Jurnal Suficademic | Artikel No.14 | Agustus 2025
MUSABAQAH TEKNOLOGI QURAN (MTQ)
Oleh Said Muniruddin | Rector Suficademic
Bismillahirrahmanirrahim.
TIBA-TIBA masuk info ke sebuah grup WA. Gubernur Aceh, Mualem, membuka kegiatan “Musabaqah Qiraatil Kutub” (MQK IV), Selasa 19/8/2025. Sebuah even lomba membaca kitab-kitab klasik yang diikuti para santri se-Aceh. Seseorang merespon, “Santri di Iran dan kaum bersarung di Yaman sudah masuk ke perlombaan membuat rudal hipersonik untuk menembus iron dome. Kita kelihatannya masih pada tahap membaca. Anyway, langkah awal yang sangat bagus. Lanjutkan dan tingkatkan terus!”.
Pernyataan tersebut tentu tidak untuk menafikan lomba membaca kitab. Sama sekali tidak. Sebab, lomba semacam ini sangat penting. Ada banyak pengetahuan yang bisa digali dari kitab-kitab kuno untuk kemaslahatan umat. Karenanya disarankan untuk terus dilanjutkan.
Namun ada pesan lain dari statement tersebut. Diharapkan ada peningkatan dalam jenjang pengetahuan. Agama tidak boleh terhenti di “membaca” buku. Tapi berujung pada “kreasi” sesuatu. “Iqrak” itu perintah paling kuno. Ujungnya bagaimana kita menjadi “creator”.
Taksonomi Kecerdasan
Benjamin Bloom menyusun jenjang kecerdasan. Dikenal dengan “Taksonomi Bloom” (1956). Teori ini sangat populer dalam pendidikan. Bloom merumuskan level kognitif “from lower order, to higher order of thinking”. Levelnya terus disempurnakan oleh para pakar. Termasuk Krathwohl (2021), ia menyusun kembali level kecerdasan manusia dalam 6 tingkatan:
- Remember (mengingat)
- Understand (memahami)
- Apply (mengaplikasi)
- Analyze (menganalisis)
- Evaluate (mengevaluasi)
- Create (mencipta)
Dimana letak kemampuan “membaca” dalam taksonomi ini?
Membaca adalah “kecerdasan dasar” yang harus dimiliki oleh semua orang. Membaca bisa dikaitkan dengan masing level dari taksonomi. Paling rendah, membaca itu bertujuan untuk “mengingat” (data, kata, angka, fakta, dsb). Kedua, membaca untuk “memahami” (bisa menjelaskan dan menginterpretasi). Ketiga, membaca untuk “menerapkan” (mengaplikasi konsep dalam konteks tertentu). Keempat, membaca untuk “menganalisis” (mengidentifikasi hubungan, membandingkan, membedakan, mengklasifikasi, menemukan asumsi, dan melacak bias). Keempat, membaca untuk “mengevaluasi” (menilai kualitas, keandalan, validitas dan manfaat dari sesuatu). Terakhir, membaca untuk “mencipta” (membuat dan merancang sesuatu yang baru).
Membaca itu Penting, tapi untuk Apa?
Membaca itu penting. Wajib bisa. Karenanya ada pengukuran “literacy rate” di setiap negara. Ini menjadi salah satu indikasi kecerdasan sebuah negara. Makin tinggi jumlah orang yang bisa membaca, pertanda semakin baik negara itu. Disinilah pentingnya angka partisipasi sekolah. Agar sejak dini punya kemampuan membaca.
Tapi bukan sekedar bisa membaca. Pertanyaan paling penting, apa tujuan dari membaca?
Perhatikan. Angka melek aksara penduduk Indonesia yang berumur 15 tahun ke atas adalah 96 persen. Ini sudah cukup tinggi. Tapi apakah kemudian negara kita menjadi negara maju? Tidak! Malaysia justru lebih maju. Walau angka melek aksaranya lebih rendah dari kita, 95 persen (World Population Review, 2025).
