Jurnal Suficademic | Artikel No.10 | Juli 2025
ARTIFICIAL INTELLIGENCE (AI) DAN SPIRITUAL INTELLIGENCE (SI), MEMBUAT MANUSIA SEMAKIN ‘BODOH’
Oleh Said Muniruddin | Rector Suficademic
MEKANIKA dunia fisika, itu serupa dengan sistem dunia spiritual. Dunia fisika adalah bayangan, gambaran, replika, kelanjutan, manifestasi atau tajalli dari dunia metafisika. Langit dan bumi pada dasarnya satu. Hanya terpisah oleh persepsi. Sebagaimana di atas, begitulah di bawah. Apa yang tampak di luar, adalah gambaran di dalam. As above, so below. As within, so without.
Kita hidup di dua alam. Keduanya sama. Dalam wujud berbeda. Coba pelajari kisah Adam di “surga”. Itukan juga gambaran kehidupan di “bumi”. Di surga, Adam makan dan minum. Di bumi juga begitu. Di surga, ia berpakaian dan juga bisa telanjang. Di bumi juga sama. Di surga bersenang-senang dia. Di bumi juga begitu. Bahkan di surga Adam juga berbuat dosa. Di bumi juga tempat kita terkena berdosa. Di surga ada pohon, sungai dan sebagainya. Di bumi juga begitu.
Jadi, dunia “mekanik” dan dunia “spiritual” bekerja dengan cara yang bermiripan. Termasuk mekanisme kerja dalam dunia teknologi dan informasi digital, itu serupa dengan dunia mistik.
Kita ambil contoh dunia artificial intelligence (AI). Itu cara kerjanya mirip sekali dengan dunia spiritual. Dunia AI ini sebenarnya semakin memudahkan kerja manusia. Membantu kita mengakses informasi-informasi tersembunyi bahkan dalam “kelas tinggi”. Spiritualitas juga begitu, kalau dikuasai, akan memudahkan hidup manusia. Kalau terkoneksi dengan “Yang Maha Tinggi”, hidup kita akan mudah.
Masuk dalam dunia spiritual, itu tidak merusak kita. Justru semakin membantu kita. Begitu juga dengan dunia AI tidak menghancurkan kemanusiaan kita. Tapi membantu kerja-kerja manusia. Ada yang percaya, dengan adanya AI, kecerdasan manusia khususnya terkait intelektualitas (AI) akan hancur. Semua akan diambil alih AI. Saya tidak sependapat.
Sesuatu yang membuat manusia menjadi manusia adalah “proses berpikir”. Dalam dunia AI, manusia masih sangat dituntut untuk berpikir. Tugas pertama kita sebagai manusia adalah “berpikir”, dalam bentuk prompt. Disinilah tugas otak kita saat pertama berhadapan dengan ChatGPT, DeepSeek dan teknologi AI lainnya.
Jadi, otak masih berfungsi. Tetap dituntut untuk berpikir. Tidak sepenuhnya diambil alih oleh AI. Tahap pertama dalam berpikir ini merupakan wilayah khas kerja otak manusia. Manusia itu makhluk filosofis. Makhluk bertanya. Sebodoh-bodoh manusia, itu masih bertanya. Bagaimana cara memperoleh jawaban, itu masalah epistemologi. Hanya masalah alat dan metode saja. Untuk mendapatkan jawaban, sekarang alatnya bernama AI. Metodenya “prompting”.
Selanjutnya tinggal kita lempar prompt ke sebuah “mesin artifisial”. Mesin ini yang akan memberi jawaban, membisiki, mewahyukan, mewartakan, menyusun informasi dan kalimat. Begitulah mekanisme kerja dunia mekanistik AI. Tinggal tanya, langsung dijawab.
Dunia spiritual juga begitu. Tugas manusia sebagai makhluk adalah “berpikir” dalam bentuk sangat sederhana, tentang sebuah fenomena ontologis yang ia ingin dapatkan jawabannya. Yaitu bertanya. Karena itu ada ayat, “afala ta’qilun”. Kemanusiaan kita dianggap ada ketika sudah mulai bertanya. Manusia adalah “hewan berakal” (hayawanun nathiq). Seseorang disebut manusia karena berpikir. Bertanya adalah proses berpikir paling sederhana.
