surga. Untuk melewatinya dibutuhkan alat “teleportasi ruhani” berupa Cahaya Ilahi.
Karena itu, siapapun yang menemukan “Jalan Lurus”, “Wasilah”, “Burak”, “Nurun ‘ala nurin”, “Nur Muhammad” atau “Waliyammursyida”; dia pasti bisa dengan cepat dan mudah mengakses alam Rabbani (alam makrifat). Tanpa wasilah ruhaniah (petunjuk ke jalan yang lurus), kita bisa dimurkai dan sesat. Bisa terseok-seok di muka bumi. Salah-salah, nyemplung ke neraka.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.
#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twitter: twitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
Terima kasih.
Terimakasih penjelasannya Bang Said, mau nanya Bang cara yg kongkrit biar bisa menemukan Waliyammursidda yg benar bagaimana ya Bang, sementara kan kita tau sudah ada banyak sekali Tariqat di Indonesia? Terimakasih Bang Said.