ISLAM, TASAWUF DAN “DOCTOR OF PHILOSOPHY”

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No. 10 | Januari 2024

ISLAM, TASAWUF DAN “DOCTOR OF PHILOSOPHY”
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Sufi bukanlah orang bodoh, atau orang-orang yang telah kehilangan daya pikir. Sufi adalah orang-orang yang berpikir sungguh-sungguh tentang Tuhannya. Lalu menempuh jalan untuk menemukannya. Kalau ingin membayangkan sufi, dalam wujud sempurna, bayangkan sosok nabi. Nabi adakah sosok yang berpikir, sekaligus mampu mencapai tahap akhir dalam riset spiritual mereka: menemukan Tuhan!

Karena itu, kalau malas berpikir. Itu bukan sufi. Itu sufi abal-abal. Sebab, sufi adalah sejatinya manusia, yang hidup dengan nalar budi. Meskipun nanti kita akan tau, bahwa metode berpikir tidak akan membawa manusia pada pertemuan hakiki dengan Wujud ontologi (Dzat) dari Tuhan. Namun demikian, melalui proses berpikir yang rasional, secara epistemologis diketahui bahwa Tuhan itu ada. Dan mengetahui bahwa Tuhan itu ada, adalah pra-syarat sebelum menempuh langkah pembuktian lebih lanjut, bahwa Dia bisa dijumpai.

Karena itu, sempurnanya seorang sufi lahir dari rahim dua metode besar ini: falsafi dan makrifati.

Tasawuf Falsafi

“Tasawuf falsafi” adalah tasawuf teoritis atau tasawuf syariat. “Apakah Tuhan itu ada?”, itu contoh pertanyaan untuk dijawab dalam tasawuf teoritis. Lalu dibangun kerangka pemikiran terkait ini. Digali teori. Dicari dalil dan referensi. Tasawuf falsafi adalah “kajian” tentang tentang Wujud: apakah Dia itu ada atau tidak. Kalau ada bagaimana Wujudnya, dan sebagainya.

Dalam tradisi riset ilmiah, semua “wacana falsafi” ini tertuang dalam Bab pertama dan Bab kedua. Di Bab 1 “Pendahuluan”, Tuhan masih sebagai fenomena (misteri). Di Bab 2 “Kajian Pustaka”, Tuhan sudah ditemukan dan pahami. Tapi dalam wujud teks, konsep atau teori. Bisa jadi Dia dipahami dalam konsepsi uluhiyah, rububiyah, wujudiyah, ahadiyah, wahidiyah, isyraqiyah, dan lain sebagainya. Setidaknya, keberadaan-Nya sudah dipercayai ada dalam aneka “argumentasi” filosofis-syariatis.

Tasawuf Makrifati

Sedangkan “tasawuf makrifati” adalah tasawuf praktis. Tasawuf ini diawali dari Bab 3 dalam riset ilmiah. Pada fase atau makam ini, sudah dicari dan tentukan, “metode” (tarikah) apa yang bisa digunakan untuk menemukan (membuktikan secara langsung) keberadaan Wujud yang secara hipotetis/konsepsional telah dipercayai ada di Bab terdahulu.

Karena itulah, dalam dunia Islam, “tarikah” dikenal sebagai sebuah metode verifikasi. Pada tahap tarikah, seseorang tidak lagi berargumentasi. Perdebatan dan kajian teoritis sudah ditutup. Dialektika dalil dan pemikiran sudah selesai pada level filosofis dan syariat (di Bab 1 dan 2).

Di Bab 3 diajarkan bagaimana mengoperasikan diri, serta berbagai alat/media yang ada, untuk menemukan Tuhan. Bab 3 sudah masuk wilayah amaliyah praktis. Tidak lagi banyak berpikir. Bahkan pada titik tertentu, tidak berpikir sama sekali. Fisik mulai melakukan mujahadah besar. Dalam hal ini, jiwa seseorang juga mulai “berjalan” (melakukan sayr wa suluk) untuk melacak Wujud Tuhan.

Paska mengoperasikan seperangkat metodologi ini, baru terungkap pelan-pelan, apa yang sebelumnya menjadi “dalil kepercayaan” (konsep hipotetis). Perlahan, seorang peneliti merasakan vibrasi dan gelombang ketuhanan. Dia mulai merasakan secara langsung bagaimana semua Wujud itu hadir kehadapannya. Bahkan ke dalam dirinya. Mulai ditemukan fakta-fakta baru tentang dunia Ilahi, melalui pengalaman yang bersifat observatif-empirik-iluminatif. Setidaknya seorang peneliti bisa mengkonfirmasi tentang dalil dan persepsi yang sebelumnya telah berkembang dalam otaknya. Itulah isi Bab 4 dalam riset ilmiah, yang mengungkap “hakikat” (fakta wujud/temuan langsung).