Karena pertanyaannya, walaupun kita bisa membaca, tujuan membaca untuk apa? Apakah sekedar untuk ingat, untuk paham, untuk menerapkan, untuk menganalisis, untuk mengevaluasi, atau untuk mencipta?
Konon kabarnya, walaupun sudah bisa membaca, orang Indonesia paling malas membaca. Menurut UNESCO tahun 2020, hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang punya minat baca tinggi. Sedangkan menurut Central Connecticut State University, dari 61 negara yang disurvei tahun 2016, Indonesia peringkat 60 dalam bidang minat Baca. Sedikit di atas negara Bostwana di Afrika (Tawali, 2024). Yang dimaksud membaca disini adalah membaca keutuhan sebuah pengetahuan, khususnya yang bersifat ilmiah. Seperti buku. Sebab, kalau sekedar membaca WA dan berita hoaks lainnya, mungkin orang Indonesia paling rajin di dunia.
Konon lagi, walaupun sebagian kecil orang Indonesia sudah rajin membaca, tapi tidak tau dan tidak ingat apa yang sudah dibaca. Apa lagi untuk sampai pada level mencipta. Karenanya inovasi di Indonesia, yang mengguncang dunia, mirip-mirip tidak ada.
“Musabaqah”, Membaca untuk Apa?
Ini harus bisa dijawab dengan baik. Supaya pelaksanaan berbagai musabaqah di Indonesia menjadi efektif. Level taksonomi mana yang ingin disasar? Apakah sekedar ingin melahirkan “pembaca”, “penghafal”, “penafsir”, atau sampai pada level “pengamal” dan “pencipta” (inovator)?
Sudah saatnya MTQ dievaluasi. Kalau kita ingin maju, kelihatannya kita harus memperbanyak pengamal dan pencipta. Penekanan anggaran harus untuk mencapai hirarki lebih tinggi dalam kecerdasan Qurani.
Mohon maaf. Kalau sekedar hafal misalnya, semua data sekarang sudah bisa disimpan di storage system. Di flashdisk, di hp, di komputer, di cloud system dan lainnya. Tak perlu dihafal-hafal lagi. Mungkin dulu Quran dihafal karena kurang kertas untuk menulis. Sekarang mushaf cetak sudah banyak. Soft datanya pun ada dimana-mana. Kenapa harus dihafal lagi? Apakah setelah menghafal kita jadi keramat? Tidak juga.
Tujuan hafal Quran untuk apa? Kalau untuk mendapat Ridha Allah, ya silakan saja. Kami tidak mengatakan pekerjaan menghafal itu salah. Tidak. Itu sangat mulia. Namun, kalau merujuk pada teori taksonomi kecerdasan, pekerjaan “menghafal” (remember) masih berada pada level kecerdasan terbawah. Yang lebih tinggi dari itu adalah “mengamalkan” (apply). Dan yang tertinggi adalah “mencipta” (create). Sekarang, pemahaman pemikiran dan hukum dari berbagai mazhab juga sudah bisa diakses melalui database. Tidak rumit lagi kalau urusannya hanya sekedar untuk menarik kesimpulan hukum.
MTQ seperti menjadi media “show off” kemampuan dalam membaca, menulis, menghafal, memahami, atau menerjemahkan Alquran. Sifatnya lebih ke “entertainment”. Selain juga masih pada level taksonomi “low order of thinking”. Tidak salah juga. Bagus juga. Karena dengan MTQ, “seni” tradisional terkait cara mengekspresikan Quran terus bertahan. Minat dasar untuk membaca tetap hidup.
Namun, setelah Islam berusia 1400 tahun, yang kita perlukan sekarang bukan lagi pada level eksibisi baca tulis. Kita ingin Quran menjadi “kekuatan” yang membawa perubahan. Quran harus membuat bangsa Indonesia terdepan dalam kemajuan dunia. Quran bukan lagi sebatas teks untuk dialun-alunkan. Tapi menjadi “data” bagi munculnya aneka ragam sains dan teknologi di masa depan.
