Jurnal Suficademic | Artikel No.17 | September 2025
Muhammad “Reborn”: Perayaan Maulid, Abu Lahab dan Korupsi
Oleh Said Muniruddin | Rector Suficademic
Bismillahirrahmanirrahim.
ADA kabar baik.
Muhammad belum meninggal. Yang mati jasadnya. Yang dikebumikan hanya badannya. Ruhnya, unsur-unsur Ilahi dalam dirinya, masih hidup. Masih bekerja. Itulah kenapa “maulid” selalu diperingati. Ia terus lahir. Terus berulang tahun. Terus hadir disepanjang masa. “Reborn”.
Maka beruntunglah orang-orang yang tersambung, bersanad, bertemu dengan “wajah” atau unsur-unsur Ilahi yang hidup dari dirinya.
***
Salah satu kesalahan terbesar umat Islam adalah terlalu percaya dengan “kematian”. Secara lahiriah, kematian hanya sebuah konsep yang berlaku bagi dunia atomik. Seolah-olah, dengan mati selesai cerita. Putus hubungan. Hilang wujud. Binasa. Karena itu banyak yang takut mati. Karena dianggap betulan mati. Alias menghilang selamanya.
Ini tidak salah. Karena Quran juga beroperasi pada level atomik. Pada level ini, “kematian” adalah sebuah konsep yang ditujukan untuk orang awam. Yang kemampuan observasinya hanya sampai pada level materi.
Berbeda halnya pada level kuantum. Kehidupan menjadi sangat berbeda. Disini tidak ada yang namanya “kematian”. Pada level sub atomik, Quran sudah berbicara realitas hakiki dari manusia dan alam semesta. Kita semua adalah cahaya, wujud nonmateri yang bertingkat-tingkat (QS. Annur: 35).
Pada level kuantum; kita semua makhluk energi. Energi itu abadi. Punya gerak, frekuensi dan vibrasi. Hidup dan berkesadaran. Tidak ada yang mati. Tidak ada yang hilang. Hanya terjadi transformasi wujud, dari satu dimensi ke dimensi lainnya. Dari dimensi “langit” (energi) ke “bumi” (materi), atau sebaliknya.
Nabi yang lahir di Arab itu, yang kita sebut wafat, sebenarnya hanya berubah wujud menjadi “Energi”. Meminjam rumus Einstein, E=m.c². Awalnya, Nabi itu terikat dalam unsur materi (massa). Tapi setelah lebur dalam perjalanan cahaya, Beliau menjelma menjadi “Energi” murni. Beliau sudah kembali ke wujud asli, ke mode energi ketuhanan.
Jadi, sejak wafat secara jasadi, Nabi telah berubah menjadi makhluk ruhi. Eksistensinya tetap ada, abadi. Ia hadir disepanjang tempat dan zaman. Ruhnya mengalir dalam esensi eter alam. Ia telah menjadi “jiwa universal”. Ia kini menjadi “mata” bagi alam semesta. Menjadi “saksi” bagi segenap manusia (QS. An-Nahl: 84, 89; An-Nisa: 41). Ia masih hidup, bekerja dan diberi rizki oleh Tuhan (QS. Aali Imran: 169).
Karena itu, yang percaya bahwa Nabi itu “Energi” yang abadi, akan percaya pada konsep “syafaat” (power provider, healer). Kalau ingin sukses, bahagia, sehat dan mulia; tinggal download “energi”-nya. Tidak harus dengan bertatap muka secara fisik dengan nabi. Tidak harus hidup sezaman dengan Nabi. Tinggal koneksikan diri kita dengan wujud Nur-nya, yang itu ada disetiap tempat dan zaman. Ada metode, cara, jalan, atau “tarikat” untuk proses connecting.
Karena ini dunia metafisika, dunia afirmasi zikrullah atau visual ruhiyah; maka tidak perlu kabel tembaga seperti dalam dunia elektro fisika. Untuk konek dengan energi kerasulan, cukup hidupkan ‘wifi’ (hati) dari elemen spiritual kita. Panggil namanya. Sholawati. Lakukan proses tuning. Fokus. Cari frekuensi, titik koordinat atau wasilahnya. Kalau dapat, Dia akan hadir. Tarik nafas dalam-dalam. Kalau perlu tahan sebentar. Lama pun tidak apa-apa. Biar Dia menetap dalam kesadaran.
