
Jurnal Suficademic | Artikel No.55 | Oktober 2024
KUN, FAYAKUN!
Oleh Said Muniruddin
Bismillahirrahmanirrahim.
“Kun, Fayakun”. Artinya “Jadi, maka jadilah”. Be, and it is! Kalimat ini terdapat dalam beberapa surat di Al-Qur’an: Yasin 82, Al-Baqarah 117 dan Al-An’am 73.
Coba perhatikan. Kata “jadi” pada kalimat ini diulang 2 kali. Pertama, “jadi” (Kun). Kedua, “maka jadilah” (Fayakun).
Apa artinya?
Artinya, segala sesuatu mengalami 2 kali kejadian. Kami menyebutnya sebagai “kejadian pertama” (the first reality) dan “kejadian kedua” (the second reality). Wujud atau kejadian pertama disebut sebagai “realitas internal”. Itu ada, atau terjadi dalam ide utopia atau alam perjanjian ketuhanan. Sedangkan wujud atau kejadian kedua disebut “realitas eksternal”. Ini merupakan realitas yang kemudian bertajalli dalam dimensi bumi.
Karena itu, kalimat Kun Fayakun terkait dengan konsepsi takdir dan ikhtiar. Sebuah wujud pada awalnya sudah memiliki bentuk-bentuk ketetapan dalam Jiwa Tuhan (spiritual being). Kemudian, melalui ikhtiar tertentu di alam dunia, wujud itu dapat menjadi realitas material (material being) di ufuk semesta.
Takdir dan Ikhtiar
Takdir adalah wujud kejadian pada dimensi awal. Wujud kejadiannya sudah ada di “atas” sana. Sifatnya “batiniah”, masih dalam ilmu atau pikiran Tuhan. Sedangkan melalui ikhtiar terbentuk wujud kejadian pada dimensi “di bawah” sini. Tentu sifatnya sudah men-“dhahir”. Sudah mengalami materialisasi.
Jadi, “As above so below”. Apa yang terdisain di atas sana, itulah yang terjadi di bawah sini. “As within so without”. Apa yang tervisual dalam alam kejiwaan, begitulah yang aktualnya di alam luaran.
Karena itu, peran dan kehadiran Tuhan (proses penciptaan) sudah terjadi sejak di alam yang maha batiniah. Dan Tuhan terus berkreasi sampai ke alam yang men-dhahir. Dia ada dalam rangkaian kejadian, sejak awal, sampai akhir. Huwal awwalu wal akhiru. Dia aktual pada dimensi nyata, sekaligus bekerja pada dimensi batin. Wadhdhahiru wal batinu.
Oleh sebab itu, sebuah wujud atau kejadian telah ada sejak awal dalam pikiran Tuhan. Inilah yang disebut “ketetapan di alam ruh”, “realitas awal”, “takdir pertama”, “pre-disain”, “alam visi” atau “sunnatullah” di alam nafsani. Bentuk-bentuk tetapnya sudah ada dalam imajinasi Tuhan, dalam bentuk ruh dan pola-pola arketip dasar lainnya. Disain wujud kejadian ruhaniahnya sudah ada di alam ukhrawi. Blueprint kejadian sudah ada sejak di “alam ruhani”.
Sementara, melalui gerak esensial selanjutnya, via freewill manusia, terbentuk kejadian-kejadian (realitas) pada dimensi material. Melalui ikhtiyar manusia, berbagai macam kejadian “tercetak” di atas canvas dunia. Jika “Kun” adalah takdir kejadian pada ketetapan pertama, maka “Fayakun” merupakan kejadian pada ketetapan kedua, yang aktual melalui proses ikhtiyar Anda.
