Jurnal Suficademic | Artikel No.12 | Agustus 2025
“MUSAISME”: MODEL EVOLUSI WUJUD ULAMA DAN CENDEKIA, DARI SOMBONG KE TAWADHUK
Oleh Said Muniruddin | Rector Suficademic
Bismillahirrahmanirrahim.
PENDAHULUAN
APAKAH institusi pendidikan kita (baik sekolah berdimensi ilmu-ilmu “agama” seperti pesantren, ataupun bergenre “umum” semacam universitas), itu cenderung melahirkan lulusan yang sombong atau sebaliknya, tawadhuk? Kealiman model apa yang dimiliki para lulusan kita setelah belajar sekian lama?
Saudara Muhibuddin Hanafiah menjadi galau menghadapi pertanyaan-pertanyaan semacam ini. Akademisi UIN Arraniry ini menulis apa yang dipahaminya dalam artikel “Masih Adakah Ulama Alumni Dayah?” (Serambi Indonesia, 31/7/2025).
Respon bermunculan, baik untuk meng-counter maupun menengahi tulisannya. Diantaranya Abdul Muhaimin, “Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis (Tinjauan, 4/8/2025). Juga Saiful Bahri, “Ketika Opini: Masih Adakah Ulama Alumni Dayah, Memasuki Wilayah Kebenaran (Tinjauan, 5/8/2025). Ataupun Teuku Zulkhairi, “Kaderisasi Ulama di Dayah, Tanggapan untuk Muhibuddin Hanafiah” (Serambi Indonesia, 6/8/2025). Ulasan mereka bagus-bagus.
Kami cinta ulama. Karena itu kami hadir untuk memberi sudut pandang lainnya. Tulisan sederhana ini kami susun secara kritis-interpretatif dalam studi kasus pembelajaran Nabi Musa as, yang kami sebut “Musaisme”. Kami tidak akan membahas ini secara ‘sektarian’, dengan hanya terfokus pada institusi dayah. Kami melibatkan institusi kampus dalam kajian ini. Karena keduanya melahirkan orang-orang “alim” , berilmu, atau ulama.
Karena itu, kami ingin menarik diskusi para penulis di atas dalam ruang evaluatif yang lebih luas. Kami memaknai “ulama” secara generik. Siapapun yang berilmu, yang lahir dari institusi manapun, adalah “alim/ulama” (orang berilmu). Termasuk universitas. Namun pada akhirnya, hanya orang cerdas yang tersambung dengan Tuhan, yang sejatinya disebut “ulama”.
BELAJAR DARI MUSA
Musa, hidup sekitar 13 abad sebelum masehi. Mungkin salah satu ulama paling sombong yang pernah ada. Akalnya super cerdas. Hafalannya sangat kuat. Argumentasinya bagus sekali. Pemahaman hukumnya begitu sempurna.
Kelihatannya tidak ada manuskrip agama pada zamannya yang tidak ia baca. Tidak tau kita, entah sampai kelas berapa ia mengaji di pesantren Mesir pada masanya. Mungkin 9 tahun. Bisa juga lebih, sampai puluhan tahun. Mungkin lanjut sampai ke universitas. Sampai tamat tentunya. Sampai jadi guru besar, atau ulama profesor di zamannya. Murid dan mahasiswanya sudah pasti banyak.
Jadi sangat layak kalau kemudian ia menjadi “sombong”. Wajar kalau orang cerdas itu angkuh. Orang berilmu memang normalnya begitu. Pemahaman atas hukum melahirkan wawasan dalam dua kutub positivistik: “hitam-putih”. Karenanya ia melihat masalah lewat kacamata benar-salah, halal-haram dan sebagainya. Lewat dalil-dalil burhani, ia tau mana aliran sesat dan mana mazhab yang benar. Karena percaya pengetahuannya begitu objektif, tentu ia menjadi rigid, kaku, keras bahkan sombong terhadap argumennya. Jadi tidak heran, dan sangat wajar, kalau orang alim seperti Musa itu sombong sekali.
Sebenarnya bukan hanya Musa. Iblis juga begitu. Sama level sombongnya. Bedanya, Musa sempat mereformasi dan mengupgrade kesadaran diri. Disini kita kagum dengan Musa. Beda dengan iblis, yang konsisten mempertahankan sombongnya sampai mati.