Kalau prosesi ini dilakukan dengan frekuensi, durasi dan intensitas yang memadai; gelombangnya akan muncul. Vibrasinya akan hadir. Energinya akan mengalir. Mukjizat akan datang. Orang bijak sepanjang zaman intensif membangun teknologi spiritual semacam ini di ruang-ruang meditatif. Bisa berhari. Berminggu. Berbulan. Bahkan bertahun.
***
Jadi, hanya pada level kuantum seseorang bisa terkoneksi dengan Ruh nabi. Nabi Muhammad juga pernah mensimulasikan the quantum energy. Sesaat sebelum mikraj, saat di Masjidil Aqsha, Beliau diriwayatkan mengimami para nabi terdahulu. Diberbagai lapisan ‘langit’, Beliau juga berjumpa dengan nabi-nabi sebelumnya. Padahal, secara atomik para nabi ini sudah wafat semua. Kok bisa berjumpa?
Pengalaman semacam ini hanya terjadi pada level kuantum. Peristiwa ini disebut quantum entangglement. Pada level superconscious, dimensinya menjadi sangat berbeda. Tidak ada yang mati. Semua masih hidup. Semua bisa ditemui. Sesuatu bisa ada dimana-mana. Anda bisa ada disini, sekaligus disana. Waktu menjadi tidak berlaku. Semua terasa seperti hidup sezaman, hidup “in the “now”, in the present moment.
Itulah juga alasan kenapa doa anak kepada orang tuanya, atau kepada siapapun, jika masuk ke medan kuantum menjadi tidak terhijab. Sebab, tidak lagi ada jarak antara keduanya. Pada level ini, semua terkoneksi. Pada dimensi inilah Allah juga bisa dijumpai. Karena Dia ada disini, saat ini. Bahkan bisa lebih dekat dari urat leher (QS. Qaf: 16). Secara fisik kita memang tidak bisa terintegrasi dengan Allah yang laitsa kamislihi syai-un. Secara kuantumik, kesatuan wujud adalah fenomena yang sangat ilmiah.
***
Jadi, sekali lagi.
Muhammad memang sudah wafat. Yang wafat itu “Muhammad bin Abdillah”. Orangnya. Wujud Basyariahnya. Dimensi atomik dari sang Nabi. Tapi “Muhammad Rasulullah”, yaitu dimensi kuantumiknya (Allah, Ruhullah, Wahyu, Kalimah, atau dimensi kerasulannya) tetap hidup. Tidak pernah mati.
Muhammad “Rasulullah” adalah ruh Allah, ‘jembatan’ yang sangat halus. Titian sirathal mustaqim. Gaib wujudnya. Halus. Sehalus rambut dibelah tujuh. Muhammad dalam wujud ini adalah wasilah, cahaya yang dapat menteleportasi ruhani manusia untuk bisa cepat sampai, atau terbuka hijab dengan Allah.
Memperingati maulid Nabi adalah sebuah tradisi dan keyakinan paling esensial, bahwa Nabi pada dimensi “kerasulannya” (Cahaya/Energi) masih hidup. Terus lahir. Terus hadir. Terus menyaksikan. Terus muncul. “Reborn”. Disepanjang tempat dan zaman.
Muhammad dalam wujud hakikatnya memang tidak pernah mati. Ia sudah ada sejak sebelum Adam. Dan akan ada sampai akhir zaman. Uniknya, DNA spiritualnya menjelma dalam wajah para guru, ulama, imam, atau ulil amri disepanjang waktu. Entitas suci ini merupakan “amanat” Tuhan (QS. Al-Ahzab: 72). Ia hanya bisa ditampung oleh (qalbu) manusia. Bukan oleh elemen alam lain seperti langit, bumi dan gunung.
Manusia secara lahiriah memang terlihat biasa, lemah, zalim dan bodoh. Tapi melalui kehadiran cahaya kerasulan, itu bisa mengubah manusia menjadi makhluk raufurrahim (QS. At-Taubah: 128):
لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At-Taubah: 128)
***
Perhatikan baik-baik kondisi dunia Islam. Apa yang sedang terjadi?
Umat Islam terlihat seperti leaderless. Kita seperti kehilangan pemimpin, bahkan spiritual. Umat Islam terombang ambing seperti buih di lautan. Tercabik-cabik. Powerless. Kenapa ini terjadi?
Karena umat Islam menganggap Muhammad sudah “mati”. Bagi sebagian kita, Muhammad itu hanya sosok “sejarah”. Figur masa lalu. Tak ada lagi wujudnya di masa kini. Bagi sebagian kita, Muhammad itu hanya wujud fisik yang pernah hidup dan berputar-putar di padang pasir Arabia 1400 tahun lalu.
