AGAMA, AKAL DAN WAHYU

Bagikan:

Jurnal Suficademic | Artikel No. 126 | Desember 2023

AGAMA, AKAL DAN WAHYU
Oleh Said Muniruddin | RECTOR | The Suficademic

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM. Agama itu bertingkat. Pada level dasar, agama adalah permainan akal. Level selanjutnya, itu wilayah wahyu (ilham). Karena itu, proses beragama dimulai dari mazhab “rasional” (syariat/aqliyah). Jika terus diupgrade, akan sampai ke berbagai tahapan “iluminatif” (tariqat, hakikat dan makrifat).

Agama: Level Dasar (Basic)

“Al-dinu ‘aqlun la dina liman la aqla lahu”. Agama itu akal. Tidak ada agama bagi yang tidak berakal. Itu dalil awal dalam memulai agama. Beragama harus dimulai dengan kemampuan mengasah akal. Sebagai makhluk berakal, juga sebagai makhluk mandiri, manusia mesti cakap dalam memahami berbagai wujud dan hal yang terjadi di alam semesta. Sehingga lahirlah berbagai proses pencarian kebenaran sebuah wujud, serta pengambilan keputusan sebuah hukum melalui logika, filosofi, qiyas, dsb. Semuanya permainan akal, untuk hal-hal yang diduga sebagai kemaslahatan.

Tidak semua formula hukum/informasi bersifat qath’i. Apalagi ketika dihadapkan kepada konteks sosiologis yang berbeda. Karena itu, dalam syariat, sebuah teks suci sering dipahami/tafsir dengan aneka persepsi, tematis, analisis dan perbandingan. Sebuah fenomena dinalar dengan berbagai perangkat ra’yu (akal), sebelum diputuskan benar salah atau baik buruknya. Dari pola beragama seperti ini lahir berbagai “school of thought” (mazhab fikih) dalam Islam. Hukum-hukum ibadah dan muamalah, antara satu dengan lainnya terkadang saling berseberangan, merupakan hasil penalaran akal para schoolars (ulama/intelektual) terhadap berbagai referensi/riwayat yang mereka punya.

Agama: Level Lanjutan (Advance)

Sedangkan untuk level advance, dalilnya adalah: man qâla fil Qur’an bi ra’yihi fal yatabawwa’ maq’adahu min al-nâr. “Barangsiapa berkata tentang Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Turmuzi). Para nabi/wali, itu sudah berbicara dan bergerak atas nama wahyu. Bukan lagi atas dasar spekulasi pemikiran. “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)” (QS. An-Najm: 3-4).

Agama, pada level advance, adalah Tuhan yang berbicara; melalui para alim ulama-Nya. Pada tahap ini, qalbu seorang ulama harus benar-benar bersih. Sehingga mampu mendengar dan merasakan kehadiran Tuhan. Mereka hanya berbicara atas apa yang dibisikkan, diperlihatkan, diisyarahkan atau diilhamkan oleh Tuhan.

Bukan berarti pada tahap ini seseorang telah kehilangan akal. Bukan! Sebagai manusia, mereka tetap berpikir. Tapi akal pikirannya secara iluminatif telah tersambung dengan alam Tuhan (Lauh Mahfudz). Sehingga mengalir aneka hidayah laduniah melalui proses “berpikir kreatif” (meditatif). Orang-orang seperti ini mengetahui persis mana produk murni akalnya, dan mana yang murni sebagai wahyu/ilham (informasi yang bersifat Qurani). Mereka sangat mengenal Tuhannya. Sehingga mampu secara efektif menangkap berbagai pesan suci dari setiap vibrasi Kalam-Nya.

Ketika vibrasi wahyu/ilham mengalir deras dalam dirinya, setiap gerak dan perkataannya menjadi karamah atau bernilai “ilahi” (hadist). Pada level ini; benar salah, baik buruk atau halal haram, sudah diputuskan langsung oleh Ruh Al-Ilahi, oleh gelombang ketuhanan yang hadir (bertajalli) dalam dirinya. Hukum dan pengetahuan bukan lagi semata hasil ijmak pemikiran atau qiyas akalnya. Inilah yang disebut “ummi”. Akal rendahnya sudah ‘mati’. Pikiran kemakhlukannya telah mengalami hibernasi. Yang aktif dalam dirinya adalah Akal Kreatif Tuhannya.

Kita Ada di Level Mana?

Pertanyaannya, kita beragama di level mana? Lebih dominan di syariat (main akal) atau condong ke makrifat (dibimbing wahyu/ilham)?

Disatu sisi, manusia adalah makhluk berpikir/berakal. Itu pasti. Karena itu penting untuk terus bersyariat, agar dimensi kritis dari akal tetap hidup. Berbagai dialektika hukum itu lahir dari dinamika pemikiran. Lihat misalnya, bagaimana pengacara berdebat dan berorasi di pengadilan. Mereka berlomba-lomba mengolah akal sambil mengajukan bukti untuk menyimpulkan kebenaran. Itulah dimensi positivistik dari akal (bahkan akal-akalan) dalam hukum. Tidak jarang, yang salah bisa dibenarkan. Yang benar bisa disalahkan. Banyak sekali celah yang bisa dimainkan/dipermainkan dalam hukum.