Maksud kami, kita jangan ‘lalai’ dalam mengaji dan menghafal Quran. Sementara sumberdaya alam disedot asing dengan teknologi yang mereka punya. Minyak dan gas diserahkan ke kapitalis AS, Perancis dan Inggris. Ataupun ke komunis Cina dan zionis UEA. Seharusnya, dengan rajin mengaji (mengkaji) Quran kita menjadi cerdas dan mandiri secara teknologi. Kalau dengan membaca Quran tidak membuat kita menguasai teknologi, lalu apakah kita harus meninggalkan Quran untuk menguasai teknologi?
Disinilah kemudian menjadi penting untuk mengubah kata “Tilawah” dalam singkatan MTQ menjadi “Teknologi”. Jadi, the New MTQ adalah “Musabaqah Teknologi Quran”. Mainstreamnya bukan lagi tilawah. Tapi teknologi. Perlombaan Quran diarahkan untuk menguasai the highest order of thinking: how to create!
“Musabaqah Teknologi Quran” (MTQ)
Musabaqah Teknologi Quran (MTQ) adalah “reading to create”. Membaca Quran, ujungnya untuk menciptakan. Menjadi kreator. Menjadi inovator. Melahirkan keajaiban.
Ada yang percaya, bahwa Quran itu mukjizat. Kalau memang benar, coba buat musabaqah yang pesertanya ditantang untuk bisa menghidupkan orang mati, menyembuhkan orang sakit, membelah laut, merasa dingin saat terbakar, mengeluarkan air dari sela jari, melunakkan besi, menteleportasi istana sebelum mata berkedip, berbicara dengan hewan, memerintahkan jin, melempar tongkat jadi ular, dan 1001 kemampuan “kreatif” lainnya. Coba diperlombakan. Bacaan dan hafalan seperti apa yang bisa menghasilkan mukjizat semacam itu. Kalau Quran itu memang mukjizat.
Tentu sulit untuk menciptakan “keajaiban”. Kalau Quran itu hanya sebatas bacaan atau hafalan. Anda mungkin sudah puluhan tahun membaca Quran. Mungkin juga telah menghafalnya. Tapi tak ada mukjizat. Sebab, agar ayat menjadi mukjizat, itu ada teknik dan metodologinya. Tidak cukup dengan tulis, hafal dan baca. Itulah yang namanya “teknologi Quran”.
Teknologi ada dua jenis. Pertama, “teknologi metafisika”. Kedua, “teknologi fisika”. Teknologi metafisika lahir dari kecerdasan spiritual. Orang-orang yang kuat ruhaninya bisa mempengaruhi realitas melalui ‘negosiasi’ dengan hukum-hukum alam yang menguasai medan energi. Itu mukjizat pada level “metafisik”. Para nabi memiliki ini.
Kita tidak perlu fokus pada mukjizat “metafisis” model di atas. Biarlah itu menjadi prestise para nabi. Kita fokus saja pada teknologi “fisika” yang juga bisa melahirkan banyak ‘mukjizat’ dalam bentuk kecanggihan sains dan teknologi. Perhatikan, bagaimana hanya dua abad setelah Nabi wafat, kaum muslim mulai menguasai sains dan teknologi. Semua itu menjadi dasar sains hari ini. Itu semua ‘mukjizat’ yang lahir dari semangat membaca, memahami, dan menerapkan Quran. Itulah yang harus kira replika kembali. Quran harus bisa melahirkan para “kreator” dalam bidang sains dan teknologi.
Idealnya, MTQ adalah musabaqah yang “khaffah”. Yang menguji kemampuan peserta dalam mengintegrasikan 3 jenis ayat: “Qauli” (teks kitab), “Afaqi” (fenomena kauniyah alam sosial dan fisika), dan “Anfusi” (jiwa). Peserta hadir untuk menunjukkan pemahamannya terhadap sebuah ayat. Lalu memperlihatkan bagaimana ia menciptakan perubahan di tengah masyarakat lewat teknik dan metodologi tertentu. Itulah jenis ayat yang “diamalkan”, sehingga “menciptakan” perubahan. Itu baru ‘mukjizat’.