Karena percaya Muhammad sudah “mati”, ruh umat Islam ikutan mati. Umat Islam kehilangan iman dan keberanian. Kehilangan pemimpin. Menjadi “hopeless”. Putus asa. Sehingga begitu mudah terseret dalam arus duniawi. Tunduk dihadapan kapitalisme global. Sebab, kita merasa sudah ditinggalkan oleh Muhammad. Kita merasa sudah berjarak dan terputus dengannya. Akhirnya kita hidup sendiri, nafsi-nafsi di akhir zaman ini.
Apa kurang besar jubah raja-raja di kawasan Arab (Saudi, Bahrain, Jordan, UEA, Qatar, Mesir, Maroko, Suriah, dan Turki). Apa kurang fasih lidahnya? Apa mereka kurang paham agama? Apa kurang banyak Qurannya?
Tidak. Mereka sangat mengerti agama. Pandai sekali mengaji. Hafal ayat. Ingat hadis. Bahkan jago berceramah. Masalahnya hanya satu. Bagi mereka, Muhammad sudah tiada. Tak ada yang tersisa darinya. Kecuali seberkas teks mati, elemen materi dari Quran dan hadis. Ruhnya sudah tidak ada.
Karena itulah jiwa mereka menjadi rentan. Was-was. Ketakutan. Hati mereka dihantui ancaman kehilangan kekuasaan. Sehingga tak ada pilihan selain tunduk pada ancaman. Lalu melakukan normalisasi dan berkolaborasi dengan zionis untuk menghabisi warga Gaza, saudara Arabnya sendiri. Padahal satu agama, satu mazhab pula.
Lalu coba periksa, mungkin ada negara Islam lain. Mungkin saja Iran. Mungkin saja Yaman. Yang percaya Muhammad masih “hidup”. Yang percaya bahwa Allah dan ruh Nabi senantiasa hadir dalam wujud Ulil Amri di tengah mereka (QS. An-Nisa’: 59).
Biasanya, negara atau kelompok yang punya pandangan profetis semacam ini akan menyulitkan zionis. Kelompok-kelompok ini hidup penuh harapan. Penuh keberanian. Sebab mereka percaya, jiwa Nabi masih hidup dan ada bersama mereka. Mereka tidak takut mati. Karena mereka berjihad untuk visi keadilan dan ihsan yang diusung oleh rasulnya. Bukan untuk kepentingan mereka sendiri.
Pada negara-negara semacam inilah kekuatan maulid terasa nyata. Bagi mereka, Nabi masih ada. Ruhnya hidup. Terwarisi. Termanifestasi dalam jiwa para ulama, imam, wali, mursyid, atau para pemimpin politik dan spiritual yang hidup di tengah mereka.
Inilah konsep “kepemimpinan profetis”. Jiwa kenabian senantiasa hadir dalam sosok para pemimpin, mujaddid atau mujahid si setiap tempat dan zaman. Para penganut konsep kepemimpinan semacam ini percaya, walau zaman semakin jahiliah, sosok pewaris ruhani Nabi akan selalu muncul. Karena itu bagian dari keadilan Ilahi. Mereka hidup se-optimis dan se-futuristik itu. Jadi, bagi mereka, perayaan maulid adalah bagian dari meneguhkan keyakinan dan optimisme ini. Saat maulid diadakan, (ruh) Nabinya benar-benar hadir. Bukan seremoni semata.
***
Saya tidak tau apa yang terjadi dengan Indonesia. Maulid terus diperingati. Di Aceh misalnya, itu bisa tiga bulan lamanya. Tapi korupsi tidak kunjung hilang. Kita malah masih menjadi yang termiskin di Sumatera. Apa masalahnya?
Peringatan maulid sejatinya berujung pada transformasi diri. Sebab, “maulid” adalah proses “melahirkan” kembali Nabi dalam setiap diri. Kehadiran Nabi harusnya bisa dirasakan. Sehingga membuat setiap orang menjadi pribadi yang berintegritas, punya daya juang, dan berjiwa sosial tinggi. Tabligh, siddiq amanah, dan fathanah.
“Maulid” tentu bukan tentang makan. Makan-makan hanya instrumen silaturahmi, metode untuk mengumpulkan orang. Namun makan-makan juga bisa menjadi bentuk luapan atas rasa syukur dan bahagia. Lebih dari itu, “maulid” adalah tentang penguatan jiwa.