Masalah bagaimana cara memperoleh jawaban setelah bertanya, itu hanya masalah epistemologi. Hanya masalah alat dan metode cara memperoleh jawaban. Kebetulan, dalam dunia spiritual juga telah duluan ada alat dan metode untuk mengajukan pertanyaan, lalu terkirim ke sistem dunia malaikat. Sistem artifisial malakut inilah yang kemudian menjawab, menyusun kata, kalimat, paragraf, ilham, wahyu, ayat atau surah. Lalu jawabannya dikirim kembali ke si penanya. Ud’uni astajib lakum! (Qs. Al-Ghafir: 60). “Tanya, pasti kujawab”, kata Allah.
Sama seperti AI, sifatnya “pasti” dijawab, baik secara langsung, ataupun ada jeda dalam menunggu jawaban. Level “pasti” ini akan terjadi kalau kita sudah memiliki dan menguasai teknologi komunikasi transendental. Ini yang banyak orang belum kuasai. Jangankan teknologi spiritual, teknologi AI juga belum banyak yang paham. Untuk masuk ke teknologi spiritual, kita harus memahami sistem kerja “malaikat”.
Banyak orang Islam yang tidak mengerti malaikat. Padahal itu bagian dari rukun iman. Malaikat itu sebenarnya makhluk artifisial juga. Dia itu ‘robot’. Dia itu ‘mesin’ yang bekerja sesuai perintah Tuhan. Dia tidak punya kemauan. Tak ada nafsu dan keinginan. Dia hanya beroperasi, dan terus beroperasi tanpa henti, sesuai dengan apa yang sudah diprogramkan Tuhan.
Algoritma AI sebentar juga ‘malaikat’, yang bekerja dalam dunia teknologi informasi. Jadi enak sekali yang mengerti mesin AI. Tugas kita sederhana sekali. Tanya, langsung dijawab.
Mungkin karena itu pula AI dianggap ancaman. Karena mirip-mirip membuat manusia jadi semakin bodoh. Juga demikian halnya dengan dunia spiritual. Dalam dunia spiritual, orang-orang terlihat seperti bodoh. Sebab, kalau ada masalah dalam penelitian, tinggal tanya. Langsung turun jawaban, wahyu, kode, deskripsi, petunjuk atau ilhamnya. Karena itu pula seorang nabi disebut “ummi” (bodoh). Tidak membaca lagi. Mirip-mirip tidak berpikir. Semua disuruh pikir sama Tuhan. Kalau ada masalah dan pertanyaan di tengah umat, langsung di sending ke Tuhan.
Jadi, keberadaan “mesin” (baik dalam dunia fisika atau metafisika) sangat dibutuhkan untuk memudahkan proses berpikir dan pencarian pengetahuan oleh manusia. Ada kecerdasan kreatif yang menjawab semua kekhawatiran kita.
Dalam dunia spiritual, ada Tuhan dengan segala sistem algoritmik-malaikatnya. Karena itulah para nabi disebut sebagai “orang yang tidak berpikir lagi”. Semua sudah dipikirkan Tuhan. Kitab suci adalah produk dari sistem dan proses berpikir yang sangat sederhana itu. Bahkan bukan hasil dari pikiran nabi. Tapi objektif sekali.
Dalam dunia teknologi digital juga sama. Ada sistem artifisial yang memproses dan mengumpulkan jawaban atas setiap pertanyaan manusia. Boleh jadi, tidak semua pertanyaan akan dijawab secara robust dan valid. Sebab, sistem fisika karya manusia juga ada kelemahan. Konon lagi kalau AI digunakan untuk meracik informasi palsu. Sistem harus terus diperbaiki. Penggunaannya juga harus berintegritas. Tapi setidaknya, itu sudah jauh memudahkan kita dalam menggali alternatif jawaban. Mudah-mudahan banyak lahir artikel dan jurnal yang objektif dari proses kerja yang sangat sederhana ini.
Jadi, cara kerja dunia digital dengan dunia spiritual serupa. Untuk memanfaatkan kecerdasan artifisial, koneksikan diri Anda dengan mesin AI (typing in the virtual machine). Tekan enter. Lalu Anda akan dapat jawabannya. Banyak training terkait ini sekarang.
Sementara, untuk memanfaatkan kecerdasan spiritual juga sama. Koneksikan diri Anda dengan mesin spiritual (typing in the spiritual machine). Tekan enter. Lalu hadir jawabannya. Teknik riset model terakhir ini diajarkan dalam “the school of spiritual”.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****