Karena itu Tuhan berkata:
اِنَّمَآ اَمْرُهٗٓ اِذَآ اَرَادَ شَيْـًٔاۖ اَنْ يَّقُوْلَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
Sesungguhnya ketetapan-Nya, jika Dia menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah itu (QS. Yasin: 82)
Di ayat lainnya Tuhan juga bersabda. Segala sesuatu yang sudah ia tetapkan dalam wujud ruh (“langit”), maka melalui hukum-hukum yang bekerja secara alamiah di alam semesta akan membuat itu semua menjadi realita pada dimensi atomik (“bumi”):
بَدِيْعُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَاِذَا قَضٰٓى اَمْرًا فَاِنَّمَا يَقُوْلُ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ
(Allah) pencipta langit dan bumi. Apabila Dia hendak menetapkan sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka, jadilah sesuatu itu (QS. Al-Baqarah: 117)
Demikian pula pada ayat di bawah ini. Tuhan berkata bahwa segala realitas mengalami dua bentuk kejadian: mulai dari wujudnya dalam dimensi “langit” (gaib), sampai menjadi wujud-wujud sensibel di muka “bumi” (yang nyata oleh mata kepala):
وَهُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۗ وَيَوْمَ يَقُوْلُ كُنْ فَيَكُوْنُۚ قَوْلُهُ الْحَقُّۗ وَلَهُ الْمُلْكُ يَوْمَ يُنْفَخُ فِى الصُّوْرِۗ عٰلِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ وَهُوَ الْحَكِيْمُ الْخَبِيْرُ
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dengan hak (benar). (Sungguh benar ketetapan-Nya) pada hari (ketika) Dia berkata, “Jadilah!” Maka, jadilah sesuatu itu. Firman-Nya adalah benar, dan milik-Nyalah segala kekuasaan pada waktu sangkakala ditiup. Dia mengetahui yang gaib dan yang nyata. Dialah Yang Mahabijaksana lagi Mahateliti.
Mengubah Takdir
Sekilas, takdir terlihat seperti sebuah wilayah yang tidak terjangkau oleh manusia. Sepertinya, kehendak Tuhan di alam kejadian pertama tidak dapat diintervensi oleh manusia. Oleh sebab itu, takdir dipahami sebagai “pre-destination” (jabarisme), disain atau keputusan yang sudah ditentukan Tuhan sejak azali.
Kenyataannya tidak seperti itu. Manusia dapat menentukan takdirnya setiap saat, sebelum berikhtiyar. Konsep ini sangat revolutif dan benar adanya.
Begini. Takdir itu terbentuk di alam awal, alam ruh. Jadi, jika seseorang ingin mengubah takdir, sederhana saja: masuklah ke alam ruh. Manusia pada satu sisi adalah makhluk ruh. Kalau kita mampu mengembalikan diri kita, dari kesadaran jasadiah ke kesadaran ruhaniah; maka kita akan menjadi makhluk ruh.
Ruh adalah cahaya Ilahi, serangkaian gelombang energi yang sangat panjang. Tersambung sampai ke Tuhan. Wujudnya “hidup”. Karena itu dikatakan, ruh adalah energi yang memiliki vibrasi dan frekuensi. Energi adalah esensi-esensi batiniah yang bersifat kekal, yang meliputi keseluruhan kesadaran manusia. Level atau makam dari gelombang atau kesadaran energi ini bertingkat-tingkat. Mulai dari level sadar (kasat material), bawah sadar (subconscious), sampai ke atas sadar (superconscious). Dari gelombang beta, alfa, theta, delta sampai ke gamma. Dari jabarut, malakut, sampai ke tingkatan Rabbani.
Pada berbagai level ruh inilah takdir kita terbentuk. Maka tugas kita sebenarnya sederhana saja. Masukklah ke berbagai makam dari gelombang energi, lalu tata kembali “algoritma wujud”. Mau jadi apa Anda, negosiasikan dengan Tuhan di alam itu. Tulis ulang karir Anda langsung disisi Tuhan. Kalau struktur Ruhani sudah bisa dibenahi, maka DNA nasib seseorang selama kehidupannya di dunia akan berubah.
Sukses itu sudah harus terstruktur sejak di alam visual yang sangat visioner ini. Anda bisa melakukan itu bersama Tuhan. Kita bisa mengintervensi Tuhan di alam itu, agar kehidupan kita dunia mengalami keberlimpahan dan kebahagiaan. Jadi, jika ingin berubah, ubahlah struktur gelombang kejiwaan ini (QS. Ar-Rad: 11).
Itulah cara membangun takdir di alam ketuhanan, bersama Tuhan. Manusia adalah Khalifah Tuhan (co-Creator), yang dapat masuk ke alam pikiran Tuhan (Creator). Dengan syarat, kita bisa taqarrub, dekat dengan Tuhan.