Karena itulah dikatakan, “akal bisa membawa seseorang ke neraka”. Kaki seorang hakim, satu di surga, satu di neraka. Hukum memang cenderung ditafsirkan lewat akal dan logika. Dan nafsu akan menggiringnya ke neraka. Kecuali ia bisa menggali hukum dengan cara penuh “hikmah”. Maksudnya, seorang hakim harus punya kemampuan memutuskan hukum secara bijak, berdasarkan bisikan atau “ilham” dari Jiwa yang tertinggi (Tuhan). Hanya itu yang akan membawanya ke surga. Manusia juga makhluk ruh, bukan akal semata. Manusia harus mampu menyerap berbagai petunjuk, rahasia dan ilham dari Tuhan. Sebab, Islam yang objektif (hakiki) adalah wahyu/ilham. Bukan subjektivitas akal dan pemikiran.

Syariat adalah ilmu untuk mendewasakan akal. Sekolah, kampus dan pesantren -secara umum- didirikan untuk mencerdaskan akal. Sedangkan tarikat, adalah ilmu untuk menyelami vibrasi wahyu (ilham). Fenomena dunia dapat dipahami dengan akal. Sedangkan rahasia dan petunjuk-petunjuk “suci” dari dimensi ukhrawi hanya bisa diakses melalui metode kerja ruh/jiwa. Metodologi aktivasi ruh/jiwa inilah yang tidak diajarkan dalam sistem pendidikan umum. Sistem pendidikan kita hanya ditujukan untuk menjangkau tiga hukum syariat yang umum, dengan akal.

Begini. Hukum (syariat) ada tiga. Pertama, hukum yang mengatur pola hubungan formal dengan Tuhan. Dalam konteks ini adalah aneka bentuk ibadat seperti perintah sholat, puasa dan lainnya (mahdhah). Kedua, hukum yang mengatur kehidupan sosial (muamalah). Ketiga, hukum yang mengatur mekanika kerja alam semesta (sunnatullah).

Penggunaan akal dalam kategori pertama dan kedua telah melahirkan berbagai produk hukum/fikih/qanun terkait tata cara ibadah dan muamalah. Sedangkan maksimalisasi akal dalam memahami sunnatullah di alam telah melahirkan aneka produk sains dan teknologi. Untuk kategori terakhir ini, penggunaan akal sangat urgent. Quran bahkan mengecam mereka yang tidak memakai akal dalam memahami ayat-ayat atau aneka fenomena di tengah alam dan masyarakat. Sebab, untuk memahami dunia materi memerlukan kecerdasan empirik yang mumpuni.

Dibantu oleh kecerdasan rasional, manusia dimotivasi untuk terus berijtihad guna mengungkap berbagai pengetahuan baru. Bahkan, salah dalam membangun teori sekalipun, Anda dihargai “satu pahala”. Kalau benar, dapat “dua pahala”. Begitulah gambaran kehidupan dunia syariat yang generik: dunia sains dan sosial. Semua didorong untuk berbicara, menulis dan meneliti. Mirip-mirip tidak ada resiko jika salah dalam berargumen.

Namun, sangat berbeda dengan dunia esoteris (dunia ruh/perjalanan menuju Tuhan). Jalan menuju Tuhan diibaratkan seperti “rambut dibelah tujuh”. Sedikit meleset, langsung masuk neraka. Langsung celaka. Langsung tertolak ibadahnya. Tidak boleh ada kesalahan. Harus “zero mistakes”. Kalau dalam dunia pemikiran, Anda bisa spekulatif. Kesalahan masih bisa ditolerir. Ibarat memasak nasi. Kalau kelebihan air, nasi akan jadi bubur. Masih bisa dikonsumsi. Tapi, dalam dunia ruhani, gara-gara nila setitik, bisa rusak susu sebelanga. Takarannya harus pasti. Tidak boleh salah campur. Sekalipun campurannya benar; tidak boleh lebih, atau kurang. Halus sekali adabnya. Sedikit saja terdeteksi ada riya, langsung batal ibadahnya. Fokus bidikan harus sangat akurat. Harus khusyuk betul. Sedikit ngawur, Tuhan akan lari menjauh.

Tarikat/tasawuf adalah metode menuju Tuhan. Dunia batin ini sangat halus. Sulit dibedakan, mana malaikat, mana iblis. Tampilannya sama. Bisikannya serupa. Akal tidak mampu menjangkau zat yang halus ini. Kecuali Anda dipinjamkan kacamata “bashirah” (wahyu/ilham) oleh Tuhan. Karena itu, untuk mendekat kepada Tuhan, seseorang harus bergerak dari dominasi beragama dengan akal; kepada dominasi fungsi qalbu.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.

#powered by SUFIMUDA
___________________
SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: 
saidmuniruddin.com
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
TikTok:
 tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Twittertwitter.com/saidmuniruddin
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2

Bagikan:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

BERAGAMA SAMPAI KE GELOMBANG GAMMA

Sat Dec 30 , 2023
Jurnal

Kajian Lainnya

SAID MUNIRUDDIN adalah seorang akademisi, penulis, pembicara dan trainer topik leadership, spiritual dan pengembangan diri.