Ilmu sudah pasti melahirkan kesombongan. Karena melalui ilmu seseorang punya tolak ukur, punya alat untuk menilai diri dan orang lain. Karena merasa tau, melihat dirinya lebih paham, dan mungkin juga lebih benar, maka Musa menjadi sangat “percaya diri” (sombong). “Apakah ada di muka bumi ini orang yang lebih alim dari aku?”, begitu pernyataan Musa. Dengan nada serupa, iblis juga pernah berkata. “Memang ada yang lebih baik dari aku. Engkau menciptakan aku dari api, sedangkan dia dari tanah”, argumen cerdas dan logis sang iblis untuk tidak tunduk pada perintah Tuhan untuk sujud kepada Adam.
Kalau Musa hidup di zaman sekarang, tidak tau kita apakah ia akan bermazhab Ahlussunah, Wahabiah, Salafiyah atau Syiah; sambil sedikit membusungkan dada ia pasti akan berkata: “Apakah ada mazhab lain yang lebih benar dari mazhabku?. Kalau ada yang melawan, tanpa ragu akan ia kejar. Ingat, Musa itu tukang pukul. Pernah membunuh orang. Mudah tersulut emosinya. Mungkin karena ia alumni muda dari perguruan tertentu. Siapapun boleh cerdas IQ-nya, tapi belum tentu EQ-nya. Apalagi SQ-nya.
DUA JENIS SOMBONG: KASAR DAN HALUS
Kami tidak mau menyudutkan ulama, intelektual ataupun alim cendekia. Apalagi sosok besar seperti Musa.
Kami hanya ingin katakan, menjadi “sombong”, itu pilihan logis. Apalagi kalau kita sudah berilmu. Sudah belajar. Sudah tamat pesantren dan universitas. Sudah banyak baca jurnal, kitab dan buku. Ataupun sudah lulus S1, S2 dan S3. Konon lagi kalau sudah jadi ulama ataupun profesor, sombong itu memang pakaian normalnya. Tidak usah berdebat. Musa saja begitu. Apalagi kita. Biasa itu!
Hanya bentuk sombong kita aja yang beda-beda. Ada yang sombongnya kasar dan terbuka. Misalnya, di mimbar khutbah kita berteriak: “Selain ini, semuanya bid’ah!!”. Ada juga yang sombongnya halus. Contoh, dengan suara lembut kita berceramah: “Syukur Alhamdulillah, kita ditakdirkan berada dalam kelompok paling benar di muka bumi. Sudah saya kaji selama 40 tahun, tidak ada yang lebih benar selain jamaah kita”. Itu model halusnya.
Jadi, sekali lagi, jangan marah kalau dikatakan bahwa lulusan sekolah agama ataupun sekolah umum cenderung melahirkan orang sombong. Memang iya. Dengan syarat, otak para lulusannya memang cerdas. Kalau cerdas pasti banyak tau. Kalau banyak tau, biasanya akan merasa tau. Sombong.
Iblis itu sekolahnya di langit lho!! Tapi sombong juga. Apalagi kalau sekolahnya cuma di pesantren A atau universitas B, yang lokasinya ada di sudut-sudut bumi.
DARI “SOMBONG” KE “TAWADHUK”
Pesan pentingnya adalah, jangan berhenti di sombong. Lanjutkan lagi belajarnya, sampai sombongnya hilang. Sampai “hikmah”-nya dapat. Percaya diri itu penting. Tapi harus sampai dapat karakter tawadhuknya. Tawadhuk itu bukan sekedar kemampuan lahiriah untuk menundukkan leher ke bawah. Melainkan lebih kepada kemampuan untuk meninggalkan bisikan akal dan ego, lalu menangkap “suara Tuhan” sebagai petunjuk atau rahasia dalam jalan kehidupan. Itulah “ilmu hikmah”.
Disinilah kemudian kita harus tuntas mentauladani perjalanan pendidikan seorang Musa. Jangan meniru Musa hanya sampai level kecerdasan argumentatif, fikih dan syariatnya. Harus belajar lagi, harus berguru lagi, sampai dapat dimensi ihsan dan tasawufnya.