Tentu Anda perlu melatih meditasi (zikir/suluk) secara serius untuk bisa melakukan perjalan, naik, masuk atau ber-“mikraj” ke alam blueprint ketuhanan. Ini merupakan satu-satunya metode yang sejauh ini sudah terbukti. Sudah dijalani para nabi.
Tidak ada nabi yang menjadi nabi tanpa terlebih dahulu menjalani proses “penataan visi”. Sebelum mengambil langkah-langkah aksi untuk memperbaiki umat, mereka terlebih dahulu masuk ke alam “kejadian pertama”. Mereka melakukan itu di Gua Hirak, di Puncak Sinai, dimana-mana. Disana mereka membangun takdir awal tentang umatnya. Barulah kemudian mereka berjihad (berikhtiar) untuk membangun “the second reality”.
Saya juga pernah bingung ketika seorang ahli sufi, Abuya Sayyidi Syekh Ahmad Sufimuda, pada setiap suluknya berkata: “Kalau kalian ingin mengubah nasib, disinilah tempatnya”. Saya heran, mana mungkin mengubah nasib di tempat suluk. Suluk itu seperti tempat “pelarian” kita dari kenyataan dunia. Bagaimana mungkin seseorang bisa berubah nasibnya di tempat seperti ini.
Lama saya baru paham. Ternyata, memang begitu mekanisme “perbaikan diri” dan “kehidupan sosial” seseorang. Anda harus menempuh jalan untuk masuk ke the first reality (realm). Bahkan dalam sirah dikatakan, disaat masyarakatnya dipenuhi perilaku jahiliah, Nabi Muhammad SAW justru “melarikan diri” ke Jabal Nur. Di sebuah ruang sempit di pinggang gunung itu Beliau membangun “realitas pertama” untuk perbaikan diri dan masyarakatnya. Disitulah ia melakukan refleksi spiritual, sehingga memperoleh visi langsung dari jantung kesadaran Ilahi.
Rutin setiap tahun sepanjang usianya, pada waktu-waktu khusus, sang nabi menyendiri dalam ruang-ruang sunyi. Begitulah cara beliau secara kontinue membangun kontrak dan realitas awal, sebelum ia berjihad di medan perang untuk mewujudkan itu semua.
Anda tidak boleh mengabaikan “the first reality”. Jika hidup Anda sudah mulai susah, depresi, bangkrut, gagal, terhutang, sakit-sakitan, rumah tangga berantakan, anak membandel, ditinggalkan, serta mengalami 1001 masalah; itu indikasi bahwa ada gangguan pada alam spiritual. Takdir Anda harus segera dilakukan adendum. Perlu perbaikan, kontrak dan perjanjian baru dengan Tuhan. Tidak peduli apakah Anda orang kaya ataupun miskin, ulama atau orang awam, masalah pasti selalu datang menghampiri jika “algoritma takdir” mulai mengalami disrupsi. Bisa jadi itu karena dosa dan kelalaian yang sadar atau tidak sadar telah kita lakukan, sehingga mengacaukan keseluruhan frekuensi energi.
Tentu tidak heran, jika muncul berita bahwa dalam lingkup lembaga pendidikan agama sekalipun (semacam pesantren dalam Islam, ataupun gereja dalam kekristenan) terjadi tingkat kekerasan dan pelecehan seksual yang tinggi dan berulang. Padahal, bukankah itu institusi paling bermoral? Bukankah itu dijalankan oleh orang-orang yang paling mengerti agama?
Iya, agama itu ada dua lapis: “lapis luar” (lahiriah) dan “lapis dalam” (batiniah). Masalahnya, apa yang terjadi di “luar” adalah gambaran apa yang terjadi di “dalam”. Kalau jiwa kita berhantu, tindakan-tindakan kita juga akan berhantu. Penampilan kita boleh islami. Hafalan Qur’an dan hadis kita boleh lancar. Itu aspek kognitif dari dimensi terluar dari diri kita. Pertanyaannya, dalam diri kita, apa yang bersemayam: Tuhan atau hantu?