Baru kemudian, semua temuan itu disimpulkan, sebagaimana termaktub di Bab 5. Bab terakhir ini berisi pesan-pesan atau “dalil makrifat” yang lahir dari proses pembuktian secara langsung. Makrifat adalah ilmu yang lahir dari perjalanan riset, setelah menempuh sebuah metode secara sempurna. Makrifat bukanlah ilmu hafalan. Melainkan pengetahuan yang lahir dari pengalaman dan pembuktian secara langsung.

Jadi, disatu sisi, ayat-ayat Quran adalah “dalil” filosofis-syariat. Namun, semua teori qurani adalah dalil/argumentasi yang bernilai baharu. Baru akan bernilai makrifati (penuh mukjizat), ketika dalil itu bisa diverifikasi/ditemukan kembali Wujud hakikinya di alam rabbani. Untuk mencapai makam ini tentu harus menempuh metode tarikat.

Itulah yang dilakukan para nabi. Ketika orang-orang sibuk berdebat tentang kitab, sebagaimana dilakukan para ahli kitab, mereka justru melakukan “khalwat” (riset spiritual) untuk mendownload langsung semua wujud qadim dari ayat, langsung dari sisi Allah. Karenanya, Kitab yang mereka bawa penuh mukjizat. Kalimah-kalimah yang penuh karamah, itu hadir (teregresi) ke dalam diri/jiwa mereka; bukan melekat di lidah, hp, atau tersimpan di lemari rumah.

Agama adalah Riset Ilmiah

Jadi, Bab 1 dan 2 dalam riset ilmiah, berisi tasawuf falsafi dan syariati. Bab 1 penuh dengan pertanyaan filosofis tentang fenomena sebuah wujud yang dicurigai ada. Bab 2 berusaha menggali dalil syariat atau konsep-konsep untuk memahami keberadaan awalnya. Baru kemudian di Bab 3 ditentukan metode (tarikah) untuk membuktikan esensinya. Sampai kemudian di Bab 4 dan 5, diuraikan berbagai temuan (hakikat) serta simpulannya (makrifat).

Karena itulah, tasawuf itu sebenarnya adalah jalan agama untuk menemukan Tuhan. Mulai dari wujud konseptualnya (filosofis-syariat), sampai wujud Dzatnya (hakikat-makrifat). Untuk tahap pertama ditempuh lewat proses aqliyah-burhaniah (Bab 1 dan 2). Tahap terakhir mesti ditempuh dengan metode pembuktian langsung melalui perangkat irfaniah-ruhaniah (Bab 3 dan 4). Sampai kemudian lahir teks/dalil makrifat yang terbaharukan (Bab 5).

Boleh jadi, yang dikonfirmasi adalah dalil-dalil terdahulu. Sebab, ayat tidak berubah. Tapi selama riset, kita akan menemukan Allah, sebagai sumber “powernya”. Itulah tujuan beragama, untuk menemukan akar dari ayat. Yaitu Allah. Ayat itu cuma “tanda” (fenomena/mumkinul wujud). Sedangkan Alah adalah “Wajibul Wujud”-nya.

Agama ini sebenarnya sederhana. Kita tidak hadir dikemudian hari untuk menciptakan agama baru. Agama, sejak Adam as sampai Muhammad saw, itu satu. Agama Islam. Dalil yang dibawa sama, bahwa Allah itu Esa. Itu saja. Masalah bagaimana cara menyembah, itu ada kekhasan masing-masing disetiap era. Bahkan saling mewarisi dan banyak yang serupa.

Masalahnya adalah, bagaimana manusia bisa melakukan applied research tentang Tuhan secara terus menerus (replikatif), disetiap tempat dan zaman. Sehingga wujud Tuhannya bisa ditemukan disepanjang zaman dan tempat. Sehingga Tuhan tidak lagi sebatas konsep dan pemikiran bagi generasi kemudian. Melainkan sebuah Wujud yang bisa ditemukan dan rasakan, dalam setiap gerak kehidupan. Dengan demikian, agama itu penuh kekuatan. Membawa perubahan dan kebaikan.

Islam dan “Doctor of Philosophy”

Dari uraian di atas, kita harus paham bahwa agama adalah “research” dalam 5 Bab. Agama adalah metode untuk perolehan pengetahuan. Dimulai dari proses mengaktivasi potensi inderawi dan akal untuk mencerap sebuah fenomena. Sampai kepada proses aktivasi ruh untuk berinteraksi dengan Noumena (Sang Maha Wujud).

Jadi, Islam itu agama “iqra”. Agama “membaca”. Agama riset dengan semua perangkat epistemologi yang ada (teks, indera, akal dan ruh). Sehingga diperoleh pengetahuan yang sempurna (makrifati). Islam adalah agama yang sepatutnya membawa kita semua menjadi “Doctor of Philosophy”, dalam pengertian maknawi.