Selama ini, mainstream lomba dalam MTQ cenderung pada aspek membaca, menghafal, dan menulis ayat-ayat “Qauliyah” saja. Sekarang mulai ikut diperlombakan hafalan hadisnya juga. Karenanya, kecerdasan umat Islam hanya berputar-putar pada wilayah seni membaca, menghafal dan menulis saja. Belum masuk wilayah kecerdasan teknis-metodologis yang melahirkan “ciptaan” (mukjizat inovatif).
Meniru Bangsa Muslim yang Maju karena Quran
Tidak salah kalau sesekali kita berkaca pada Iran. Mereka punya banyak pembaca dan penghafal Quran. Tapi lihat, bagaimana Quran membawa mereka pada penciptaan rudal-rudal hipersonik yang mampu menembus iron dome. Bisa mengobrak-abrik Tel Aviv dalam semalam. Bisa membuat Amerika berteriak minta gencatan senjata hanya dalam 12 hari perang. Itu model ‘mukjizat’ fisika Quran ditangan seorang muslim. Lebih jauh lagi, ayat-ayat Quran telah menginspirasi mereka dalam inovasi bidang teknologi kuantum, nuklir, kedirgantaraan, nano teknologi, laser, bioteknologi, energi terbarukan, dan lainnya. Persia tidak hanya kaya “pemikir”. Tapi juga “pencipta”.
Dunia Islam digebuk kiri kanan, dibombardir, diancam dan ditakut-takuti oleh negara-negara yang menguasai sains dan teknologi. Dunia memang dikuasai oleh para penguasa sains dan teknologi. Karena itulah muslim pernah jaya. Quran pernah menjadi sumber “bacaan” yang melahirkan sains dan teknologi.
Bayangkan kalau spirit ini digerakkan kembali secara masif lewat budaya MTQ. Paradigma MTQ harus diubah total. Dari sekedar lomba “baca-tulis”, ke pengembangan “teknologi”. Mindset baru MTQ adalah “teknologi Quran”. Seluruh kader Islam setiap tahun hadir ke MTQ untuk unjuk kekuatan sains dan teknologi, yang lahir dari hasil membaca dan memaknai Quran. Jadi, MTQ bukan hanya diisi oleh lomba hafal dan baca Quran pada level bawah dari taksonomi kecerdasan. Tapi juga punya agenda besar untuk unjuk “teknologi Quran”.
Jika ini bisa direformasi, maka agama -lewat MTQ, akan menjadi daya dorong yang besar bagi kemajuan Islam. Untuk melahirkan perkembangan sains dan teknologi lewat kecintaan umat kepada Quran.
Penutup
MTQ masih diperlukan untuk mengagungkan Alquran. Tapi tidak terhenti pada level “seni” tradisional dalam membaca, menghafal, menafsir atau menulis Quran. Lebih jauh lagi, harus sampai pada penemuan dan pengembangan aneka “teknologi” mutakhir yang terinspirasi dari Quran. Baik seni maupun teknologi, keduanya diperlukan untuk memperkaya peradaban. Sejauh ini, seni yang lahir dari kecintaan terhadap Quran sudah tinggi. Hanya sains dan teknologinya yang masih sangat kurang.
Perlu kecerdasan lebih tinggi untuk mencapai level ini. Dan ini harus segera dimulai. Agama dan Quran harus menjadi pemicu utama atas lahirnya berbagai inovasi. Ulama, ustad dan agamawan jangan lagi habis energi untuk perdebatan tata cara thaharah, hukum maulid dan pelihara jenggot. Sudah saatnya bicara cara mengembangkan teknologi berbasis ayat. Kita rindu untuk menunggu kemunculan para kiyai dan ulama kharismatik yang berteriak kepada para murid dan pengikutnya: “kembangkan nuklir!”. Disitulah awal mula revolusi sains dan teknologi terjadi di Indonesia.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****