Sebab, kalau sekedar membuat perayaan maulid, Abu Lahab (paman Nabi, abang dari Abdullah ayahnya Nabi) juga diriwayatkan pernah membuat kenduri saat Nabi lahir (Q. Shihab. 2011, Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Quran dan Hadis-Hadis Shahih. Lentera Hati). Begitu gembira, sampai ia membebaskan seorang budak bernama Tsuwaibah Aslamiyah, atas kelahiran keponakannya. Tapi itu tidak membuat Abu Lahab menjadi pribadi mulia. Ia hanya senang pada Muhammad sebagai bagian dari keluarganya saja. Bukan dengan karakter ketuhanan yang ada pada Muhammadnya.
Namun demikian, hanya gara-gara senang atas kelahiran Muhammad, Abu Lahab diriwayatkan mendapat cuti dari siksa neraka pada setiap Senin. Mudah-mudahan kita juga begitu. Dapat cuti setahun sekali dari siksa neraka. Karena rutin setiap tahun merayakan maulid Nabi. Itu kalau kita masuk neraka. Mudah-mudahan masuk surga.
Kita terkadang mirip Abu Lahab. Kita senang memperingati maulid. Hanya gara-gara Nabi itu bagian dari identitas keagamaan kita. Bukan dengan tujuan hendak mengadopsi unsur-unsur ruhiyah dari pribadi ini. Itulah penyebab korupsi di negara-negara Islam masih tinggi. Agamanya memang total Islam. Syariatnya memang betulan Islam. Tapi Muhammadnya ditinggal “mati”. Dibiarkan terkubur di Madinah sana. Muhammad tidak dibawa untuk “hidup” bersamanya.
Karena itulah Abu Lahab dikutuk sebagai pribadi berakhlak koruptif. Tangannya tercela. Hartanya dianggap kotor. Semua ‘tangan’ atau sistem kekuasaan yang dijalankan tanpa “vibrasi” Muhammad, akan bernilai fitnah. Semua harta yang diperoleh tanpa terhubung dengan ruhani Nabi akan bernilai koruptif: “Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan benar-benar binasa dia. Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api neraka” (QS. Al-Lahab: 1-3).
Syarat masuk surga adalah mengakui, tepatnya “menghadirkan” Muhammad dalam hati. Tanpa kehadiran Muhammad dalam jiwa, semua tindakan dan kepemilikan kita dianggap tercela. Karena yang diterima oleh Tuhan bukan diri kita. Melainkan diri dan nilai-nilai Muhammad yang ada dalam diri kita. Jadi, hakikat maulid adalah melahirkan kembali Muhammad dalam diri kita. Me-Muhammad-kan diri kita. Sehingga kita bisa terbebas dari api neraka.
Kita tidak boleh hidup mandiri dengan akal kita. Kita harus terikat dengan Muhammad, secara ruhani. Kehadirannya harus senantiasa disaksikan. Untuk itulah azan harus terus menerus dikumandangkan. Ada usaha untuk “melihat” Muhammad dalam ritual ini. Itulah makna syahadah kepada Muhammad.
Bahkan dalam sholat, diwajibkan untuk menyapa Muhammad dalam sebuah kalimat yang seolah-olah ia hadir dan masih hidup: assalamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullahi wabarakatuh!
***
Ajaran untuk melaksanakan maulid termaktub dalam Al-Quran. Kelahiran dan kematian seorang Nabi itu harus diingat. Tapi kebangkitannya disepanjang tempat dan zaman harus lebih menjadi perhatian. Hal ini pernah kami ulas dalam kajian “Tentang Ayat Maulid”:
وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا
“(Isa berkata) Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan (maulid), pada hari aku meninggal (maut) dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali (ba’ats)“ (QS. Maryam: 33).
Setiap orang bisa mengalami tiga siklus ini: “lahir” (secara biologis dalam keadaan fitri), “mati” (secara iradhi/kematian sufistik/kematian ego), lalu “bangkit” jiwanya dengan unsur-unsur Nur Muhammadi. Jika ini terjadi, keselamatan dan kesejahteraan akan kita alami.
LENGKAPNYA BACA DI: “Tentang Ayat Maulid”
Penutup
Kalau ingin melemahkan umat Islam, caranya mudah sekali. Putuskan mereka dengan (ruh) nabinya. Ajarkan mereka untuk hidup mandiri dengan hanya dengan akal dan pikirannya. Kalau perlu, hilangkan juga jejak fisik historis sang Nabi. Dengan dalih menumpas “syirik” dan sebagainya. Apakah itu rumahnya, makam-makam orang yang dekat dengannya, dan situs-situs lainnya. Karena, DNA spiritual sang Nabi juga hadir dan melekat ditempat-tempat itu semua.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****