Kalau ternyata hantu, maka dorongan untuk melakukan sodomi, pemerkosaan dan akhlak keji lainnya akan mencuat; meskipun kita memahami banyak ayat dan riwayat. Semua perilaku buruk ini sebenarnya hanya dimiliki oleh kaum yang tidak memiliki kepercayaan terhadap esensi-esensi spiritual. Hal semacam ini biasanya terjadi di negara dan institusi-institusi sekuler. Bukan di lembaga agama. Ini pertanda, ada “realitas internal”, ada “alam visual”, ada “jiwa” yang telah rusak dalam diri kita. Anda boleh saja membuat lembaga untuk mengawasi mereka. Pada aspek hukum dan governance, itu sah-sah saja. Tapi, selama jiwanya tidak diperbaiki, hal ini akan terus terjadi. Sebab, ini bukan anomali. Tetapi hidden phenomena; sebuah perilaku yang silent dan repetitif. Lembaga pendidikan harus diselamatkan.
Syariat memang diperlukan untuk menata “realitas eksternal”. Metode thaharah untuk unsur-unsur jasadi (the second reality) misalnya, itu dapat dipelajari melalui syariat. Tapi untuk membersihkan jiwa (the first reality), menata DNA spiritual; itu mesti dijalani melalui metode spiritual (tariqah). Mesti ada sosok ‘nabi’ untuk memperbaiki ini. Mesti ada master spiritual untuk menyambungkan (jiwa) kita dengan Tuhan dan juga dengan seluruh alam. “Kun”, kata Allah. “Fayakun”, kata Muhammad. Para guru spiritual, atau pembawa ruhani nabi, merupakan wasilah untuk naik ke alam imajinal, sekaligus jembatan dalam membangun realitas eksternal. Untuk itulah kita senantiasa membutuhkan “entitas rasul”, sebuah Energi yang dapat menyatukan kita dengan realitas mikro (internal) dan makro (eksternal) dari setiap wujud atau kejadian.
Penutup
Jadi, konsep “Kun Fayakun” adalah integrasi tariqah dan syariah. Dimulai dari disain awal wujud kehidupan pada dimensi metafisis, lalu diikuti dengan proses perwujudan kejadian pada tataran fisis. Sehingga, setiap dhahirnya perilaku kita merupakan tajalli dari dimensi esoteris. Apa yang terjadi pada aspek batin (Kun), itulah yang terjadi pada aspek lahir (Fayakun). Setiap hasil ikhtiyar kita merupakan gambaran disain struktur yang sudah duluan ada dalam imajinasi spiritual. Nasib dan kondisi bangsa, termasuk kita semua, adalah manisfestasi dari apa-apa yang sudah kita tulis dalam gelombang kesadaran.
Korupsi, kekerasan, kekacauan, keterjajahan, kekalahan, kemiskinan dan segala macam keterbelakangan yang lahir di tengah masyarakat ataupun dunia Islam adalah indikasi rusaknya alam imajinal kita semua. You are what you think. Apa yang tertanam dalam alam kesadaran, itulah kenyataan yang akan kita tuai. Realitas luaran kita adalah pancaran dari realitas internal yang ada dalam jiwa.
Oleh sebab, tugas rutin kita adalah berjihad untuk memperbaiki diri. Yang disebut “diri” adalah “jiwa” (nafs). Jiwa adalah ‘film’, atau cahaya, yang melahirkan realitas atomik dari dunia kita. Jiwa adalah “akhlak”, the state of ruhani. Kalau film yang tayang dalam kesadaran ruhani kita itu bagus, bagus pula nasib kita.
BACA JUGA: Kunci Sukses, Ubah Dulu Takdir, Baru Berikhtiar
BACA JUGA: Takdir dan Ikhtiar, Sebuah Uraian Teologis dalam Perspektif Sufikademis
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad.*****

SAID MUNIRUDDIN | The Suficademic
Web: sayyidmuniruddin.com
TikTok: tiktok.com/@saidmuniruddin
IG: instagram.com/saidmuniruddin/
YouTube: youtube.com/c/SaidMuniruddin
Facebook: facebook.com/saidmuniruddin/
Facebook: facebook.com/Habib.Munir/
Twitter-X: x.com/saidmuniruddin
Channel WA: The Suficademic
Join Grup WA: The Suficademic-1
Join Grup WA: The Suficademic-2
One thought on “KUN, FAYAKUN!”