“Doctor of Philosophy” adalah gelar strata akademik tertinggi. “Philosophy” berasal dari bahasa Yunani. “Philo” bermakna cinta. “Sophia” artinya hikmah (kebijaksanaan). Martabat tertinggi yang diharapkan dari para penempuh jalan pengetahuan adalah menjadi orang-orang yang “cinta hikmah”.

Tujuan puncak pengetahuan bukan untuk membuat orang cerdas. Iblis juga cerdas. Melainkan untuk mendapat “hikmah”. Hikmah adalah komponen ilmu yang berkeadaban. Hikmah adalah ilmu yang terasa hadir Tuhannya. Tujuan PhD yang sebenarnya adalah itu, membuat seseorang menjadi ahli hikmah. Bukan sekedar melahirkan kaum teoritis atas fenomena sosial dan fisika. Melainkan menjadi kelompok-kelompok terdidik, yang jiwanya tembus ke alam metafisika. Ia bisa merasakan kehadiran Allah dalam semua capaian pengetahuannya.

Apalah arti ilmu, kalau tidak membawa pemiliknya kepada perjumpaan dengan Tuhannya. Apa arti pengetahuan, kalau tidak membawa kita pada hadirnya “ilmu hikmah”. Ilmu hikmah adalah ilmunya Doktor Khizir as. “Doktor” (Doctor) artinya nabi/guru/master. Berasal dari kata latin “docere”. Dari kata ini muncul istilah “doctrin”. Doktor adalah seorang ‘nabi’ (guru/master) penyebar sebuah ajaran/doktrin. Penyebar doktrin bukan cuma harus cerdas (fathanah), tapi juga “bijak”.

Begini. Doktor Khizir punya murid yang sedang menempuh S3, namanya Musa. Pada proses awal riset, si Musa ini banyak sekali bertanya. Sebab, memang seperti itu. Beberapa bab awal kehidupan seorang anak manusia pasti penuh dengan dialektika filosofis-intelektual. Sampai kemudian, Khizir mengajarinya teknik “diam”, untuk mengakses pengetahuan yang lebih dalam. Sehingga Musa benar-benar mampu menyelami esensi dari pengetahuan, sebelum ia berpisah dengan supervisornya. Ini menandakan, sufisme dengan metode iluminatif dalam perolehan pengetahuan sudah ada sejak era para nabi. Jadi, sufisme itu bukan ilmu yang dibuat-buat dikemudian hari.

Baru kemudian, setelah lulus dari universitas hikmah ini, Musa as berhak menyandang gelar “Doctor of Philosophy”. Musa telah berubah. Dari figur ulama angkuh dan banyak celoteh, menjadi nabi (doktor) pecinta hikmah. Tradisi hikmah Musa masih dijalani oleh banyak Yahudi. Jadi jangan heran, kenapa Yahudi cerdas-cerdas. Tradisi iluminatifnya tinggi. Seperti dalam bentuk gnostisisme Kabbalah. Walau dicurigai, tradisi spiritual ini juga banyak diselewengkan dikemudian hari.

Logos atau pengetahuan hikmah, dalam Kristen juga terpersonifikasi dalam sosok Isa as yang diistilahkan sebagai “Hagia Sofia” (Ruhullah/Kebijaksanaan Suci). Nama ini sekarang menjadi sebuah masjid di Istanbul, Turki. Islam, kalau ingin memiliki kecerdasan yang tinggi, tradisi spiritual khas para nabi harus diaktifkan kembali. Bukan cuma dimensi lahiriah syariatnya saja.

Dan diyakini, dari kata “sophia” ini juga lahir kata “sufi”. Sufi adalah “philosophia”, para doktor pencinta hikmah. Sufi adalah orang-orang terdidik, yang memiliki ilmu hikmah. Akademisi yang berjumpa Tuhan. Sosok seperti Socrates, Aristoteles dan Plato yang menjadi rujukan kaum “Sophia”; juga dipercayai oleh banyak ulama sebagai sejumlah nabi dan filsuf yang namanya tidak tercatat dalam Quran.

Pun, kalau Anda pelajari para saintis awal Islam, sebagian besar mereka adalah para filsuf/ilmuan dan juga ahli sufi. Metode akal dan ruhani masih terintegrasi secara sempurna dalam dunia akademik mereka. Mereka sangat ahli dalam mengungkap dasar-dasar pengetahuan serta hikmah. Sebelum kemudian Barat melakukan sekularisasi pengetahuan, dan mengambil alih sistem edukasi sejak abad 17.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-Xx.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

One thought on “ISLAM, TASAWUF DAN “DOCTOR OF PHILOSOPHY”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

REJEKI YANG DITAWARKAN

Sat Jan 13 , 2024
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.