Disitulah hebatnya Musa. Sesombong-sombongnya Musa, secerdas-cerdasnya Musa, masih mau berguru lagi. Bahkan kepada orang yang tidak terkenal. Mungkin nama Khizir ada tersebut-sebut di zamannya. Tapi wujud orangnya tidak dikenal umum. Dayahnya pun mungkin tak diketahui dimana. Tidak terlihat baliho kegiatannya apa saja. Iklan penerimaan murid baru juga tidak ada. Konon lagi nomor registrasi pendidikan, mungkin tak tercatat di Kesbangpol dan Kemenag pemerintahan Fira’un masa itu. Berbeda dengan Bal’am bin Baura yang begitu menyatu dalam struktur kekuasaan, mungkin Khizir termasuk ulama yang dicurigai pada masanya. Belakang diketahui, dia memang mengajari Musa dengan cara-cara tak begitu masuk akal, aneh. Bisa dituduh sesat kalau diketahui umum.
Tapi tekadnya Musa as untuk terus belajar kuat sekali. Baca kisah dan keteguhan Musa as belajar dengan Khizir (QS. Al-Kahfi: 60-82). Karena itulah ia juga menjadi figur “ulul azmi”, sosok nabi yang “teguh”, dan karenanya sangat kharismatik. Berat sekali perjuangan menundukkan kesombongan kita. Jihad terbesar memang itu, menundukkan “diri”. Apalagi ketika merasa sudah berilmu. Ketika sombong hilang, disitulah kharisma mencuat.
Ulama itu menjadi berkarisma karena dua hal. Bisa jadi karena kuat hafalan dan “akal” qiyasnya. Bisa jadi karena aura spiritual, ruh atau karamahnya. Kalau bisa didapat keduanya, tentu menjadi sempurna. Akal menjadi cerdas kalau kita berguru dengan “ulama dunia”. Maksud ulama dunia adalah, ulama yang menguasai metode ilmu-ilmu terkait filsafat dan logika. Sedangkan karamah, itu diperoleh melalui riyadhah yang dibimbing “ulama akhirat”. Ulama akhirat adalah sosok khizir yang penuh hikmah, yang ruhaninya bersanad ke Jibril, otomatis ke Allah.
Jadi, berguru itu idealnya: dunia-akhirat. Itulah skema “Musaisme”. Belajar, pada tahap awal harus sampai lahir rasa “percaya diri” yang kuat (sombong karena tau). Sekaligus, berlanjut sampai lahir sifat “rendah hati” (tawadhuk karena mampu menangkap pesan-pesan Ilahi yang lebih tinggi). Keduanya nanti tinggal diseimbangkan, sesuai kehendak Tuhan.
PENUTUP
Semua ilmu tentang Tuhan (tauhid), melahirkan iblis. Kecuali ia mau sujud ke manusia (Adam). Musa, apa kurang tauhidnya. Tapi baru benar tauhidnya ketika ia bersedia mengosongkan diri, sujud, ikut dan patuh pada Khizir. “Hei Musa, buang segala ilmu dan persepsi mu, ikut aku!”, kata Khizir. Nabi saw berkata, “Kalau kamu mencintai Allah, ikut aku..” (QS. Aali Imran: 31). Karena itu, mencintai Allah harus dengan cara “mentabik” (ikut) Nabi, juga waris Nabi. Itu “ilmu cinta”, levelnya sudah di atas “ilmu tauhid”. Jadi, belajar itu harus melahirkan tauhid sekaligus mahabbah:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٣١
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kita merindukan kemunculan para ulama dan cendekiawan yang cerdas dan bertauhid, sekaligus membawa karamah. Sebab, ulama dan cendekiawan itu adalah orang-orang berakal, yang seharusnya juga mewarisi mukjizat para nabi. Mereka itu hujjah atau ayatullah, bukti dari keberadaan ayat-ayat Allah di tengah masyarakat.
Mudah-mudahan pesantren dan kampus dapat melahirkan ulama dan cendekiawan semacam itu. Atau mungkin ada ruang-ruang alternatif lain yang difasilitasi para “khizir”, yang dapat terus mengasah jiwa para alumni kampus dan ulama muda agar menjadi lebih bercahaya. Agar otak dan hati, bersinar keduanya.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****